Membaca Kriminalisasi 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji dalam Bingkai Ekologi Politik dan Negara Oligarki
Kriminalisasi Maba Sangaji dan Negara Oligarki
Oleh: Sayuti Melik
Penetapan 11 masyarakat adat Maba Sangaji sebagai tersangka karena mempertahankan wilayah adat mereka dari ekspansi tambang nikel merupakan tragedi sosial-politik yang mengiris nurani.
Di Halmahera Timur, masyarakat adat yang selama berabad-abad hidup selaras dengan hutan dan sungai kini dicap kriminal oleh negara, sementara korporasi yang merusak tanah dan air justru mendapat perlindungan hukum.
Fenomena ini tidak sekadar kasus hukum, melainkan cermin dari struktur kuasa yang timpang, di mana negara lebih berfungsi sebagai agen reproduksi kapital ketimbang pelindung rakyat.
Dalam bahasa Tania Murray Li (2014), inilah manifestasi dari “the will to improve” yang berujung pada dispossession—kehendak negara untuk “memajukan” kawasan perdesaan dan adat dengan mengundang investasi, tetapi justru menghapus hak-hak dasar komunitas lokal.
Sebelas masyarakat adat Maba Sangaji kini menyandang status tersangka setelah aksi damai mereka menolak tambang nikel milik PT Position pada Mei 2025.
Aksi itu berujung penangkapan, dan mereka dijerat dengan pasal-pasal yang absurd: UU Minerba karena dianggap menghalangi aktivitas pertambangan, serta UU Darurat 1951 tentang senjata tajam; padahal parang dan tombak yang dibawa hanyalah alat kerja sehari-hari.
Dalam logika hukum negara, mereka kriminal. Namun dalam logika sosial masyarakat adat, mereka adalah penjaga kehidupan, mereka yang menolak perusakan tanah, sungai, dan hutan yang telah diwariskan turun-temurun.
Baca Halaman Selanjutnya..