Catatan
Politisi Tak Akil Balig?
Oleh: A. Malik Ibrahim
Dalam satu kesempatan, saya pernah berdiskusi dengan Romo Frans Magnis Suseno, S.J. pengajar filsafat dan penulis buku Etika Politik. Baginya, “tanpa etika, kekuasaan akan melorot menjadi sesuatu yang menakutkan”. Dan sekarang ini, kita hanya dengar kabar buruk dari partai politik.
Dalam leksikon demokrasi, partai politik dikenal sebagai a necessary evil, makhluk buruk rupa namun diperlukan. Demokrasi tak bisa hadir tanpa partai politik. Tapi apa, yang kita dengar dari percakapan publik, hanya kekacauan,
kebingungan, ketidakpastian, intrik dan rivalitas yang sambung menyambung.
Arah politik berjalan begitu suram dan tidak karuan. Gigantisme partai partai koalisi tak mampu mengatasi keadaan sosial-politik dan ekonomi. Partai politik seolah bergerak ke tujuan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Tapi bagi politikus kekacauan dan kebingungan adalah sumber inspirasi.
Dan demokrasi? Kata Horkheimer, prinsip mayoritas demokrasi kini sudah dilucuti sisi obyektif dan rasionalnya. Ia diganti oleh interest of the people, yang tak lain adalah kekuatan ekonomi buta, yang membungkam akal budi manusia (Sindhunata, 2019 : 162). Dalam politik bahasa sederhana dan lentur justru diperlukan untuk menyampaikan konsep-konsep yang rumit seperti apa itu politikus.
Profesor Antropolinguistik Unkhair, Gufran A. Ibrahim, menulis soal (Poli)-Tikus. “Tulisnya, bisa “(Poli)-Tikus, bisa juga Poli (Tikus). Tergantung kata mana yang dipentingkan, apakah Poli-nya atau Tikus-nya”.
Baginya, sekadar tahu saja, kata poli dalam ilmu bahasa disebut morfem terikat (bound morpheme). Ia harus sama dengan kata lain untuk membangun sebuah makna,” (Ibrahim,2004 : 78).
Belakangan saya baca politik Algofobia, (Tajudin, 2025:29). Apa pula algofobia ini? Perdefinisi algofobia adalah ketakutan umum terhadap rasa sakit. Sebuah pergulatan ketakutan yang kuat dan tidak rasional pada kesakitan. Semua rasa sakit dihindari, termasuk rasa sakit akibat dikhianati.
Baca Halaman Selanjutnya..