CERPEN : Sebuah Pagi Tanpa Suara
PAGI itu seperti biasa, aku terbangun karena dering telepon. Suara yang sudah begitu akrab di telingaku, suara yang setiap hari menjadi pengantar bangunku: suara Bunda.
“Dek, ayo bangun… jangan terlambat ke sekolah ya.”
Kalimat sederhana itu selalu berhasil membuatku merasa hangat. Ada nada lembut dalam setiap ucapannya, seakan seluruh kasih sayangnya terkandung hanya dalam beberapa kata singkat itu. Meski jarak memisahkan kami, Bunda tidak pernah absen menemaniku memulai hari. Ia tinggal di Ambon bersama Ayah yang sedang bertugas sebagai prajurit angkatan laut. Tugas negara membuat mereka harus jauh dariku yang tinggal di Ternate. Namun, walau raganya tidak di sisiku, kasih sayangnya selalu hadir lewat panggilan telepon. Setiap pagi, ia menjadi alarm paling manis dalam hidupku.
Setiap kali mendengar dering teleponnya, aku merasa seperti sedang dipeluk dari jauh. Seakan suara itu bisa menjelma menjadi hangatnya genggaman tangan, lembutnya belaian rambut, atau bahkan senyum penuh cinta yang biasanya ia hadiahkan padaku. Aku terbiasa membuka hari dengan keyakinan bahwa selama masih ada suara itu, aku tidak pernah benar-benar sendiri.
Namun, pagi itu berbeda. Suaranya terdengar lebih bersemangat dari biasanya. Ada nada riang yang jarang kudengar, seakan ingin menitipkan sesuatu yang tak sempat diucapkan. “Besok Bunda pulang, ya Dek,” katanya dengan nada penuh kegembiraan.
Hatiku sontak melonjak bahagia. Kata-kata itu menyalakan api rindu di dadaku yang sudah lama tersimpan. Bayangan tentang pelukan hangatnya, tentang canda dan senyumnya, memenuhi kepalaku sepanjang pagi. Aku segera bergegas mandi, dengan hati yang berbunga-bunga membayangkan betapa indahnya menyambut kepulangannya. Aku bahkan sudah membayangkan hal-hal kecil: apa yang akan aku ceritakan pertama kali saat ia tiba, makanan apa yang akan kami santap bersama, atau se-sederhana bagaimana aku akan berlari menyambutnya di bandara nanti. Semua terasa begitu nyata, begitu dekat.
Namun, setelah keluar dari kamar mandi, ponselku berdering tak henti. Getarannya tidak seperti biasanya, tidak seperti dering manis Bunda yang menenangkan. Kali ini dering itu terasa mengganggu, menekan, dan menimbulkan rasa gelisah yang tidak bisa kujelaskan. Aku melihat layar ponselku dipenuhi notifikasi. Ada lima belas panggilan tak terjawab dari Ayah serta puluhan pesan WhatsApp dari keluarga dan kerabat yang masuk beruntun, seakan berlomba memberitahukan sesuatu yang belum siap kudengar.
Kutatap layar ponsel dengan tangan gemetar, jari-jariku kaku, sulit sekali menekan tombol panggil. Aku menelan ludah berkali-kali, mencoba menenangkan diri, tetapi hatiku sudah lebih dulu dipenuhi rasa cemas yang tak terkendali. Dengan napas tersengal, akhirnya kuhubungi Ayah.
“Yah, ada apa?” tanyaku dengan suara bergetar.
Hening
Seketika terdengar isak lirih yang merambat di telingaku. Sebuah tangisan yang berusaha ditahan, namun justru meruntuhkan seluruh pertahananku. Saat itu juga, dunia seakan berhenti berputar. Nafasku tercekat. Jantungku berdegup kencang. Dan akhirnya, kalimat yang paling kutakuti datang juga.
“Adek, ikhlaskan Bunda ya…” singkat, dingin, namun menyakitkan.
Aku terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih tajam daripada pisau. Rasanya seakan langit runtuh, bumi kehilangan warna. Pagi yang semula cerah tiba-tiba menjadi gelap. Matahari pun terasa enggan menampakkan diri. Awan berkumpul, hujan turun perlahan, seperti ikut merasakan kehilangan yang sama denganku. Dua puluh menit yang lalu aku masih mendengar suaranya. Suara lembut yang setiap hari membangunkanku, suara yang kini hanya bisa kusimpan di dalam hatiku.
Air mataku jatuh tanpa henti. Aku berusaha menyangkal kenyataan itu, berharap semua hanya mimpi buruk yang sebentar lagi akan berakhir. Namun, semakin aku mencoba menolak, semakin pedih kenyataan itu menghantam. Aku meremas bantal, menutup wajahku dengan kedua tangan, berteriak tanpa suara.
Kenangan demi kenangan pun bermunculan. Aku seakan ditarik kembali ke masa kecilku, ketika Bunda selalu menggandeng tanganku ke mana pun ia pergi. Aku teringat jelas hari pertamaku masuk sekolah: Bunda berjalan di sampingku, menatapku dengan mata penuh bangga, lalu tersenyum hangat ketika aku mulai melangkah ke ruang kelas. Senyuman itu, yang selalu menjadi sumber semangatku, kini hanya bisa kuingat dalam hati dan pikiranku.
Aku juga teringat sore-sore sederhana yang kami habiskan di pantai. Duduk bersama menyaksikan matahari perlahan tenggelam, ditemani pisang goreng panas dan dua batok kelapa muda. Sederhana, namun penuh kebahagiaan.
Bunda selalu mengajarkanku bahwa cinta tidak harus diwujudkan dalam hal-hal besar. Terkadang, cinta justru hadir dalam kesederhanaan yang tulus. Itulah yang membuatku merasa kaya, meski kami tidak memiliki banyak harta.
Ketika akhirnya aku menjemputmu pulang, bukan pelukan hangat yang kudapat. Melainkan peti beralas kain putih, yang dikelilingi lautan air mata dari mereka yang mencintaimu. Aku mendekap peti itu erat, seolah dengan begitu aku bisa merasakan kembali kehangatanmu. Begitu besar hatimu Bunda, begitu baik dirimu, hingga seluruh kota ikut larut dalam kesedihan menyambut kepulanganmu. Orang-orang datang silih berganti, membawa doa, membawa tangis, membawa cerita tentang kebaikanmu.
Ayah memelukku erat, mencoba menahan air mata meski aku tahu hatinya lebih hancur dariku. Ia yang biasanya begitu tegar kini tampak rapuh, matanya sembab, suaranya bergetar setiap kali menyebut nama Bunda. Aku tahu kehilangan Bunda bukanlah hal yang mudah baginya. Namun aku hanya bisa berdoa semoga langkah-langkahnya tetap kokoh, meski jalan ke depan terasa begitu berat.
Hari-hari setelah itu berjalan lambat. Setiap pagi aku masih sering menunggu dering telepon, seakan berharap Bunda akan kembali meneleponku dan berkata, “Dek, ayo bangun…” Namun kenyataan tak pernah seindah harapan. Yang tersisa hanyalah sunyi. Suara itu kini berganti dengan alarm ponsel biasa, dingin dan tanpa rasa.
Seratus hari setelah kepergian Bunda, Ayah mendapat kenaikan pangkat. Di hari itu, hanya aku dan Ayah yang berdiri berdampingan, saling menguatkan. “Pencapaian ini untuk Bunda,” ucapnya lirih, dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tersenyum getir, menahan air mata yang hampir jatuh. Seharusnya Bunda ada di sana. Seharusnya senyum hangat itu masih bisa kulihat. Seharusnya foto itu bukan hanya milikku dan Ayah, tapi juga ada Bundaku di samping kami.
Namun hidup berjalan dengan caranya sendiri. Meski Bunda sudah tiada, cintanya tidak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam setiap kenangan, dalam setiap doa, dan dalam setiap langkah yang kuambil. Setiap kali aku hampir menyerah, aku teringat kembali pada kata-kata sederhana yang sering ia ucapkan: “Dek, jangan takut… walaupun jauh, Bunda selalu ada untukmu.” Kata-kata itu kini menjadi jangkar yang menahan jiwaku agar tidak karam.
Bunda, panggilan terakhir itu akan selalu abadi di hatiku. Sebuah suara yang takkan pernah hilang, sebuah kenangan yang akan terus kutimang, hingga kelak aku kembali pulang… menyusulmu.(*)