Yusran Desak Dikbud Maluku Utara Gerak Cepat Atasi 35 Ribu Anak Tak Sekolah
Sofifi, malutpost.com – Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Maluku Utara (Malut), Yusran Pauwah, menyoroti angka tidak sekolah di Malut yang mencapai ribuan orang. Berdasarkan data pokok pendidikan (Dapodik) yang dihimpun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Malut, menyebutkan sebanyak 35 ribu anak di Malut tidak bersekolah.
Menurut Yusran, angka tersebut bukan sekadar data, tetapi gambaran serius soal lemahnya kinerja dan arah kebijakan pendidikan daerah. Sebab harusnya, ini sudah menjadi perhatian utama pemerintah daerah (Pemda), baik SD sampai SMP yang ditangani pemda kabupaten kota maupun jenjang SMA/SMK sederajat di bawah tanggung jawab pemerintah provinsi (Pemprov).
“Angka 35 ribu anak tak sekolah itu bukan hanya statistik, tetapi tanda darurat pendidikan di Malut. Karena menyangkut masa depan generasi kita. Untuk itu, masalah sebesar ini harus dijawab dengan langkah nyata, jangan membiarkan satu generasi hilang,” tandas Yusran di Sofifi, Kamis, (9/10/2025).
Politisi asal Kepulauan Sula ini menegaskan, Dikbud Malut harus segera mengambil langkah konkret untuk merealisasikan program Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang sudsh dijabarkan tersebut. Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah aksi konkret dan kebijakan yang benar-benar menyentuh akar masalah agar semua anak di Malut bisa kembali bersekolah.
“Dikbud harus punya peta jalan yang jelas dan bisa diukur. Bagaimana strategi menjangkau anak-anak yang tidak sekolah, bagaimana membangun kemitraan dengan pemerintah kabupaten kota, dan bagaimana memastikan semua anak mendapat akses pendidikan tanpa terkendala jarak, biaya, atau budaya,” ujarnya.
Ketua Fraksi Hanura ini menilai, dari berbagai kajian dan temuan di lapangan, masalah tidak sekolahnya anak-anak di Malut, tentu tidak semata soal ekonomi. Namun, juga disebabkan sejumlah faktor yang saling berkaitan. Faktor jarak dan geografis menjadi tantangan utama, di mana banyak desa di wilayah kepulauan dan pegunungan sulit dijangkau sehingga anak-anak tidak memiliki pilihan untuk bersekolah.
Selain itu, katanya, kondisi ekonomi keluarga dan persepsi budaya terhadap pendidikan juga menjadi penyebab yang tidak bisa diabaikan. Banyak orang tua, kata Yusran, masih memprioritaskan anak untuk membantu mencari nafkah ketimbang bersekolah. Dalam beberapa daerah, budaya lokal dan minimnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan turut memperkuat masalah ini.
“Kalau faktor-faktor sosial, ekonomi, dan geografis ini tidak disentuh dengan kebijakan yang tepat, maka sebanyak apapun program yang dikatakan pemerintah, hasilnya tetap tidak akan signifikan. Kita butuh kebijakan yang benar-benar berpihak,” tegasnya.
Yusran juga mendorong Dikbud tidak bekerja sendiri, tetapi melibatkan instansi lintas sektor, seperti Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, hingga dunia usaha untuk ikut mencari solusi terhadap persoaan ini. Ia menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara pemerintah provinsi dan kabupaten kota, terutama dalam memperkuat program belajar nonformal, seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) bagi anak-anak yang sudah tidak sempat duduk di bangku sekolah formal.
“Kalau pemerintah benar-benar serius, jangan hanya berhenti di rapat dan wacana. Harus turun langsung ke lapangan. Data 35 ribu anak ini bukan hanya untuk diberitakan, tapi untuk ditindak. Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama,” tegas Yusran.
Lebih jauh, dia berharap, di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, kebijakan yang digerakkan oleh Dikbud berupa pendidikan gratis, kesejahteraan guru dan peningkatan mutu yang sudah digenjot sejak beberapa bulan lalu. Dapat memberikan perubahan nyata dalam waktu dekat.
“Kita tidak butuh alasan, kita butuh tindakan. Jangan sampai persoalan 35 ribu anak tak sekolah ini terus menjadi ‘isu abadi’ yang hanya muncul setiap kali data dirilis, tetapi tak pernah benar-benar selesai,” pungkasnya.
Baca halaman selanjutnya...