Dari Gizi ke Racun: Menyoal Kegagalan Program Makan Bergizi Gratis
Oleh: M. Julfikram Suhadi
(Jurnalis)
Di Stadion Gelora Bung Karno, Prabowo Subianto pernah menggemakan janji: “Anak-anak kita akan makan bergizi! Gratis!”
Slogan itu disambut sorak-sorai, menjelma harapan nasional menuju Indonesia Emas 2045. Tetapi hanya hitungan bulan sejak program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, mimpi itu retak.
Dari dapur-dapur yang macet karena tunggakan, hingga kasus keracunan massal, program ini kian tampak lebih sebagai mimpi buruk ketimbang solusi gizi.
Statistik yang Meninabobokan
Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat 6.452 kasus keracunan menu MBG hingga September 2025. Pemerintah merespons dengan menyebut persentase korban hanya 0,005% dari penerima manfaat.
Narasi angka itu terdengar elitis. Di balik statistik, ada anak-anak yang muntah, pingsan, bahkan masuk rumah sakit. Nyawa dan kepercayaan publik tidak pernah bisa direduksi menjadi persentase.
Lebih ironis lagi, Prabowo sempat menyalahkan budaya makan dengan tangan sebagai faktor penyebab keracunan. Padahal, masalah sesungguhnya adalah pengawasan distribusi yang rapuh dan logistik yang amburadul. Menyalahkan rakyat sama saja menutup mata dari kegagalan sistem negara.
Dapur Tutup, Relawan Terabaikan
Di Kalibata, dapur umum MBG harus menghentikan operasi karena tunggakan Rp1 miliar. Relawan yang bekerja demi anak-anak tak kunjung menerima haknya. Akibatnya, ribuan porsi makanan tak pernah sampai ke sekolah-sekolah.
Baca Halaman Selanjutnya..