1. Beranda
  2. Sastra

CERPEN: Senja yang Tertinggal di Mata Elizabeth

Oleh ,

SENJA di kota kecil itu selalu datang dengan warna yang sama: abu-abu bercampur jingga, seakan langit sendiri bimbang antara hendak pudar atau tetap menyala. Bagi Steven, warna itu adalah cermin dari dirinya. Ia hidup biasa—sekolah, pulang, mengulang. Hidupnya lurus seperti jalan raya tanpa belokan. Ada kekosongan yang selalu ia rasakan, seakan satu bagian dirinya tertinggal entah di mana.

Hari-hari berlalu tanpa berarti, sampai suatu pagi sebuah senyum sederhana mengubah segalanya. Elizabeth.

Ia bukan gadis paling populer di kelas, bukan pula yang selalu jadi pusat sorotan. Tapi sejak pertama kali Steven melihat cara Elizabeth menunduk menulis, atau sekadar menyibak rambut yang tertiup angin jendela, ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya. Seperti ruang kosong itu mendadak mendapat cahaya.

Sejak saat itu, langkah kaki Steven menuju sekolah tak lagi terasa berat. Pagi yang biasanya hampa kini ia tunggu, sebab di ujung lorong kelas akan ada senyum Elizabeth. Sekolah yang dulu seperti ruang gelap mendadak berubah menjadi kanvas berwarna.

Hari-hari mereka penuh kebersamaan kecil. Steven membantu Elizabeth membawa tumpukan buku dari perpustakaan. Mereka duduk berdampingan di kelas sambil membandingkan catatan. Sesekali mereka tertawa karena hal remeh, dan setiap kali itu terjadi, dada Steven terasa hangat. Ia tidak pernah mengucapkan apa pun, tapi dalam diam ia tahu: hatinya telah jatuh.

Namun cinta yang tumbuh diam-diam sering kali juga diam-diam terluka.

Ada hari-hari ketika Elizabeth tampak jauh. Ia masih tersenyum, masih ramah, tetapi Steven merasakan ada sesuatu yang tak sampai padanya. Kadang Elizabeth menatap layar ponselnya dengan mata berbinar, kadang ia menghilang setelah jam sekolah tanpa alasan. Steven mencoba menepis kecurigaan itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja, bahwa kebersamaan mereka cukup.

Namun semakin lama, semakin jelas: Elizabeth menyimpan ruang yang tak bisa ia sentuh.

Sore itu sekolah mengadakan acara perpisahan kecil. Aula dipenuhi lampu seadanya, musik mengalun pelan, dan tawa para siswa memenuhi udara. Steven datang dengan hati yang berdebar, berharap bisa mengabadikan satu kenangan terakhir bersama Elizabeth.

Ia mencarinya di antara kerumunan. Lalu matanya menemukannya—bukan di aula, melainkan di halaman samping. Di bawah cahaya lampu taman yang pucat, Elizabeth berdiri bersama seorang lelaki. Seorang senior yang dikenal banyak orang.

Steven berhenti di tempatnya, langkahnya membeku. Dari kejauhan ia melihat Elizabeth tersenyum—senyum yang begitu hangat, senyum yang berbeda dari senyum yang biasa ia dapatkan. Lalu lelaki itu menggenggam tangan Elizabeth. Dan Elizabeth… tidak melepaskan.

Saat itu dunia Steven runtuh tanpa suara. Dadanya sesak, seakan ada ribuan jarum menancap perlahan. Angin malam yang sejuk berubah jadi dingin yang membekukan tulang. Semua harapan yang ia simpan, semua doa diam-diam yang ia titipkan pada bintang, hancur dalam sekejap.

Steven ingin berlari, ingin memanggil namanya, ingin mengguncang kenyataan. Tapi tubuhnya tak bergerak. Ia hanya berdiri, membiarkan air mata jatuh tanpa suara. Malam itu, untuk pertama kalinya, Steven merasakan bahwa cinta bisa menjadi pedang yang menikam dari dalam, lebih tajam dari kata-kata mana pun.

Ia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Setiap langkahnya seperti membawa pecahan kaca yang menggores kaki. Malam itu, ia meninggalkan bukan hanya pesta perpisahan—tapi juga seluruh impian tentang kebersamaan yang tak pernah terwujud.

Hari-hari kembali hampa. Steven masih datang ke sekolah, masih menyapa Elizabeth, tapi semua terasa asing. Ia tersenyum hanya sebagai topeng. Di dalam dirinya, ada jurang yang tak pernah tertutup lagi.

Elizabeth tetap hangat, tetap ramah, tetap memanggil namanya dengan nada lembut. Namun bagi Steven, setiap senyum Elizabeth kini adalah luka baru. Ia belajar bahwa jarak bisa tercipta bahkan ketika seseorang berdiri di hadapannya.

Hari kelulusan tiba. Semua orang berteriak gembira, melempar toga ke udara, menuliskan cita-cita di kertas warna-warni. Steven hanya berdiri di sudut, menatap Elizabeth yang sebentar lagi akan pergi jauh.

Di gerbang sekolah, Elizabeth menghampirinya untuk terakhir kalinya. 'Terima kasih, Steven. Kau salah satu bagian terbaik dari masa sekolahku,' katanya dengan tulus.

Steven menatap matanya dalam-dalam, seakan ingin mengabadikannya untuk selamanya. Ia ingin berkata banyak hal—tentang cinta, tentang luka, tentang bagaimana Elizabeth telah menjadi alasannya bertahan. Tapi bibirnya kelu, hanya mampu melafalkan kalimat pendek: 'Semoga kau bahagia, Liz.'

Elizabeth tersenyum. Senyum yang sama seperti pertama kali Steven jatuh hati. Lalu ia pergi.

Bertahun-tahun setelahnya, Steven sering kembali ke halaman sekolah yang kini sepi. Bangku taman masih ada, pohon-pohon masih berdiri, dan angin senja masih berhembus sama. Namun Elizabeth tidak pernah kembali.

Steven duduk seorang diri, membiarkan senja menutup langit. Ada rasa hampa yang tidak pernah pergi—ruang kosong yang dulu sempat terisi, lalu hilang selamanya.

Ia sadar, ada cinta yang ditakdirkan hanya untuk hadir sebentar, meninggalkan jejak yang tak akan pudar meski waktu berjalan. Elizabeth adalah cintanya yang hilang, namun juga alasan ia belajar bahwa kehilangan adalah bagian dari hidup.

Dan setiap kali senja datang, Steven tahu: sebagian dari dirinya masih tertinggal di mata Elizabeth.

“Love is a flame that can’t be tamed, and though we are its willing prey, my darling, we are not the ones to blame.” — Jeff Buckley. (*)

Baca Juga