1. Beranda
  2. Opini

Apatisme Generasi Muda dan Jalan Penyelamatan

Budaya Nusantara di Tepi Jurang Globalisasi

Oleh ,

Oleh: Irfan Efendi 
(Pascasarjana Pen. Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang)

Di sudut-sudut kampung yang dulu dipenuhi irama tifa, suara gamelan, atau lantunan syair adat, kini kian senyap. Bunyi-bunyian yang lahir dari kearifan lokal perlahan digantikan oleh dentuman musik global yang membanjiri gawai anak-anak muda.

Nusantara yang dahulu dikenal sebagai gudang budaya, seakan berdiri di tepi jurang, terancam kehilangan denyut kehidupannya karena generasi pewarisnya semakin menjauh.

Fenomena ini bukan sekadar keluhan romantis orang tua. Riset terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan bahwa hanya 23,4 persen generasi muda yang masih aktif terlibat dalam kegiatan budaya tradisional, baik sebagai pelaku maupun penikmat.

Angka ini menurun signifikan dari lima tahun lalu yang masih berada di kisaran 30 persen. Sementara survei dari Kemendikbudristek (2023) mengungkap fakta lain.

Bahwa lebih dari 60 persen remaja Indonesia lebih mengenal budaya populer asing seperti K-Pop, Hollywood, dan budaya digital global, dibandingkan tarian, musik, atau tradisi daerahnya sendiri. Data ini berbicara lantang, seperti ada jarak yang makin lebar antara generasi muda dengan akar budayanya.

Indonesia timur misalnya, kemerosotan mulai tampak terang terhadap tarian Cakalele dari Maluku, yang dahulu dipentaskan dengan penuh semangat sebagai simbol kegagahan para leluhur, kini semakin jarang terdengar gaungnya.

Di masa lalu, setiap dentuman gong, hentakan kaki, dan teriakan lantang para penari bukan sekadar hiburan, melainkan wujud penghormatan terhadap roh nenek moyang sekaligus perayaan keberanian. Namun kini, denyut kehidupan itu kian melemah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Baca Juga