1. Beranda
  2. Opini

Mendesak Amandemen Konstitusi, Implikasi Desain Baru Pemilu

Oleh ,

Oleh: Rizal Restu Prasetyo, S.H
(Pemerhati dan Praktisi Hukum Pemilu)

Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 sebagai Desain Baru Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menandai perubahan penting dalam desain pemilu nasional, substansi dari putusan ini adalah pemisahan antara Pemilu Nasional diantaranya jenis Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI dengan Pemilu Lokal meliputi Pemilihan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Kepala Daerah.

Jarak antara keduanya ditetapkan paling lama dua sampai dua setengah tahun, skema ini berbeda dengan praktik Pemilu 2024 yang menyatukan pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah dalam satu tahun penyelenggaraan.

Relevansi dengan Pemilu Serentak 2024

Salah satu pertimbangan sosiologis Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 adalah berkaca pada pengalaman Pemilu 2024 yang menunjukkan kompleksitas penyelenggaraan yang luar biasa, beban logistik, tumpukan administrasi, hingga kelelahan penyelenggara dan pemilih yang “bosan” dengan aktivitas Pemilu.

Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 hadir sebagai koreksi, dengan memberikan jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal, dengan begitu, beban kerja dapat lebih terdistribusi dan kualitas partisipasi pemilih lebih terjaga.

Namun tentunya perubahan ini memerlukan dasar legitimasi yang kuat dalam perspektif konstitusionalitas dan oprasionalisasi dalam perturan perundang-undangan pelaksananya.

Dikotomi Mandatori Pemilu dan Pilkada dalam Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945
Sejak Putusan MK 55/PUU-XVII/2019, Pilkada dipandang sebagai bagian dari rezim pemilu, namun tafsir ini diperhadapkan dengan rumusan UUD 1945, Pasal 22E ayat (2) secara jelas menyebut pemilu untuk DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, serta DPRD, tetapi tidak mencantumkan Kepala Daerah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Baca Juga