CERPEN: Di Balik Senja Kaki Gunung Gamalama, Aku Merindukan Cakrawala
SENJA merayap perlahan, melukis langit dengan semburat lembayung, merah saga, dan jingga keemasan. Cahaya matahari yang merunduk jatuh di wajahku, hangatnya seperti sisa pelukan yang enggan pergi. Aku tersenyum tipis, lalu menarik napas panjang, mencoba menahan rasa sesak yang sedari tadi bertengger di dadaku. Angin sore menghembus lembut, menggetarkan dedaunan, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan siang tadi. Dari kejauhan, samar-samar tercium wangi cengkih yang tumbuh di lereng Gunung Gamalama, menambah tenang sore itu. Seolah semesta sengaja memperlambat waktu agar aku bisa menikmati momen ini lebih lama.
Dari bangku kayu yang menghadap langit barat, tepat di kaki Gunung Gamalama, aku menatap cakrawala yang semakin redup. Rasanya ada sesuatu yang meluruh bersama cahaya itu—rasa lelah, duka, dan sepi. Jemariku saling meremas, mencoba meredam gemetar yang mulai merayapi tangan. Senja selalu punya caranya membuatku merenung, dan sore ini tak berbeda.
Namun di balik semua keheningan itu, pikiranku tertuju pada satu nama. Bibirku bergerak tanpa suara, menyebut namanya pelan—Dialah Cakrawala. Seseorang yang hampir selalu ada dalam hidupku. Perannya bukan sekadar sahabat; kehadirannya menembus batas pertemanan, membuatku merasa ia adalah saudara yang dititipkan semesta—meski darah kami tak pernah sama.
Aku ingat jelas sosoknya. Alis tebalnya yang bergerak sedikit saat ia serius, rahang tegas yang selalu terlihat sempurna, dan senyumnya seindah bulan sabit yang menyingkap malam. Saat ia tersenyum, matanya ikut menyipit, seolah dunia tak seburuk yang kubayangkan.
Suatu sore, ketika aku duduk termenung di taman dengan tatapan kosong, ia datang. Langkahnya tenang, sedikit berderit di atas kerikil. Ia menarik napas sebentar sebelum duduk di sampingku.
“Kau kelihatan muram, kenapa?” ujarnya lembut. Tatapannya serius, namun hangat—alisnya sedikit mengernyit, rahangnya rileks.
Aku menghela napas panjang, pundakku merosot. “Banyak hal, Cakrawala… aku lelah menghadapi semuanya sendiri,” ujarku pelan.
Ia menarik sudut bibirnya, senyum tipis yang menenangkan. Tangannya terulur, menepuk bahuku pelan. Sentuhannya hangat, membuat tenggorokanku tercekat.
“Tidak ada yang harus kau hadapi sendirian. Ingat, aku selalu ada, walaupun hanya untuk duduk di sampingmu,” ujarnya lagi.
Aku menoleh, senyum kecil lolos di bibirku meski mata terasa panas. “Aku tahu, tapi kadang rasa ini terlalu berat…” ujarku hampir berbisik.
Cakrawala ikut menatap langit bersamaku. Rahangnya sedikit mengencang, seolah ia ikut menahan sesuatu.
“Kau tahu, senja selalu mengingatkanku padamu. Bahwa ada seseorang yang kuat, tapi juga manusiawi. Lelah itu wajar, tapi jangan biarkan ia memenjarakanmu,” ujarnya lirih.
Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh, membasahi pipiku.
“Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan…” ujarku sambil tersenyum di sela tangis.
Ia terkekeh pelan, matanya berkilat lembut.
“Bukan aku yang tahu,” ujarnya sambil mengangkat alis ringan, senyumnya melebar, “tapi aku ingin kau merasa aman. Kau pantas mendapatkan rasa aman itu, bahkan ketika dunia terasa kacau.”
Sejak hari itu, senyum dan kata-katanya selalu terpatri dalam hati.
Namun waktu tak selalu berpihak. Sabtu, 11 Maret 2023, hari itu masih terpatri jelas di kepalaku—hari ketika ia harus pergi ke kota lain. Saat ia mengucapkan selamat tinggal, ekspresi wajahnya sulit kulupakan—alisnya sedikit berkerut, matanya tampak berat seolah menahan sesuatu. Tangannya menggenggam tanganku lebih lama dari biasanya.
“Jaga dirimu baik-baik, ya,” ujarnya, suaranya terdengar parau.
Aku menunduk, bibirku bergetar. “Aku akan… tapi aku akan merindukanmu,” ujarku dengan suara bergetar.
Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum hangat. Matanya menyala lembut meski wajahnya menyimpan rindu yang sama.“Rindu hanyalah cara hati mengingat bahwa kita pernah berarti bagi satu sama lain," ujarnya.
Sekarang, setiap senja, aku duduk di bangku kayu yang sama. Jemariku mengusap permukaan kayu yang mulai lapuk, seperti mencari sisa hangat tubuhnya. Kabut tipis menggantung di kaki Gunung Gamalama, sementara aroma cengkih masih setia menemani, seolah ikut menyimpan rahasiaku.
Aku memejamkan mata, membayangkan wajahnya. Bagaimana ia akan datang dari kejauhan, dengan langkah tenang dan senyum kecil, seakan dunia kembali baik-baik saja.
Aku juga teringat momen ketika ia memberiku sebatang cokelat di saat aku sedang tidak baik-baik saja dan pada waktu itu bertepatan dengan Hari Perempuan Nasional. Ia menyerahkannya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dimasukkan ke saku celana. Senyumnya lembut, dan tatapannya penuh keyakinan.
“Selamat Hari Perempuan Nasional. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku percaya setiap benturan akan membentukmu menjadi perempuan yang hebat dan kuat. Seperti kata Tan Malaka: terbentur, terbentur, terbentuk,” ujarnya.
Aku teringat kalimat terakhir yang ia katakan kepadaku sebelum kami berpisah:
“Aku hanya ingin semesta mempertemukanmu dengan jiwa-jiwa yang hangat, yang tahu cara menjaga hatimu tanpa kau minta. Semoga di setiap langkahmu, ada tangan yang tak hanya menggenggam, tapi juga memahami. Aku berharap, hidupmu akan dipenuhi tawa yang tulus, pelukan yang tak berniat pergi, dan kehadiran yang tak pernah membuatmu merasa sendirian di dunia yang terkadang terlalu bising ini," ujarnya dengan suara yang nyaris pecah.
Kata-kata itu tetap terdengar di telingaku, menenangkan dan menguatkan setiap langkahku sejak ia pergi. Meski pulau dan jarak memisahkan kami, Cakrawala tetap hidup di setiap senja, setiap hujan, dan setiap langit yang kutatap.
Aku menatap laut di kejauhan, membiarkan rindu membungkus hatiku. Dalam bayanganku, jauh di pulau lain, Gunung Bromo berdiri anggun di lautan pasir yang sunyi. Rasanya seperti rindu yang membentang jauh: sepi, tapi indah, dan selalu mengarah pada langit yang sama.
“Semoga suatu hari, semesta mendengar rinduku dan menghadirkannya kembali—entah untuk duduk sekali lagi di bangku kayu ini, atau sekadar tersenyum dari kejauhan,” ujarku pelan.
Angin sore bertiup lebih kencang, seakan mengusap pipiku yang basah. Aku memeluk kedua lututku, membiarkan dada ini penuh oleh segala yang tak sempat kuucapkan.
“Cakrawala…” ujarku, suara hampir hilang ditelan ombak.
Entah kenapa, dadaku terasa sedikit lebih lapang setelah menyebut namanya. Seolah rindu ini tahu jalan pulang.
Aku menghela napas panjang, menatap langit yang mulai gelap.
“Jika suatu hari kita bertemu lagi,” ujarku sambil tersenyum tipis, “aku ingin kau tahu… aku tak pernah benar-benar berhenti menunggumu.”
Dan meski dunia terasa sepi, ada satu hal yang tak pernah hilang: kehangatan yang ia tinggalkan, dan namanya yang selamanya bersarang di hatiku—Cakrawala.(*)

