1. Beranda
  2. Opini

Darurat Difteri di Maluku Utara: Saatnya Bertindak Cepat

Oleh ,

dr. Akbar Kapissa Baharsyah
(Residen Bedah Fakultas Kedokteran UNHAS/ Ex Direktur Lembaga Kesehatan HMI Cabang Makassar Timur)

Difteri kembali mengetuk pintu Maluku Utara. Kali ini di Ternate. Seorang anak kecil, baru empat tahun usianya, meregang nyawa akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Satu nyawa melayang—dan itu seharusnya cukup untuk membuat kita terjaga. Pertanyaan sederhana muncul: mau tunggu berapa korban lagi?

Penyakit Lama, Ancaman Baru
Difteri bukan penyakit baru. Kita mengenalnya sejak lama, disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang melepaskan racun berbahaya. Gejalanya sering kali samar: sakit tenggorokan, demam, bengkak amandel. Terlalu mudah dianggap sepele. Padahal, racun difteri bisa menyerang jantung, saraf, bahkan menutup jalan napas. Dalam hitungan hari, nyawa bisa melayang.

Epidemiolog Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, pernah menegaskan: “Difteri bukan sekadar masalah medis, melainkan masalah sosial. Begitu cakupan imunisasi turun, penyakit ini langsung mencari celah.” Kata-kata ini sederhana tapi tajam. Imunisasi adalah benteng pertama. Retak sedikit saja, penyakit mematikan bisa masuk.

Masalahnya, pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu sempat mengganggu program imunisasi rutin. Banyak anak yang seharusnya mendapat jadwal vaksinasi, akhirnya tertunda. Celah ini kemungkinan besar dimanfaatkan penyakit lama untuk kembali muncul.

Belajar dari Daerah Lain
Kita tidak sendirian menghadapi difteri. Pada 2017–2018, Indonesia sempat diguncang KLB difteri nasional. Jawa Timur mencatat ratusan kasus. Banten dan Jakarta ikut kalang kabut. Tapi mereka bergerak cepat.

Tim reaksi cepat (rapid response team) dibentuk. Setiap laporan kasus diikuti dengan pelacakan kontak. Semua orang yang pernah dekat dengan pasien diperiksa, lalu diberi antibiotik untuk mencegah penularan.

Tidak berhenti di situ. Pemerintah bersama WHO dan UNICEF meluncurkan Outbreak Response Immunization (ORI). Anak-anak sekolah divaksinasi ulang. Posyandu buka ekstra. Vaksinasi dikebut dari kampung ke kampung. Hasilnya nyata: laju penularan menurun drastis.

Pelajaran lain datang dari komunikasi publik. Di Jakarta, misalnya, puskesmas tak lelah mengedukasi warga. Pesannya sederhana: difteri bisa membunuh, tapi vaksin bisa mencegah. Ulangi terus, sampai masyarakat percaya. Strategi komunikasi inilah yang sering terlupakan. Padahal, ketakutan dan hoaks hanya bisa dilawan dengan informasi yang jernih.

Semua itu membuktikan satu hal: difteri hanya bisa dikendalikan jika pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat bergerak bersama.

Baca halaman selanjutnya…

Baca Juga