1. Beranda
  2. Opini

Wajah Kusam Demokrasi Indonesia: Monarki Bertopeng Presidensial

Oleh ,

Oleh: Ardi Turege
(Wakil Presiden BEM FH UMMU)

Di atas panggung megah yang kita sebut demokrasi, para aktor politik berperan dengan kostum presiden dan parlemen, seolah rakyatlah sutradara. Namun ketika lampu sorot dipadamkan dan tirai ditutup, yang tampak justru sistem tua yang berlumur debu kekuasaan: monarki dalam balutan demokrasi.

Secara konstitusional, Indonesia adalah negara republik dengan sistem pemerintahan presidensil. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, lembaga legislatif dan yudikatif memiliki otonomi, dan prinsip checks and balances menjadi fondasi tata kelola kekuasaan.

Baca Juga: Problematika DPR Indonesia: Kedaulatan Rakyat yang Tergadai

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dalam teori, pemisahan kekuasaan ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun praktik politik mutakhir menunjukkan wajah yang jauh dari ideal. Demokrasi kita kian keropos dan mengalami degradasi berulang. Sistem presidensial tinggal topeng; di baliknya perlahan muncul pola kekuasaan lama yang kental aroma monarki.

Konsep “presidensial” yang dipahat indah dalam konstitusi sebagai Grundnorm Hans Kelsen, hanya sebatas label prosedural. Demokrasi, yang seharusnya hidup dari partisipasi rakyat, tergelincir menjadi ritual lima tahunan penuh gemerlap, lalu dilupakan.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post edisi, Senin 15 September 2025

Kita menyaksikan lahirnya paradoks: “demokrasi monarki”. Rakyat memang tetap memiliki hak suara, tetapi kekuasaan nyata terkonsentrasi pada satu figur atau bahkan satu klan politik.

Presiden bukan lagi pemimpin yang melayani, melainkan penguasa yang disembah; bukan lagi pejabat lima tahunan, melainkan pusat gravitasi kekuasaan yang diwariskan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Baca Juga