1. Beranda
  2. Maluku Utara

Krisis Air dan Ancaman Penyakit yang Menganga

Oleh ,

Cuaca jelang magrib sekira pukul 6 sore tampak mulai cerah berawan setelah hujan deras mengguyur Desa Lelilef Sawai, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah pada Kamis, 7 Agustus 2025. Sesekali rintik hujan membasahi tanah. Jalan utama desa tersebut juga mulai ramai disesaki kendaraan pekerja tambang yang baru pulang dan pergi bekerja.

Fandri- bukan nama sebenarnya baru saja tiba di rumahnya setelah seharian bekerja sebagai buruh di perusahaan tambang nikel Halmahera Tengah. Seragam APD (alat pelindung diri) wearpack belum diganti, lelaki 24 tahun ini langsung mengambil sepeda motor membawa satu galon kosong, 5 menit kemudian ia kembali dengan segalon yang sudah terisi air.

“Kalau suruh istri (beli air) kan tidak mungkin, soalnya ada anak masih kecil,”kata Fandri ketika ditemui Malut Post di rumahnya, Jumat, 8 Agustus 2025.

Fandri adalah salah satu warga lingkar tambang yang melihat dan merasakan langsung dampak kerusakan yang ditimbulkan perusahaan tambang terhadap kehidupan mereka terutama soal air bersih.

Jika dulu air melimpah, sekarang air bersih hanya bisa mereka dapat dengan membelinya di depot yang dijual dengan harga Rp10 ribu per galon ukuran 19 liter. Dalam sehari, ia bersama istri dan satu anaknya bisa menghabiskan satu galon air untuk keperluan masak dan minum. Artinya, dalam sebulan biaya air minum sebesar Rp300 ribu.

“Dulu kan saya masih tinggal sama orang tua, itu banyak orang jadi sehari dua galon, belum lagi kalau ada hajatan itu pasti pengeluaran lebih banyak karena membeli air bergalon-galon,” ungkapnya.

Fandri bercerita, air isi ulang adalah satu-satunya air layak mereka sejak kampungnya disesaki perusahaan tambang nikel.

Kehidupan warga dahulu didukung dengan air bersih melimpah dari Sungai Ale Doma maupun dari sumur-sumur gali.

Sungai-sungai jernih tanpa terlihat adanya lumpur mengendap di dasar sungai. Banyak ikan air tawar seperti mujair dan sumasi yang dapat dikonsumsi. Sungai Ale Doma juga menyediakan kerang putih (biakole) melimpah yang juga dikonsumsi warga. Warga memanfaatkan air sungai untuk segala kebutuhan mulai dari mandi, mencuci, hingga minum.

“Bukan hanya jernih tapi airnya juga dingin, sekarang warga sudah tidak berani masuk ke sungai karena airnya so coklat dan tidak bisa digunakan lagi,” kata Fandri.

Fandri yang dulunya petani dan sesekali melaut, kini harus banting setir menjadi buruh di perusahaan tambang.

“Mau bagaimana lagi, kebutuhan keluarga di tambang ini talalu (terlalu) mahal, torang (kami) tidak bisa cari kerja lain selain kerja tambang karena lahan (pertanian) so tarada (tidak ada),”tambah Fandri.

Senada, Meida Agustina (24 tahun) dan Yolanda (40 tahun), warga Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Waibulan mengatakan, sejak penambangan dimulai, kehidupan warga juga ikut berubah. Jika sebelumnya, Sungai Kobe menjadi tempat berkumpulnya warga termasuk ritual keagamaan seperti pembaptisan, kini air sungai nyaris tidak pernah lagi bersih dan tetap berwarna coklat. Aktivitas warga yang sering dijumpai di bantaran sungai sekarang sudah tidak akan pernah terlihat lagi.

“Air minum kami ya air sungai atau air sumur, tapi sekarang siapa yang berani minum air yang warna coklat kaya begitu, mandi saja sudah tidak bisa apalagi minum,” kata Yanti saat ditemui di rumahnya.

Menurutnya, kehadiran perusahaan tambang telah mempersulit kehidupan mereka sehari-hari. Dia juga mengaku pernah mengalami kram perut dan diare karena mengkonsumsi air sungai.

Warga dan karyawan tambang yang tinggal di Desa Sawai masih menggunakan air sumur untuk kebutuhan seperti mandi dan mencuci. Untuk minum warga masih tetap menggunakan air isi ulang.

Seperti banyak penduduk desa lainnya, tambah Meida, dulu mereka juga minum dari air Sungai Kobe serta air sumur gali, namun sejak perusahaan beroperasi, sumber air itu tidak dapat lagi dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Pemerintah desa, lanjut Meida, telah mencoba menyediakan air bersih yang diolah dari Sungai Kobe. Namun sejumlah warga menolak itu lantaran air yang diambil berasal dari sungai berbau, berwarna kecoklatan. “Akhirnya mereka cari mata airnya di Sungai Tabalik sebagai sumber airnya,”kata Yanti.

Berbeda dengan warga dusun II Desa Lelilef Waibulan yang belum terlayani perusahaan air minum dari desa, mereka harus bergantung pada air isi ulang yang dibeli dari depot dan kios.

Janiba (47 tahun), warga Desa Lelilef Waibulan menceritakan, sejak dulu air dari sumur gali sangat melimpah dan mudah mereka dapat saat menggali, bahkan hampir setiap rumah memiliki sumur.

Namun seiring dengan kehadiran tambang, air sumur juga berubah keruh hingga berubah rasa dan tidak bisa lagi dikonsumsi.

Di sisi lain, mereka tidak mendapat alternatif selain membeli air isi ulang untuk kebutuhan hari-hari. Sebab, jaringan air bersih yang dibangun menggunakan dana desa tidak bisa menjangkau warga di Desa Lelilef Waibulan.

“Sehari itu bisa 2 galon air dengan harga 10 ribu, karena sumur gali dan sungai sudah tidak bisa kita pakai minum lagi,”kata Janiba.

Perempuan empat anak itu menceritakan, selain air berubah warna dan rasa, air sejumlah sumur tiba-tiba juga mengering. Suaminya bahkan tiga kali menggali sumur, namun tidak ada airnya.

“Kami gali sampai 8 meter tapi tidak ada air, karena kalau hanya mengharapkan air galon juga kan biaya, kali gali tanah pindah-pindah, kalau ada airnya itu sudah pasti rasanya asin atau kuning,”tambahnya.

Ia juga pernah mengalami sakit perut setelah mengkonsumsi air sumur gali di dekat rumahnya. Meski tak lama, namun sejak saat itu ia juga melarang anak-anaknya mengambil air sumur gali sebagai air minum.

“Terakhir kita gali sumur dapat air, tapi saat kita pakai minum saya langsung sakit perut jadi sekarang hanya bisa untuk pakai mandi saja,”tandas Janiba.

Kepala Desa Lelilef Waibulan, Faisal Jamil membenarkan jika sumur gali di desa sudah tercemar limbah maupun E coli sehingga tidak layak dikonsumsi. Hal itu juga disebabkan limbah domestik dari MCK dan padatnya pemukiman penduduk. Dia menemukan langsung jarak antara sistem pengolahan limbah rumah tangga dengan sumur gali sangat berdekatan.

“Karena sekarang juga sudah banyak orang jadi mereka membuat septic tank di dekat sumur, karena lingkungan kita juga sudah tidak bersih,”ungkapnya.

Akibat cemaran itu, maka warganya hanya mengkonsumsi air isi ulang yang dibeli di depot. Faisal menceritakan, jauh sebelum Lelilef seramai sekarang, masyarakat hanya mengkonsumsi air sungai dan air sumur.

“Kan dulu juga belum ada perusahaan dan di sini juga orang masih sedikit jadi sumur-sumur dan sungai masih aman, sekarang sudah tidak bisa pakai untuk konsumsi hanya bisa mandi saja (karena tercemar),”ungkap Faisal saat ditemui di rumahnya.

Baca halaman selanjutnya...

Baca Juga