Huru-hara Cokaiba dan Jalan Fagogoru
Oleh: Muhammad Kamarullah
(Warga Fagogoru)
Sejak generasi terdahulu, Cokaiba telah hidup sebagai sebuah tradisi unik masyarakat Gamrange (Weda, Patani, Maba). Tradisi ini merupakan bagian dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dimana topeng Cokaiba yang menyerupai sosok “setan” digunakan sebagai simbol pengusiran orang-orang yang masih berada di luar rumah jelang kelahiran Rasulullah SAW.
Baca Juga: FAGOGORU
Pesan moralnya sederhana namun kuat, bahwa pada momen yang penuh berkah itu, setiap makhluk, bahkan sosok yang disimbolkan sebagai “setan”, ikut mengingatkan manusia agar tidak berkeliaran, dan bergegas masuk ke rumah untuk berdzikir dan bertasbih, memusatkan hati pada peringatan kelahiran Rasulullah SAW.
Di balik bentuk Cokaiba yang unik dan “menyeramkan” itu, ia merupakan manifestasi dari kearifan lokal yang sangat mengakar. Bagi masyarakat Gamrange, Cokaiba bukan hanya sekedar tontonan topeng setan.
Lebih dari itu, sebagai sebuah pesan hidup yang diwariskan dari nenek moyang untuk menjaga disiplin sosial dan spiritual. Sebab jika dimaknai, Cokaiba sebenarnya mengandung filosofi pengendalian diri, penghormatan terhadap waktu, dan kebersamaan dalam menyambut momen sakral dan suci.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post edisi, Senin 15 September 2025
Namun dalam perjalanan waktu, makna Cokaiba mengalami dinamika. Arus migrasi dan perkembangan media social serta interaksi antara penduduk asli dan pendatang membawa warna baru.
Interaksi mengenai pemaknaan Cokaiba ini kadang memperkaya, kadang menimbulkan gesekan yang cukup keras. Dimana belakangan ini, salah satu titik sensitif adalah mengenai perbedaan persepsi terhadap bentuk pemukulan yang “berlebihan” yang dilakukan Cokaiba.
Baca Halaman Selanjutnya..