1. Beranda
  2. Sastra
  3. Ternate

CERPEN: Masihkah Kau Ingat Janji Di Bawah Pohon Kenari?

Oleh ,

LANGIT di atas mulai memerah, berpadu indah dengan Gunung Gamalama. Laut beralun pelan, bersanding dengan perahu-perahu tua. Angin yang berhembus seakan menenangkan kota yang terlalu lama menyimpan rindu yang tak sempat diucapkan. Dari kejauhan, bayangan Gunung Gamalama berdiri gagah—masih sama seperti tahun lalu, saat aku dan dia berdiri di bawah bayangnya, mengikat janji yang kini telah sirna entah ke mana. Namun tidak dengan di benakku, yang masih tersusun rapi tentang janji kita di bawah pohon kenari kala itu.

Sore itu, aku—Rayasena—kembali ke kota kelahiranku, bukan karena ingin, tapi karena dunia luar yang sudah membuat pikiranku cukup riuh. Langkah demi langkah, aku menyusuri tempat-tempat yang terpahat di ingatanku. Di setiap langkah itu, tanpa kusadari, dalam benak ini mulai terputar ulang cerita yang dahulu pernah menjadi bagian terindah dari kota kecil ini.

Namun langkahku terhenti saat kakiku menapaki dedaunan yang tak asing—tempat di mana aku dan dia bertukar cerita, candaan, dan tawa yang kurindu dan tak bisa kudapat dari orang lain.

Di bawah pohon kenari, terukir indah kisah cinta antara aku dan dia—Ferran Elano. Pada saat aku duduk di bawah pohon itu, seketika ceritaku kembali terputar. Kembali ke U tahun lalu, saat aku dan dia menduduki bangku SMA. Kami adalah dua insan yang saling mencintai, dan Ternate-lah yang menjadi saksi saat kami tenggelam dalam hangatnya cinta. Kami menghabiskan waktu bersama dengan berbagai cara: menyusuri kecilnya kota dengan motor tua yang beriringan oleh sejuknya suasana malam, duduk menepi menikmati indahnya laut dan menyerap cahaya bulan, dan melakukan hal-hal sederhana yang bisa kami lakukan kala itu—selayaknya remaja yang bercinta.

Kala itu, kelulusan dari SMA telah menanti. Kami berlarian mengejar cita-cita. Aku, remaja yang penuh mimpi, belajar mati-matian demi masa depan.Begitu pun dengan Ferran, yang terus belajar mengejar harapannya. Walaupun begitu, kami tak lupa mencuri waktu untuk menepi dari ramainya pikiran. Kami duduk bercerita, dan saling memberi sandaran untuk terus gigih.

Waktu pun berlalu. Aku dan Ferran telah melewati banyak hal yang penuhliku. Kami menjadi remaja yang tak lagi memiliki banyak waktu untuk bergelak tawa.

Suatu hari, aku mendapatkan kabar baik dari Ferran. Aku riang gembirasaat mengetahui orang yang kucintai mendapatkan apa yang disaimpikan: melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada, kampus impiannya sejak lama.

 

Namun tidak denganku, yang justru ditolak oleh kampus impianku. Aku pun melanjutkan studi ke Universitas Hasanuddin. Aku menatap dalam mata Ferran. Iaterdiam, dengan pandangan kosong dan mata yang bergelimang air mata. Aku bisa merasakan kesedihannya, dan aku pun tak dapat menyembunyikan kesedihanku. Kami hanya terdiam, namun kami paham: bahwa segala sesuatu tidak selalu sama dengan bayang yang kita harapkan.

Selasa, 28 September 2011.

Hari yang tak bisa kupupuskan dari pikiran maupun hati. Hari yang paling kutunggu dalam hidup ini, namun justru menjadi angkara bagi aku dan dia.Hari terakhir sebelum kami berpisah dengan kota yang sudah menjadi bagian dari jiwa kami. Ferran mengajakku menyelami dan berusaha menyimpan segalanya dalam ingatan—di bawah pohon kenari.

Nestapa ini tak benar-benar pergi, hanya berganti bentuk menjadi diam.

Di bawah pohon kenari, sembari angin bertiup pelan, Ferran menyadari kesedihanku. Ia pun berjanji akan kembali dalam pelukanku dan mengayuh bahtera rumah tangga ketika ia sudah mapan. Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantong celananya—secarik kertas berisi kata- kata manis danfoto kenangan kami. Aku cukup lega mendengar janji itu. Aku hanya berharap, itu bukan sekadar janji manis, tapi benar-benar menjadi bayangan nyata bagiku.

Esoknya, pada kala itu, kami benar-benar berpisah. Bukan hanya aku dandia, tapi juga kami dengan kota ini—yang menjadi saksi segala kesedihan dan kebahagiaan, sekecil apa pun.

Yang tertinggal hanyalah air mata dan secarik kertas yang menemaniku hari demi hari, menjadi obat kala rindu. Kami yang terbiasa menghabiskan waktu berdua, kini dipaksa oleh keadaan untuk menghadapi kenyataan dan rintangan.

Sayangnya, aku dan dia gagal menghadapi rintangan itu. Kami sudah terlalu sibuk mengejar dunia masing-masing. Kurangnya komunikasi, waktu yang tak lagi memberi celah. Kami tak bisa lagi mencetak kenangan baru. Rintangan memaksa kami untuk melepaskan genggaman yang dulu erat—namun tidak dengan hatiku, yang tak pernah benar-benar pergi. Kala itu,aku tetap menjalani hari-hariku dengan jiwa yang lelah, seperti langit yang mendung dalam dada. Saat aku duduk di bawah pohon kenari, pikiranku dipenuhi cerita itu. Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku:

“Sena?”

 Suara itu. Aku mematung. Jantungku terasa seperti berhenti sejenak. Hanya satu orang yang menyebut namaku dengan nada khas seperti itu. Akumenoleh perlahan. Di antara jatuhnya daun dan siluet angin yang menghembus mengikis telinga, berdirilah seseorang yang selalu kutunggu di setiap malam yang sunyi: Ferran Elano.

Dan pada saat itulah aku tahu—bahwa langit Ternate tak pernah benar-benarmelupakan kisah kami. Aku dan Ferran kini benar-benar kembali. Pohon ini masihberdiri, menunggu untuk menjadi saksi pertemuan kembali.

Janji-janji yang dulu nyaris tenggelam oleh waktu… namun cinta yang tulusitu seperti hujan: selalu tahu ke mana harus pulang. Dan bagi kami,pulangnya adalah Ternate—laut kenangan yang dulu menumbuhkan cinta.

Aku dan Ferran terikat kembali oleh semua kenangan yang pernah ada. Dia menepati semua janjinya yang dulu kupikir telah hilang entah kemana. Kami kembali menyusuri setiap sudut yang dulu menjadi tempatkami berbagi cerita.

Hal yang paling tak kusangka kini benar-benar terjadi: di sebuah senja, diantara aroma laut dan langit yang sama seperti dulu… aku pun menyadaribahwa beberapa perasaan memang tak lekang oleh waktu.

“Janji adalah utang yang ditulis oleh hati dan dibayar dengankesetiaan.”
— Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). (*)

Baca Juga