Pemberian Amnesti dan Abolisi oleh Presiden
Suatu Catatan atas Permasalahan HK dan TL
Oleh: Iskandar Yoisangadji
(Praktisi dan Akademisi Hukum UMMU)
Putusan Pengadilan Tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri Jakarta pusat nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst dimana pengadilan mengabulkan dakwaan primer dengan menjatuhkan hukum 4 tahun dan 6 bulan kepada Thomas Trikasih Lembong, dan oleh penasehat hukum sedang melakukan upaya hukum banding. Hal yang sama juga Pengadilan telah menjatuhkan putusan kepada HK.
Tetapi pada tanggal 1 Agustus 2025 Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) yang menjadi dasar diberikannya Amnesti dan Abolisi kepada HK dan TL. Tentunya pemberian Amnesti dan Abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana didasarkan pada pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut (UUD 1945).
Meskipun presiden memiliki kewenangan dalam kekuasaan Yustisial yang mana Presiden dapat memberikan Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, kepada siapa saja tetapi dalam pemberian itu harus memperhatikan pertimbangan sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945. Pertanyaan hukumnya adalah Apakah pemberian Abolisi dan Amnesti juga dapat di dasarkan pada UU darurat Nomor 11 tahun 1954 Tentang Amnesti dan abolisi? kapan dan dalam keadaan seperti apa presiden dapat memberikan abolisi dan amnesti?
Pengenalan Grasi, Amnesti, Abolisi, Dan Rehabilitasi
Presiden mempunyai kekuasaan di bidang yustisial, kekuasaan ini berkaitan dengan pemberian Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. terhadap perihal ini ada yang berpendapat bahwa kewenangan tersebut bukan merupakan suatu bentuk kekuasaan yustisial. M.V. Pylee membuat catatan kaki dalam bukunya (Constitution Government In India Asia Publishing House 1960) yang menyebutkan pardoning power is sometimes characterized as a judicial power of the president.
This is wrong because granting of pardon is prerogative of the executive and, as such, an executive power. Jadi pemberian grasi adalah kekuasaan eksekutif, bukan kekuasaan yustisial. Selain itu ada juga yang mempergunakan alasan, kekuasaan tersebut dilaksanakan diluar proses yustisial. Kekuasaan ini dilaksanakan sesudah atau sebelum proses yustisial. Bahkan meniadakan proses yustisial. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi bukan suatu bentuk proses yustisial karena tindakan ini tidak di dasarkan pada pertimbangan hukum. Tetapi pada pertimbangan kemanusiaan atau pertimbangan lain di luar hukum seperti pertimbangan politik dan lain sebagainya (lihat bagir manan dalam Bukunya Lembaga Kepresidenan, 1990. Gama Media, Yogyakarta. Hal. 164-165).
Walaupun demikian pendapat umum menyatakan Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi merupakan tindakan yudisial karena tidak dapat dipisahkan baik secara langsung atau tidak langsung dari proses yustisial walaupun tidak termasuk kedalam bentuk upaya hukum.
Terus apa itu Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Bagir Manan memberi pengertian Grasi adalah kewenangan presiden memberi pengampunan dengan cara meniadakan atau mengubah atau mengurangi pidana bagi seorang yang dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang yang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis pidananya, (misalnya dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara) atau tidak perlu menjalani pidana tersebut.
Amnesti adalah kewenangan presiden meniadakan sifat pidana atas perbuatan seseorang atau kelompok orang. mereka yang terkena amnesti dipandang tidak pernah melakukan suatu perbuatan pidana. Umumnya amnesti diberikan kepada sekelompok orang yang melakukan tindak pidana sebagai bagian dari kegiatan politik. Seperti pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan yang sah. Tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada orang perorang.
Abolisi adalah kewenangan presiden meniadakan penuntutan. Sepertihalnya grasi, abolisi tidak menghapuskan sifat pidana dari suatu perbuatan. Tetapi presiden dengan pertimbangan-pertimbagan tertentu menetapkan agar tidak diadakan penuntutan atas perbuatan pidana tersebut. Perbedaannya dengan grasi adalah grasi diberikan setelah proses peradilan selesai dan pidana yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan pada abolisi proses yustisial seperti penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan belum dijalankan. Sedangkan Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Baca halaman selanjutnya...