CERPEN: Misteri Dara
RA... Demikianlah orang-orang menyapanya. Perempuan semata wayang, yang hidup bersama neneknya di penghujung desa seberang kota tanpa hiruk-pikuk dan kebisingan. Hanya hening. Gadis malang itu, dengan bulu mata yang lentik, pula terhias alis tebal melengkung serupa bulan sabit yang berpendar-pendar ke seantero jagat raya, ia begitu anggun. Namun, terkadang, dirinya acapkali membendung teriknya mentari lewat guratan luka bahkan derai air mata. Orang-orang tak pernah tahu itu, mereka sekadar melirik keceriaannya. Seolah dirinya berlagak kuat seyogianya perempuan pada umumnya.
Dalam dunianya, Dara hanya mengenal kasih sayangnenek tanpa kakek. Ia tak pernah berjalan di atas karpet merah, seperti kemegahan lantai istana milik bangsawan kaya raya. Jangankan gaya hidup para bangsawan, bahkan sebatas makan pun sehari sudah cukup untuk isi perutnya bersama sang nenek.
Bagi Dara hidup adalah teka-teki yang harus diselesaikan secara rahasia, dan individu tanpa harus ada yang tahu. Laksana sang Ibu yang menyimpan dengan rapi catatan peristiwa kelamnya, dalam balutan penderitaan agarmenutup pandangan anak semata wayangnya. Bahwa sang Ibu baik-baik saja.
Saban hari Dara merintih di balik pekarangan bunga, di tepian sungai, di bawah pepohonan pala yang teramat lebat buahnya. Hari-hari terasa sayup, kehidupannya seakan hanya tentang hitam dan putih. Bagaimana tidak? Dara tumbuh tanpa kasih sayang ibu dan seorang ayah, meski sang nenek membesarkannya dengan cinta, namun menurutnya itu tak cukup. Ia pernah berkali-kali meminta Nenek untuk membawanya kembali dalam pangkuan sang Ibu. Tapi sang nenek tak menggubris secuil pun. Tak ada pucuk pengharapan. Bak lorong gelap tiada ujung.
Dara selalu menyendiri setelah kepergian ibu, ia sesekali duduk di atas bukit tempat sang Ibu melihat harapannya yang runyam, menjahit luka, menahan air mata tanpa putus asa hingga pergi membawa duka hidup.
Lalu tiba waktunya Dara tak menyadari senja telah pamit di balik gunung yang dihiasi lukisan awan memerah merekah bahagia. Siapa sangka, malam kini menyapa, pertanda ia harus segera kembali ke rumah, begitu setiap harinya. Terkecuali ketika jarum jam berhenti bergerak dan bumi tak lagi berotasi. Mungkin hal itu merupakan rutinitasnya merayakan lara yang terendap pada kubangan rindu nun jauh. Mendalam.
Lambat-laun gema lantunan azan menggetarkan langit. Dara mempercepat langkahnya, seakan suara muazin merupakan kode secara alamiah dari sang nenekmemanggil cucunya kembali. Dan nenek tak pernah melewati batas waktu yang telah ditentukan, walau tanpa sengaja. Dari kejauhan tanpa kasat mata, sang nenek menyapa.
"Ra.... Ayo nak, Pulang.” Serunya dengan nada lembut.
Dara yang masih dibalut kesedihan, air matanya terus bercucuran, hingga membuat kantung matanya bengkak. Ia coba mengusapnya dengan saputangan peninggalan Ibu, Dara berlari pelan-pelan menuruni bebukitan yang dipenuhi dengan suara jangkrik, pula nyanyian merdu merpati.
Tak lama ia mulai terlihat dibalik semak belukar, sambilberjalan mendekati neneknya, Dara lalu meraih tangan Nenek dalam genggaman sembari mendengarkan beberapa kata manis yang keluar dari bibir Nenek.
"Anakku... Nenek begitu menyayangimu."
Seperti berbalas pantun Dara tanpa ragu berbisik mesra,"Nek aku pulang pada orang-orang yang merindukanku, dan kembali pada rumah di mana aku bermula pergi." Mereka pun berjalan, bergandengan tangan, menyusuri jalanan sepi, disaksikan oleh pohon-pohon yang bergoyang.
Pun keinginannya berkelebat begitu saja tanpa aba-aba, Dara memulai pembicaraan "Nek Sering-seringlah bawa Dara ke rumah Ayah dan Ibu untuk bertemu,”
"Iya nak... nanti ya, setelah usiamu memasuki 17 tahun.” Tanpa ragu sang Nenek menjawab.
Dara pun mengangguk menyetujui segala yang terucap dari Nenek.
Malam pun tiba, seperti malam-malam sebelumnya ketikajarum jam berderik, Nenek akan merasa hidupnya begitu terusik, apabila mendengar cucunya bergurau, "Besok antar Dara ke rumah Ibu dan Ayah.” Lantas pikiran Nenek bimbang tak keruan.
Demikian sang Nenek sehari saja lalai memberi alasan tentang kedua orang tua cucunya, ia akan merasa bersalah dan berdosa terhadap mendiang anaknya.Seperti biasa sebelum cerita dimulai Nenek mengajak Dara menggelitik bunga pala, ditemani secangkir kopi yang disuguhkan cucu kesayangannya. Namun siapa sangka ketika ceritanya dimulai, Nenek selalu tak menceritakan seutuhnya peristiwa yang menimpa kedua orang tua Dara. Sesekali si gadis mungil itu mulai melontarkan pertanyaan di luar dugaannya "Nek kenapa ibu dan ayah tak pernah menemui Dara?” Dalam sekejap keningnya mengernyit. Nenek hendak membisu cukup lama, akan tetapi Nenek tak kehabisan akal untuk menangkis pertanyaan Dara.
“Ah nak, kenapa bertanya demikian?” Gumamnya.“Bukankah Nenek telah memberi tahumu? Jika Nenek akan membawamu ke sana setalah dua tahun berikutnya nak. Sabar ya sayang.” Sambung Nenek seraya membelai kasih rambut Dara.
Sekejap tatapan Nenek berubah sendu, entah apa yang sedang menggentayangi pikirannya, Dara tak tahu pasti.Namun, di balik bola matanya yang mengeriput, seolah-olah tak menampakkan suatu kejujuran. Matanya jelas-jelas berkata serupa itu, menandakan Neneknya tengah menyembunyikan penggalan cerita perihal Ibu yang tak kunjung pulang. Tentang apa yang terjadi pada Ibu Dara hingga detik ini belum juga dipertemukan.
Rupanya Nenek menyimpan sekantong rahasia tentang anaknya dengan rapi tanpa celah, juga tak diketahui Dara hingga usianya memasuki 17 tahun. Alih-alih Nenek mengajak Dara untuk tidak bertanya kembali, tapi Dara tampak Penasaran dan ingin mencari tahu!
Malam itu, jarum jam bergerak menuju angka satu, sekonyong-konyong Dara terbangun dari tidur lelapnya. Dengan mata sedikit terkatup, dan mulut yang sesekali menguap, ia berjalan setengah terhuyung-huyung ke kamar mandi. Sontak kelopak matanya terbelalak, setelah mendengar sentakan kaki melangkah, yang perlahan-lahan mendekat di balik bambu berdekatan dengan jendela kamarnya. Situasi begitu mencekam, dan karena rasa takut menghantuinya, Dara secara sigap berlari tergopoh-gopoh menuju kamar tidur.
Diambilkannya bantal peluk, lalu menaruhnya tepat di atas wajahnya yang mulai menggigil. Dara memejamkan matanya rapat-rapat sambil berdoa di dalam hati. Ia berharap tak ada roh jahat datang mengganggu tidurnya. Namun tiba-tiba terdengar desis yang mendesah, terasa dekat di balik daun telinga Dara, pikirnya itu adalah nyanyian lembut yang terdengar indah seperti biasanya dari sang nenek ketika mengigau. Dan suara itu kembali berderik, disertai angin berembus pula ceracau cicak pada langit-langit kamar. Terlihat, Dara gemetar sampai gigitnya mengeram, suara hati memanggil-manggil sang Nenek. Tapi bibirnya tak mampu berucap, mulut ini rasanya semacam dijahit.
Tak berselang lama, sebuah bayangan besar muncul di balik tirai. Menghampiri Dara, yang berusaha membereskan rasa paniknya. Lantas seorang lelaki tua muncul di hadapan. Ia tak mengenakan baju, hanya celana kolor saja. Tangan kirinya menggenggam sebilah pisau. Lelaki tua itu menampakkan wajah buasnya dari kegelapan. Dara semakin waswas, saat merasakan sentuhan tangan besar tersebut mencengkeram bantal peluk yang sedari awal membentengi ketakutannya. Aku tak boleh takut, tak boleh panik, dan harus berani.! Serunya dalam hati. Bantal terangkat, sejenak Dara kehilangan kata-kata. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dara menatapnya dalam-dalam, dengan napas sedikit tak teratur. Ia memberanikan diri menyapa dengansebuah tanya "Kakek... Sedang apa kau di sini?" Secara gesit lelaki tua menyumpal mulut Dara, sambil berbisik "kau begitu cantik nak, seperti pelacur itu." Desis lelaki tua dengan nada merayu tapi juga menjatuhkan. “Mungkin jika seperti dirimu menetap lebih lama, dalam pangkuanku, dia akan tetap hidup. Dasar Pelacur!"
Mendengar ucapannya yang rada nakal dan mengancam, jelas tentu detak jantung Dara berdegup lebih kencang. Serasa, nyawanya di ujung tanduk kematian. Dan badai ketakutan itu memaksanya berteriak tanpa kata-kata. Mulutnya disumpal, suaranya nyaris tak terdengar oleh sang Nenek. Beruntung dengan lincah menggigit tangan si lelaki tua, sehingga sekali ia berteriak sekencang mungkin.
Nenek begitu kaget. Cepat-cepat mendatangi kamar Dara.Ia telah tergeletak di atas tempat tidur. Secepat kilat lelaki tua merangkak, ia begitu piawai mencari jalan keluar. Ia pun berlari meninggalkan jejak sehelai kain, mirip sang kakek.
Nenek menghampiri penuh kepanikan, memanggil-manggil cucunya, "Ra...Nak, ada apa?" sambil memeluk dan menatap penuh kepanikan. Nenek lalu teringat kejadian beberapa silam lalu yang menimpa ibu Dara, Ia sontak memandang wajah nenek yang tiba-tiba berubah menjadi pucat. Nenek mencoba menutupi ketakutan itu, agar tak terlihat oleh Dara. Nenek lalu berucap meyakinkan Dara "kau tak harus takut pada siapa pun,Nak!” Sang nenek memberi kekuatan pada cucunya yang masih terlihat lugu.
Dara tersenyum paksa, agar terlihat baik-baik saja di hadapan neneknya "Ah nenek, semuanya akan baik-baik saja bukan?” Rupanya kedua dari mereka menyimpan kebohongan begitu pandai. "Aku telah disentuh Nek, oleh sih Kakek tua itu. Dia menutupi mulutku agar tak berteriak, dan berbisik padaku Nek.” Celetuk Dara "tapi aku tak mengapa kan, itu artinya aku kuat nek. Dara hanya tak ingin nenek tak cemas!” Dara bergumam dalam hati "dengan usia nenek yang semakin menua, semua akan baik-baik saja."
Dara tahu apa yang harus ia lakukan, dan semakin memahami apa langkah yang ia ambil.
Keesokan harinya Dara meyakinkan diri, untuk mencari rumah ibu dan ayahnya sendiri. Dengan melupakan seluruh kejadian semalam, yang menggerogoti dirinya tanpa ampun. Berkelebat pertanyaan muncul dalam hati“apa yang membuat Ayah dan Ibu pergi tanpa membawa diriku?” Ia juga tak lupa akan merangkai beberapa pertanyaan saat berjumpa dengan mereka.
Ia meninggalkan sang Nenek dalam tidur panjangnya. Ia tak menyadari kalau hari itu, nenek mengembuskan nafas terakhir. Selepas dari bukit jalan antara rumah dan hutan, Dara menyadari sesuatu, teringat pesan sang Nenek "Ketika bepergian jauh nak, harus Ingat apa tujuan kita." Dara juga mengingat-ingat ucapan Nenek: Konon bukit itu adalah bukit keramat, bahwa setiap pengunjung yang melintasi bukit itu selalu meminta keselamatan dalam kepasrahan terhadap leluhur.
Dara menyadari kebersamaan dengan kedua orang tuanya, tak selayaknya anak-anak di luar sana, tapi Dara berharap semuanya tidak hanya menjadi kata pernah dan berakhir di atas air mata, dan doa.
***
Pulang!!!
Aku seperti mendengar suara Nenek menyahut dari kejauhan.
Ah sial, sudahlah Nenek sedang tidur dalam lelap. Selang beberapa menit kemudian.
Ibu.....
Dara menyapa, melihat Ibu dibalik rimbunan pepohonan, seakan-akan pandangan itu mulai jauh, Dara menggosok-gosok matanya seperti orang kelilipan.
Ia berlalu pergi mendekati pepohonan itu, lalu bercerita dalam kesendirian "Nek, Dara melihat Ibu."
Tak ada sahutan dari segala arah, Dara memancarkan senyuman dan mengangguk, tanpa basa-basi Dara berucap "Aku mengerti."
“Sut....”
Siulan kecil mulai menerkamnya, kali ini tak ada teriakan pertolongan dari Dara. Lelaki tua itu. Ia si kakek semalam yang hadir dalam kegelapan, kini memanggil aku di balik hutan setengah belantara. Meski begitu, aku tak menoleh, lalu berjalan lebih cepat, tak seperti pejalan kaki normal lainnya.
Aku gemetar ketakutan dalam teriakan bisu memanggil-manggil nama Nenek dalam hati, aku berharap ada pertolongan menghampiriku.
Aku menghela nafas mengatur langkah agar berlari mencari jalan pintas, sontak terkaman dari belakang menerobos seluruh tubuhku. Sang Kakek dengan bisikannya dan tatapan rada menggoda berkata "Mau ke mana anak manis?" Aku merontak melakukan perlawanan, berteriak meminta tolong. Namun tak ada satu pun bantuan dari sisi kiri, kanan, depan atau belakang.
Aku merintih dalam kepasrahan, sang Kakek tua itu mulai melakukan aksinya! Ia melancarkan tangannya secara brutal. Buas. Bajuku terkoyak bahkan sobek, ia menjambak rambutku begitu kuat lalu memotongnya dengan gunting. Dia juga mematahkan jari-jariku, dan menempelkan bibirnya yang keriput itu menempel bibirku. Aku tak tahan bau pesing mulut si kakek. Apalagi aroma tembakau itu, baunya sungguh menyengat. Rasanya mau muntah. Ia menjulurkan lidahnya ke sela-sela bibirku. Buas serupa anjing lapar. Tanpa mengingat usianya yang semakin menua dan sebentar lagi menghadap maut. Ya semacam itulah, mungkin filosofi hidupnya adalah menikmati sebelum mati. Cengkeramannya makin kuat, wajahku hampir peot dibuatnya. Si kakek pun menggelinjang seakan kena setrum, tapi wajahnya melukiskan rasa puas.
Dan Kakek tua itu berkata padaku "Kau akan mati, laksana Suhaira perempuan jalang itu."
Air mataku berlinang di bawah cengkeraman lelaki tua , aku berharap ada keajaiban menolong diri ini.
Aku bergumam penuh air mata : "Dara anakmu Bu... Tak pernah tahu bagaimana wajah ibu, cara ibu merawatku, menyanyikan lagu dalam ayunan saat tertidur. Tapi kini aku ditiduri dalam hutan, digerayangi tanpa iba." Lelaki tua itu tertawa cekik "ha. ha. ha. Dasar jalang, sama seperti Ibumu, tak akan ada yang menerima Ibumu dan seluruh turunannya di muka bumi ini, bahkan ke Neraka sekalipun.”(*)