Emergency Exit untuk Ibu Kota
Oleh: Hendra Kasim
(Advokat & Legal Consultant/Direktur Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokrasi Konstitusional)
Lebih dari dua dekade Provinsi Maluku Utara berdiri. Tepatnya sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (untuk selanjutnya disebut UU No. 46/1999).
Umur yang tidak lagi muda, sudah sepantasnya provinsi ini berlari mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, sebagaimana cita-cita perjuangan pemekaran dari Provinsi Maluku.
Baca Juga: Presidium Rakyat Tidore Sampaikan Penolakan Soal DOB Sofifi
Jauh api dari panggang, cita-cita kesejahteraan belum sepenuhnya terpenuhi. Provinsi yang terdiri dari 400 pulau ini masih berkutat dengan isu “Ibu Kota”. Seperti anak ayam kehilangan induknya. Hingga umur yang tergolong dewasa, rembukan kedudukan Ibu Kota belum jelas ujung pangkalnya.
Bahasa Norma
UU No. 46/1999 tegas meletakkan posisi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, tepatnya Pasal 9 ayat (1) UU No. 46/1999 menyebutkan “Ibu Kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi”.
Secara normatif, UU No. 46/1999 terkesan telah menyudahi perdebatan dimana letak Ibu Kota Provinsi Maluku Utara. Namun, pengaturan ini malah menyisakan masalah baru.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 17 Juli 2025
Sofifi yang berstatus sebagai desa justru melahirkan keinginan sekelompok orang menjadikan Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru Kota Sofifi (untuk selanjutnya disebut DOB Sofifi), yang itu berarti harus dimekarkan dari Kota Tidore Kepulauan.
Disinilah letak persoalannya, memekarkan suatu daerah bukan hanya urusan administratif normatif semata, pula berkelindan dengan political, social, hingga historical issue.
Baca Halaman Selanjutnya..