1. Beranda
  2. Opini

Pentingnya Perlindungan Pengetahuan Tradisional Indonesia Dalam HAKI

Oleh ,

Oleh: Dafri Samsudin 
(Mahasiswa S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia)

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau memiliki kekayaan budaya dan biodiversitas yang sangat tinggi. Kekayaan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga berupa pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge/TK) yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat.

Pengetahuan ini mencakup praktik pertanian lokal, pengobatan herbal, teknik kerajinan, pengelolaan alam, hingga ekspresi budaya. Namun, pengetahuan tradisional Indonesia menghadapi ancaman serius, baik dari eksploitasi tanpa izin (biopiracy), marginalisasi dalam sistem hukum modern, maupun pelunturan akibat globalisasi budaya.

Dalam konteks ini, pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional dalam kerangka Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi isu yang sangat mendesak. Perlindungan bukan hanya diperlukan untuk menjaga martabat komunitas adat, tetapi juga untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adil.

a. Nilai Strategis Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai historis dan budaya, tetapi juga nilai ekonomi yang sangat besar. Banyak industri global saat ini memperoleh manfaat langsung dari eksplorasi pengetahuan lokal, termasuk industri farmasi, kosmetik, makanan, dan pertanian. Jika tidak dilindungi secara hukum dan kelembagaan, pengetahuan tradisional Indonesia dapat menjadi komoditas bebas yang diklaim pihak asing, sementara masyarakat asal kehilangan haknya sebagai pemilik sah.

Dalam banyak kasus, masyarakat adat tidak memiliki kekuatan hukum maupun pengetahuan prosedural untuk menuntut perlindungan. Lemahnya literasi hukum, ketiadaan dokumentasi tertulis, serta ketidaksetaraan akses ke sistem hukum membuat posisi mereka sangat rentan. Oleh karena itu, perlindungan pengetahuan tradisional tidak bisa hanya berbasis hukum formal, tetapi harus dikombinasikan dengan pendampingan, dokumentasi partisipatif, dan pengakuan kultural secara menyeluruh.

Konsep yang ditawarkan oleh Wynberg, Schroeder, dan Chennells mengenai akses dan pembagian manfaat (Access and Benefit Sharing/ABS) layak diadopsi oleh Indonesia dalam bentuk undang-undang nasional. Misalnya, jika sebuah perusahaan kosmetik mengambil inspirasi dari ramuan minyak kelapa masyarakat Papua untuk produk perawatan kulit, maka perusahaan tersebut wajib:
1. Mendapat persetujuan dari komunitas adat secara transparan;
2. Menyepakati kontrak pembagian keuntungan (royalti, pelatihan, investasi lokal);
3. Mengakui sumber asal dalam publikasi dan merek dagang.

Skema ini juga membuka ruang bagi masyarakat adat untuk tidak hanya menjadi objek perlindungan, tetapi juga pelaku ekonomi kreatif yang memanfaatkan pengetahuan leluhur secara legal dan berkelanjutan.

Baca halaman selanjutnya ...