Oleh: A. Malik Ibrahim
(Pengamat Sosial)
“Disebut para oligark. Mereka bisa pesan kebijakan dan menentukan siapa yang
jadi pemimpin” (Prabowo Subianto, 2023)
Transisi energi mengubah banyak hal. Mulai dari perilaku manusia, masyarakat, cara kerja korporasi, kerusakan alam, tabiat ekstraktif pemerintah, pertumbuhan semu, pemburu rente, alih fungsi tata guna hutan, sampai pada sindikat jual-beli kebijakan negara dan daerah.
Tambang memicu terjadinya konflik di mana-mana, bahkan mengubah tatanan geopolitik dunia. Apa artinya?
Menurut riset Kyllie McKenna (2015), 40 persen konflik di dunia terjadi akibat pertarungan memperebutkan sumber daya alam, termasuk sumber daya energi.
Baca Juga: Berebut Kuasa di Negeri Tambang
Praktek pembangunan yang hanya menguras habis kekayaan alam dan direduksi semata-mata kepentingan investasi.
McKenna juga mempertanyakan, mengapa program-program CSR banyak yang gagal mecapai tujuan, yakni mencegah terjadinya konflik sosial antara perusahaan dengan masyarakat sekitar.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 1 Juli 2025
Karena kapasitas program-program CSR selama ini tidak merespon isu-isu sosial dan lingkungan yang dihadapi masyarakat setempat.
Di Maluku Utara, industri nikel telah melahirkan problem krusial terkait dampak lingkungan dan akses terhadap sumberdaya alam.
Baca Halaman Selanjutnya..
Mengapa pemerintah terkesan setengah hati membongkar borok-borok aparat, birokrat dan elite di pusat kekuasaan?
Konflik muncul bukan karena kekuasaan, tetapi karena kekuasaan itu merambah dalam bisnis tambang dan tidak melihat perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan.
Baca Juga: Korupsi Politik Pertambangan di Maluku Utara
Tambang itu industri predator, prakteknya memangsa ruang hidup masyarakat. Di mana pun, kawasan tambang, selalu bermasalah. Dia tidak pro lingkungan, khususnya konservasi hutan.
Termasuk di dalamnya, tidak pro pada kepemilikan hak atas tanah masyarakat. Jika mau dihitung, biaya untuk kerusakan lingkungan dan sosial budaya itu sangat mahal.
Selain masalah lingkungan, laporan riset Jatam (2024), menyebut “di lingkar desa-desa dan sekitar tambang nikel kerap terjadi kekerasan, pengusiran dan eksklusi rakyat dari tanah mereka sendiri”.
Baca Juga: Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang
Why most poverty program fail? Pertanyaan riset ini diajukan Clayton Christensen (2019) dalam bukunya The Prosperty Paradox (Paradoks Kemakmuran). Mengapa sebagian besar program pemberantasan kemiskinan gagal?
Mengapa daerah yang begitu kaya sumber daya alam bisa jadi miskin, bahkan tak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat?
Baca Halaman Selanjutnya..
Salah satu implikasi adalah bahwa masih dianutnya cetak biru pembangunan, yang orientasinya lebih pada tindakan “mengorbankan”.
Bukan keberlanjutan yang didasari konsep antroposentrik. Buktinya, pemanfaatan sumber daya alam selama ini tidak mendukung kemandirian daerah di bidang ekonomi. Keberadaan tambang tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Pertambangan, Kesejahteraan, dan Dampak Lingkungan
Banyak orang berpikir kekayaan alam yang berlimpah akan secara otomatis membuat masyarakatnya sejahtera. Faktanya justru sebaliknya; yang terjadi adalah ketimpangan, kemiskinan dan kesengsaraan.
Padahal idealnya industri tambang jika dikelola dengan benar, akan jadi berkah yang melimpah bagi masyarakat. Tapi faktanya tambang justru berubah jadi ancaman; sumber bencana dan malapetaka.
Bahkan mematikan. Ia rakus pada eksploitasi alam murah yang terdiri atas tanah, hutan, sungai, tanaman, binatang, tenaga kerja dan bahan baku.
Semuanya kemudian hanya direduksi sebatas bantuan yang sifatnya karitas. Dalam konteks otonomi, daerah selama ini hanya dijadikan basis pengembangan eksploitasi pemerintah pusat.
Pada saat yang sama, ia juga menjadi pipa pengisap yang menyedot sumber daya ekonomi daerah bagi kepentingan oligarki kekuasaan dan konvergensi elite politik Jakarta.
Baca Halaman Selanjutnya..
“Lalu apa tujuan otonomi, jika prakteknya hanya pengisapan kekayaan daerah yang akhirnya hanya memiskinkan rakyat”?
Strategi dan kebijakan otonomi daerah tidak lagi diprioritaskan pada pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah. Namun, sebaliknya dipaksakan ekspansi industri hilirisasi atas nama Proyak Strategi Nasional (PSN).
Bagaimana ragam dampak krisis sosial ekologis dan ekonomi akibat rezim keruk pertambangan nikel di Halteng dan Haltim?
Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto
Pertanyaan riset ini diajukan oleh Transparency International Indonesia (2025: viii), tentang Industri Keruk Nikel : Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya.
Menurut riset, salah satu kunci dari suburnya praktik korupsi dalam pertambangan nikel di Maluku Utara, adalah akibat penyanderaan dan perusakan pilar dasar demokrasi.
Yakni melakukan penaklukan kaum akademisi dan otoritas Universitas di daerah dan pembungkaman masyarakat sipil dan jurnalisme kritis.
Data riset menunjukkan bagaimana modus korupsi di lingkar tambang nikel mulai dari penggelapan kepemilikan izin perusahaan tambang, manipulasi blangko kosong ganti rugi, revolving door corruption dan abuse of power serta konflik kepentingan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dan aktor dalam kepentingan ini adalah pejabat dan politisi di tingkat pusat dan daerah dengan dalih percepatan hilirisasi dan industrialisasi Proyek Strategis Nasional.
Temuan khusus di wilayah desa-desa lingkar tambang pada dua daerah tersebut, menunjukkan terjadinya konflik agraria, penghacuran dan perampasan ruang hidup, pencemaran sungai, izin konsesi dalam kawasan hutan lindung dan penggusuran komunitas lokal serta manipulasi revisi tata ruang wilayah.
Begitu masifnya ekspansi industri tambang nikel di pulau Halmahera dan pulau lainnya secara membabi buta menimbulkan kasus pencemaran dan kerusakan seperti laut, sungai, hutan, atmosfer, air, tanah dan penurunan kualitas hidup dan kesehatan.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel dan Luka Ekologis di Teluk Weda
Sejenak menoleh kebelakang, proyek hilirisassi tambang merupakan proyek ambisius Jokowi. Di mana perluasan dan pembongkaran wilayah nikel tidak transparan dan penuh kejanggalan.
Tambang itu berkelindaan dengan dengan gurita kekuasaan dan pundi-pundi elite politik Jakarta. Paling tidak terdapat lima permasalahan.
Pertama, proses perencanaan dan pelaksanaan proyek ini tidak transparan, tanpa kajian mendalam, serta menyalahi aturan dan perundangan yang ada.
Sebagai misal, tidak adanya studi analisis dampak lingkungan (Amdal). Andai pun ada, ini “baru” disusun setelah beberapa waktu proyek dimulai.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kedua, secara normatif hampir tidak ada ruang bagi publik untuk menyatakan keberatan terhadap kebijakan pertambangan yang diterbitkan oleh pusat.
Ketiga, tidak dikaji keragaman flora dan fauna yang ada pada lahan yang dikeruk dan dampaknya pada kerusakan lingkungan.
Keempat, sistem politik represif dan memaksa sehingga tidak memungkinkan isu-isu lingkungan dibahas dan dikaji secara obyektif.
Dan kelima, sekali pemerintah pusat telah menentukan, masyarakat dan pemerintah daerah tidak mempunyai kekuatan untuk menolak atau mempertanyakan tujuannya untuk siapa?
Banyak informasi lapangan muncul, ketika kita membaca riset tentang tambang. Sebagai contoh riset seperti;
“Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi (Jatam, 2024),
“Dampak Lanjutan dari Aktivitas Industri Nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Indonesia” (Nexus3 Foundation & Universitas Tadulako, 2025),
Baca Halaman Selanjutnya..
“Catatan Akhir Tahun 2024 & Proyeksi 2025 : Bencana Ekstraktivisme Yang Terorganisir di Maluku Utara” (Jatam, 2024),
“Industri Keruk Nikel : Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya”, Studi Kasus di Haltim dan Halteng (Transparency International Indonesia,2024) dan “Pilkada Membawa Petaka”, (Jatam, 2024).
Ibaratnya lomba tarik tambang. Sekuat apa pun kekuatan masyarakat, mahasiswa dan civil society akan kalah dan terjungkal. Karena pemerintah pusat dan daerah adalah representasi wajah negara – kaki tangan oligarki.
Baca Juga: Bahaya Paska Tambang Nikel di Maluku Utara
Pemborosan sumber daya dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh tambang, bersumber dari konservatisme struktural, baik global, nasional dan daerah semuanya membentuk sistem kekeraasan dan penindasan hak-hak asasi manusia.
Ini merupakan dampak yang dibayar sangat mahal dari resource curse kutukan sumber daya; daerah yang kaya sumber daya alam justru mengalami stagnasi ekonomi dan konflik sosial,(Oesman, 2025).
Ironis, pertumbuhan ekonomi tinggi selama ini ternyata semu dan sia-sia. Dan hari ini yang kita tuai adalah kerusakan lingkungan, kemiskinan dan kesengsaraan.(*)