Site icon MalutPost.com

Refleksi Hari Bhayangkara: Rakyat Tidak Bisa Mencintai Hukum yang Tidak Mereka Mengerti

Oleh: Nazlah Kasuba, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku Utara

HARI Bhayangkara bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan ruang refleksi bagi kita semua yang terlibat dalam ekosistem hukum dan pemerintahan untuk menakar ulang

“Apakah hukum sudah hadir sebagai pelindung atau masih dirasa sebagai bayangan yang menakutkan?”

Sebagai Ketua Komisi I DPRD Provinsi Maluku Utara yang sehari-hari bergelut dengan aspirasi masyarakat, saya menyaksikan sendiri bahwa masih banyak warga yang takut terhadap hukum bukan karena mereka bersalah, tapi karena mereka merasa tak paham, tak punya akses dan tak punya tempat berpijak dalam sistem yang rumit dan kaku.

Di hadapan aparat, mereka sering merasa kecil. Bukankah ini lucu? Hukum yang seharusnya memberi rasa aman justru kerap kali menjadi sumber ketakutan.

Saya tidak mengatakan bahwa aparat penegak hukum lalai. Justru saya percaya dan menyaksikan langsung banyak pahlawan di kepolisian disetiap level yang bekerja dengan nurani dan dedikasi tinggi. Namun, dibalik sosok-sosok hebat ini, mungkin sistem dan proses penegakan hukum kita masih menyimpan banyak paradoks yang menghambat keadilan serta kemanusiaan. Salah satu paradoks terbesar adalah ketika hukum tampak tegas di ruang-ruang tertentu, namun terasa longgar di ruang lainnya.

Kasus kekerasan seksual, misalnya, masih sering terjebak dalam labirin birokrasi hukum. Disatu sisi, kita bicara soal efek jera, tapi di sisi lain korban harus berjuang sendiri menuntut keadilan yang kerap datang terlambat atau bahkan tak datang sama sekali. Proses yang lambat ini bukan sekadar soal administrasi, tapi menggores luka kedua pada korban, mengikis kepercayaan pada institusi dan mempertegas kesenjangan antara hukum sebagai teks dan hukum sebagai rasa keadilan.

Sementara itu, dalam ruang berekspresi, hukum kadang bergerak terlalu cepat. Kritik publik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi sering direspons secara represif dengan alasan menjaga ketertiban. Ini menimbulkan kesan bahwa hukum bersikap selektif, cepat pada ekspresi, lamban pada kekerasan, tegas pada suara minor dan lunak pada aktor kuat.

Sebagai seorang wakil rakyat, saya percaya bahwa hukum yang kuat adalah hukum yang dipercaya, kepercayaan itu hanya bisa tumbuh ketika hukum bersifat konsisten, transparan dan setara. Karena itu, saya mendorong institusi hukum, termasuk rekan di Kepolisian untuk semakin membuka diri terhadap kritik, memperkuat pendekatan humanistik dan memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan.

Saya juga mengajak kita semua untuk mulai membangun literasi hukum dari bawah. Rakyat tidak bisa mencintai hukum yang tidak mereka mengerti.

Keadilan tidak boleh menjadi hak eksklusif mereka yang tahu caranya mengakses sistem, tetapi harus menjadi milik setiap warga terlepas dari status sosial, pendidikan, atau kekuatan ekonomi.

Untuk itu, Hari Bhayangkara adalah momen refleksi. Ini adalah kesempatan kita untuk jujur melihat ke dalam. Sudahkah proses hukum dijalankan dengan menjunjung nilai kemanusiaan? Sudahkah pelaku kekerasan benar-benar ditindak dan korban benar-benar dipulihkan? Sudahkah masyarakat kecil merasa bahwa hukum berpihak pada mereka?

Sebagai Ketua Komisi I, saya akan terus memperjuangkan ruang yang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan suara tanpa rasa takut. Karena hukum bukan sekadar prosedur, tetapi cerminan dari hati nurani negara. Dan negara yang kehilangan nurani dalam menegakkan hukum, lambat laun akan kehilangan legitimasi dari rakyatnya sendiri. Kita semua, baik di parlemen, di institusi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun masyarakat sipil harus berdiri di barisan yang sama, yaitu membela keadilan yang utuh. Bukan hanya dalam simbol dan perayaan, tetapi dalam praktik nyata.

Selamat Hari Bhayangkara. “Mari kita jaga marwah hukum, bukan hanya dengan kewenangan, tapi dengan keberanian moral untuk berbenah dan berpihak pada yang benar” (*)

Exit mobile version