Site icon MalutPost.com

Pembangunan Pelabuhan Bicoli: Sebuah Iktikad Mengurai Ulang Narasi Sejarah

Oleh. M. Azrul Marsaoly

JIKA kembali menapak tilas sebuah negeri bernama Bicoli, rasanya sedikit tidak asing dengan jejak masa lalu yang dimiliki. Masa lalu yang penuh gejolak, ketika Zainalabidin menjadikan suatu pemukiman (Woso) yang berdekatan dengan Bicoli sebagai pusat kekuasaannya pada awal bulan pertama tahun 1808 (Leirissa, 1996: 183).

Sejak dulu, ketika munculnya Grieve [kapten kapal Lord Minto] dari Inggris, di sekitaran kampung ini oleh Zainalabidin diwajibkan agar melaksanakan monopoli kerajaan atas rempah-rempah di Halmahera Timur. Kedatangan kapal-kapal Inggris itu disebutkan sebagai kemunculan suatu sistem pasar yang aktif bagi penduduk Halmahera Timur (Leirissa, 1996: 139). Sekadar diketahui, hubungan perdagangan dengan Inggris sebelumnya oleh Sultan Nuku sudah terjalin, tidak saja ketika di masa Zainalabidin.

Menurut Leirissa (1996:133), saat Zainalabidin berkuasa di Halmahera Timur, ia pernah berjanji menyerahkan 80 pikul pala pada setiap tahun kepada pihak Inggris, tetapi karena ketegangan di masa itu sehingga kesanggupannya hanya memberikan 10 pikul pala. Disebutkan, pemberian dengan jumlah yang sekian tidak mencerminkan produksi pala di wilayah itu. Sebagaimana pernyataan Jurutulis Bagus, tangan kanan Sultan Nuku yang berkedudukan di Maba. Ia pernah mengaku di pihak Belanda pada tahun 1805 dari distrik Maba sendiri berhasil mengumpulkan 204 pikul pala untuk di barter dengan pedagang Inggris dan pedagang lain. Ini menunjukan bahwa Halmahera Timur juga sejak dulu sudah terjadi pergaulan secara global dengan negara-negara asing.

Pelabuhan Bicoli; tempat bongkar-muat hasil dagang.

Seperti pada tulisan sebelumnya, bahwa pada kurun waktu 1817, di Bicoli disebutkan terdapat sebuah pelabuhan. Leirissa (1996: 67), mengungkapkan di Selatan Timur Halmahera ada sebuah negeri bernama Bicole, negeri pesisir yang paling aman untuk berlabuh, sehingga disebut sebagai pelabuhan utama di Halmahera Timur. Dengan demikian, tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa pelabuhan Bicoli sebagai jalur masuk dan keluar hasil perdagangan dengan sistem barter di masa itu.

Dari jejak sejarah tersebut, pembagunan Pelabuhan Bicoli dengan status sebagai pelabuhan pengumpan regional yang dibangun pada tahun 2014 hingga 2016 oleh Pemerintah Pusat melalui Kementrian Perhubungan Republik Indonesia dengan total anggaran senilai Rp. 56,2 Milyar,. Spesifikasi dermaga tipe finger sepanjang 93 meter dengan kedalaman 5 meter hingga 6 meter untuk mengakomodasi kapal dengan ukuran 1.000 DWT, trestle sepanjang 118 meter, causeway sepanjang 50 meter, serta fasilitas daratan berupa lapangan penumpukan seluas 777 meter persegi, gudang seluas 375 meter persegi, dan terminal penumpang seluas 112, 5 meter persegi (dilansir dari laman KPRI https://dephub.go.id).

Penulis menganggap pembangunan pelabuhan oleh Pemerintah Pusat ini tidak hanya sekadar bagian dari upaya membangun aksesibilitas transportasi di wilayah 3T (terpencil, terluar, dan terdalam) Indonesia, sebagaimana komitmen program Nawa Cita Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Tetapi lebih dari itu, yaitu sebuah “Iktikad Mengurai Ulang Narasi Sejarah”, bahwa di negeri Bicoli sudah sejak dulu transaksi dagang melalui laut telah terjadi pada abad 18. Perihal ini dapat dilihat pada uraian awal paragraf pada subbab ini, begitupun terkonfimasi tatkala berselang 3 (tiga) tahun pada 1817, tepatnya pada 1820-an ketika Belanda turut menempatkan seorang perwakilan [gecommitteerde] di Bicoli untuk mengurus perdagangan pala. (*)

Exit mobile version