Oleh: Nur Lienda
(ASN (Wisdyaiswara Ahli Madya) – BPSDM Provinsi Maluku Utara)
Setiap Idul Adha, kita, umat Islam tak hanya merayakan ritual keagamaan, tapi juga menyentuh makna terdalam dari kata “berkorban.” Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tak lekang oleh waktu, tentang keikhlasan melepaskan sesuatu yang paling dicintai demi ketaatan, keyakinan, dan masa depan yang lebih besar.
Nabi Ibrahim AS telah memberi kita teladan: bahwa cinta kepada Tuhan dan masa depan anak adalah fondasi utama pengorbanan sejati. Ketika beliau rela ‘mengorbankan’ putranya demi perintah Ilahi, itu bukan tentang kehilangan, melainkan tentang mempercayakan masa depan kepada nilai-nilai luhur.
Lalu, bagaimana dengan kita hari ini?
Kita hidup di era yang sangat berbeda. Dunia berubah cepat, teknologi berkembang pesat, dan tantangan kehidupan semakin kompleks. Tahun ini, gema kurban bergema di tengah semangat lain yang sedang kita bangun: impian besar Indonesia menjadi bangsa maju di usia ke-100 pada tahun 2045.
Sebuah cita-cita yang disebut Indonesia Emas bukan karena emas itu akan datang dengan sendirinya, melainkan karena kita hari ini bersedia membayar harganya: dengan pengorbanan, ketekunan, dan keberpihakan yang nyata pada generasi muda.
Dalam konteks menyambut Generasi Emas 2045, ketika Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi dunia, pengorbanan yang dibutuhkan bukan lagi hanya bersifat fisik atau materi, tetapi pengorbanan ego, waktu, dan kenyamanan demi menyiapkan generasi penerus yang unggul.
Kurban tidak Selalu Berdarah, Tapi Selalu Tentang Memberi
Kurban itu bisa lebih dalam dari sekadar waktu atau biaya. Kurban bagi guru atau pendidik, mungkin adalah bersedia terus belajar agar mengajar tetap relevan, kurban bisa berarti membongkar ulang cara mengajar agar lebih bermakna.
Berani mencoba pendekatan baru yang lebih sesuai zaman, dan yang terpenting: memanusiakan peserta didik. Menahan emosi ketika menghadapi anak yang sulit diatur, atau menolak kemudahan dengan cara instan demi proses belajar yang benar.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kurban bagi orang tua, bisa berarti mengurangi konsumsi pribadi demi pendidikan hingga les tambahan anaknya, kurban bisa dalam bentuk menyisihkan rasa lelah setelah seharian bekerja, untuk tetap hadir mendengar cerita anak-anak mereka.
kurban terkadang hadir dalam bentuk merelakan ambisi pribadi agar dapat lebih fokus mendampingi tumbuh kembang anak. Dan kurban juga menjelma dalam mendidik dengan kasih, bukan hanya mengarahkan, tetapi juga menyemangati dan mempercayai.
Setiap pengorbanan kecil hari ini, jika dikumpulkan, adalah pondasi tak terlihat dari Indonesia Emas. Kita membangun bukan hanya gedung, tapi watak. Kita membentuk bukan hanya angka statistik, tapi generasi.
Mereka yang Kita Siapkan bukan Masa Kini, Tapi Masa Depan
Anak-anak dan remaja hari ini adalah pemimpin, inovator, dan pengambil kebijakan 20 tahun mendatang. Mereka akan menghadapi dunia yang lebih kompleks: digitalisasi, perubahan iklim, disrupsi pekerjaan, dan dinamika global yang tak terduga.
Pertanyaannya bukan hanya: apakah mereka bisa sekolah? Tetapi:
– Apakah mereka diberi ruang untuk tumbuh dan bermimpi?
– Apakah mereka ditemani dengan keteladanan dan nilai luhur?
– Apakah kita berani mengorbankan ego, zona nyaman, dan rutinitas kosong demi membentuk generasi tangguh?
“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda dari zamanmu.”
Layaknya kurban, mempersiapkan generasi unggul membutuhkan ketulusan dan konsistensi. Butuh kesediaan orang tua untuk mendahulukan pendidikan anak daripada gaya hidup konsumtif.
Dibutuhkan kesabaran para pendidik untuk membina dan mengarahkan, meski tak selalu menempuh jalan yang mudah. Selain itu juga dibutuhkan keberanian pemimpin untuk mengambil keputusan jangka panjang yang mungkin tak populer hari ini, tapi sangat penting untuk masa depan.
Baca Halaman Selanjutnya..
“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda dari zamanmu.” – Ali bin Abi Thalib.
Kutipan ini menjadi jembatan kesadaran: bahwa pendidikan dan pembentukan karakter anak hari ini adalah bentuk qurban modern. Kita tidak bisa mendidik anak dengan cara lama di zaman yang serba baru.
Indonesia Emas bukan Sekadar Visi, Ia Menuntut Tindakan.
Untuk sampai ke 2045 dengan kepala tegak, kita tak bisa hanya mengandalkan kurikulum atau anggaran. Kita harus membangkitkan jiwa pengorbanan yang kolektif, seperti Ibrahim, seperti Ismail yang percaya bahwa taat, sabar, dan rela berkorban adalah jalan menuju kemuliaan.
Mari kita rawat impian itu mulai dari rumah, dari ruang kelas, dari kantor, dari setiap ruang pengabdian kita. Karena masa depan tak datang tiba-tiba. Ia dibentuk dengan pilihan-pilihan hari ini.
Dan semoga, ketika Indonesia mencapai emasnya, anak cucu kita akan berkata: “Terima kasih karena kalian rela berkorban, agar kami bisa merdeka untuk bermimpi.”
Langkah Nyata: Peran Orang Tua dan Pendidik dalam Menyiapkan Generasi Emas
Sebagai orang tua dan pendidik, kita memegang peran kunci dalam membentuk karakter dan kapasitas anak-anak yang kelak akan mengisi ruang-ruang strategis bangsa ini.
Visi besar Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud jika sejak dini kita membekali anak-anak tidak hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan nilai, kecakapan hidup, dan semangat kebangsaan.
Berikut langkah-langkah nyata yang dapat dilakukan, disesuaikan dengan kelompok usia:
Usia Dini (0–7 tahun): Fondasi Karakter
– Tanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu.
– Perbanyak interaksi positif, cerita bermakna, dan stimulasi imajinasi.
– Jadikan rumah sebagai tempat anak merasa aman, dicintai, dan dihargai.
Baca Halaman Selanjutnya..
Usia Sekolah Dasar (7–12 tahun): Menumbuhkan Minat dan Disiplin
– Dorong kebiasaan belajar mandiri dan rasa cinta membaca.
– Ajarkan disiplin waktu, tanggung jawab kecil, dan toleransi.
– Libatkan mereka dalam kegiatan sosial atau keagamaan yang membentuk empati dan kerja sama.
Usia Remaja (13–18 tahun): Penguatan Jati Diri dan Arah Hidup
– Ajak berdialog, bukan sekadar mengarahkan, beri ruang untuk berpikir kritis.
– Bimbing mereka mengenal potensi dan mimpi mereka sendiri.
– Perkenalkan mereka pada isu-isu sosial dan peran mereka sebagai warga negara.
Usia Mahasiswa dan Pra-Dewasa (18–25 tahun): Siap Tampil dan Berkontribusi
– Fasilitasi kesempatan belajar dan pengalaman nyata: magang, komunitas, pelatihan.
– Dorong untuk aktif dalam kegiatan kebangsaan, inovasi sosial, atau kewirausahaan.
– Tumbuhkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Karena Mendidik Adalah Bentuk Kurban Paling Hening
Kita mungkin tak menyembelih kambing setiap hari. Tapi sebagai orang tua, guru, dan pelayan publik, kita menyembelih ego, amarah, rasa lelah, dan kepentingan pribadi demi satu tujuan: anak-anak kita tumbuh sebagai manusia utuh, bukan hanya pintar, tapi juga bijak dan berjiwa besar.
Mereka adalah wajah Indonesia 2045. Dan mereka tak lahir dari kebetulan Mereka lahir dari pengorbanan yang hari ini kita pilih untuk lakukan. (*)