Oleh: Fadli Ilham
(Koor I Forum Komunikasi Pemuda (FKP) Maluku Utara)
“Demokrasi yang sejati adalah menangkap seluruh relung hati nurani rakyat tanpa harus dia bicara, karena pemimpin cerdas itu tidak menunggu rakyat bicara. Sebelum rakyat bicara dia sudah menyajikan apa yang menjadi keinginannya”.
Kutipan pengantar setidaknya cukup menggambarkan navigasi kepekaan Pemimpin (baca: pemerintah) yang mempunyai kewenangan untuk menyikapi medan pertambangan di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara.
Sebanyak 27 orang warga diamankan oleh aparat setelah melakukan aksi unjuk rasa menolak aktivitas pertambangan. Dari puluhan warga diamankan, 11 diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka dengan dalih aksi premanisme karena dituduh menghalangi aktivitas tambang.
Di tengah polemik, sikap Pemimpin menarik menjadi perhatian publik untuk disoroti; dimana kehadiran mereka saat rakyatnya mempertaruhkan tenaga, keringat, dan waktunya berjuang melawan ketidakadilan.
Alih-alih sebagai pelayan masyarakat. Tidak menghendaki rakyatnya menderita saat di panggung politik. Gembar-gembor membawa rasa keadilan. Tapi pada polemik pertambangan, Pemimpin acapkali gagap memasang badan demi rakyatnya.
Sejauh mana keberpihakan Pemimpin terhadap rakyat yang tengah berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Pertanyaan paling sederhana, apakah Pemimpin punya kepekaan merasakan seperti yang juga dirasakan rakyatnya sendiri.
Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa kepekaan Pemimpin terhadap rakyat yang saat ini diamankan dan menjadi tersangka terkesan masih menggantung. Hal itu menunjukkan bahwa Pemimpin tidak mempunyai inisiatif untuk mengambil sikap dan langkah persuasif.
Baca Halaman Selanjutnya..
Padahal, berbagai bentuk aksi protes dan seruan untuk membebaskan rakyat yang ditahan terus dilakukan. Gerakan aksi unjuk rasa, mengalir di kanal pemberitaan hingga ramai di media sosial. Tapi suara yang terus bergaung terkesan diabaikan.
Seyogyanya, kepekaan Pemimpin harus berorientasi pada kemampuan untuk memahami, merespon, dan bertindak sesuai dengan kebutuhan dan perasaan masyarakat yang dipimpinnya.
Kepemimpinan sejati mengedepankan empati, keberpihakan kepada rakyat kecil, serta tindakan nyata yang berdampak jangka panjang. Mereka adalah pemimpin yang mampu menyeimbangkan rasionalitas dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemimpin sejati bukan hanya tentang kebijakan, tetapi juga tentang membangun hubungan emosional yang kuat dengan rakyatnya.
Dalam aspek ini, perlunya internalisasi Tokoh seperti Nelson Mandela. Gaya kepemimpinan sebagai pemimpin pelayan, memahami pentingnya keterlibatan kolektif dalam mengatasi ketidakadilan sosial.
Nelson Mandela menjadi perwujudan filosofi yang disebut Robert Greenleaf sebagai “Kepemimpinan Pelayan”. Karena menerapkan pendekatan empati dalam perubahan sosial dan menegakkan keadilan.
Artinya, memimpin bukan hanya berbasis kebijakan regulatif dan angka. Tetapi lebih dari pada itu, mengedepankan ikatan emosional dengan rakyatnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Lalu sejauh mana Pemimpin yang mengedepankan empati saat rakyat memperjuangkan ruang hidupnya tapi kemudian diamankan pihak aparat.
Nyatanya, sikap keberpihakan Pemimpin belum memperlihatkan perwujudan demokrasi dalam persoalan tersebut. Ironisnya, rakyat yang melakukan perlawanan justru dilabelkan dengan aksi premanisme.
Keberadaan dan tugas Pemimpin seharusnya ikut menjamin dan memastikan rakyatnya memperoleh keadilan. Perjuangan rakyat dari cengkeraman tambang di Haltim adalah upaya mereka untuk mendapatkan keadilan di daerahnya sendiri.
Ketika keadilan mereka dirampas–berhadapan dengan perusahan yang memiliki kekuatan raksasa, maka Pemimpin harusnya hadir untuk menunjukkan kualitas demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Agar keadilan tidak sekedar menjelma kepada mereka yang memiliki modal. Seyogyanya, lahir dan tumbuh dari nurani rakyat.
Sikap apatis Pemimpin di tengah-tengah perjuangan rakyat mempertarukan nasibnya, menunjukkan bahwa Pemimpin sedang mempertontonkan ketidakberdayaan menegakkan keadilan bagi kelompok kecil.
Hal itu justru menimbulkan pertanyaan mendasar, siapa yang harus dilindungi ketika polemik tambang di Haltim terus bergulir?
Sesungguhnya, riuh penolakan pertambangan di daerah tersebut bukan tanpa alasan. Akar masalah dikeluhkan rakyat hingga memicu amarahnya karena suara mereka tidak terdengar oleh pemangku kebijakan. Disini masalah akan terus berulang, manakala penyelesaiannya hanya dilihat secara parsial.
Baca Halaman Selanjutnya..
Diperlukan pendekatan yang lebih rasional, dengan melihat persoalan ini secara objektif, mereka yang melakukan penolakan tidak sekedar mencemaskan isi perut dan gelisa atas mata pencaharian. Tapi meletakkan perjuangan ruang hidupnya sebagai bagian integral yang harus hidup berdampingan.
Rakyat atau kelompok kecil ini tidak memiliki kekuatan modal. Jauh dari pucuk kekuasaan. Jeritan suara lengang dari pemangku kebijakan. Tapi mereka memiliki kekuatan sebagai kesadaran kolektif untuk mempertahankan harkat dan martabat di daerahnya.
Persoalan ini akan menjadi catatan sejarah yang buruk di alam demokrasi. Kedaulatan rakyat tidak lagi diperhitungkan dalam menegakkan keadilan. Bersamaan dengan itu, Pemimpin tidak menunjukkan rasa empati kepada mereka yang tengah berjuang memperoleh keadilan.
Sejalan dengan itu, Prof Yudi Latif dalam bukunya “Mata Air Keteladanan” mensyaratkan keadilan dengan mengutip ungkapan (Sjahrir,182) “Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagian”.
Semangat ini, harus menjadi titik tumpu dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Pemimpin harusnya sebagai katalisator, sehingga lebih responsif manakala rakyatnya diperhadapkan dengan ketidakadilan.
Bukankah demokrasi paripurna dapat mengantarkan rakyatnya pada keadilan, tanpa memandang mereka dari kelompok kecil.
Disitu tugasnya Pemimpin untuk memastikan tidak ada keretakkan demokrasi. Dalam diskursus Prof Yudi Latif, dia menyebut, semua orang harus diperlakukan setara baik secara ekonomi maupun politik. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 27 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/selasa-27-mei-2025.html