Oleh: M. Sahid Hamid
(Penggagas Forum Bacarita Tomalou Tidore Selatan)
Mengkritisi surat edaran Menpan menjadi pembicaran menarik tentang neteralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam momentum kontestasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara 2024-2030.
Dimana Aparatur Sipil Negara atau ASN selalu menjadi sorotan dan sasaran pengawasan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hampir setiap hari menjadi berita hotline di media cetak dan online.
Sebagaimana di beritakan harian Malut Post edisi (24 Januari 2018, halaman 7) salah satu mantan Ketua Bidang Hukum dan Penindakan Panwaslu Kabupaten Halmahera Utara.
Soeparman Pawuhdi dimana ia mengatakan bahwa “Telah memeriksa dua oknum Aparatur Sipil Negara dan mengantongi dua alat bukti, yakni keterangan terlapor yang postingan di Medsos oknum Kades dan ASN itu telah diperiksa termasuk saksi-saksinya.
Ia menegaskan selaku pihak penyelenggara Pengawas Pemilu tidak main-main sesuai amanatUndang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang kewenangan Bawaslu untuk menindaklanjuti pelanggaran Pemilu yang melibatkan ASN.
Dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/71.Sim.00.00/2017 tentang Larangan ASN dalam politik praktis sudah jelas dan sanksinya akan diberhentikan”. Kata Soeparman Pawuh.
Pemahaman mantan Ketua Bidang hukum ini sangat parsial dan tidak mendasar problem yang sama seperti diungkapkan oleh media Halmahera post tentang pejabat Sekda Provinsi Maluku Utara Abubakarr Abdullah terlibat dalam pengiriman pesan dukungan kepada pasangan calon nomor urut 4 Sherly Sarbin Sehe.
Baca Halaman Selanjutnya..
Percakapan tersebut pada minggu 24 November 2024. Ketika dikonfirmasi langsung oleh Media Halmahera Post, Abubakar Abdullah mengakui pesan itu berasal darinya, namun ia mengklaim pengiriman tersebut adalah kesalahan teknis.
Kasus ini tidak hanya merusak nama baik ASN melainkan merusak kepercayaan publik terhadap integritas pejabat birokrasi di Pemda Maluku Utara.
Namun faktanyastatus Abubakar Abdullah sebagai pejabat Sekda Maluku Utara yang saat ini menduduki jabatan baru sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Maluku Utara tidak pernah terjerat dengan Surat edaran Menpan tentang netralitas ASN atau rekomendasi Menpan ke KASN.
Rekomendasi Bawaslu ke KASN tidak bisa memecat ASN
Pendapat dan penafsiran subjektif dari Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) dan Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bahwa ASN yang terbukti Politik Praktis akan ditindaklanjuti berupa Rekomendasi ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang berkedudukan di Jakarta.
Dan selanjutnya KASN akan memberi sanksi setingkat diberhentikan. Adalah argumentasi pendapat yang konyol.Siapa bilang Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bisa memecat Aparatur Sipil Negara.
Sekalipun Panwaslu dan Bawaslu merujuk pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bernomor B/71.sim.00.00/2017 tentang larangan ASN dalam politik praktis akan dikena sanksi.
Rujukan Surat Edaran menpan dimaksud ini bukan norma hukum tidak bisa menjadi pegangan untuk digunakan saling memecat atau memberhentikan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut serta dalam partisipasi sebagai hak demokrasi dalam pemelihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali kota dan Wakil walikota.
Baca Halaman Selanjutnya..
Surat Edaran Menteri Aparatur Negara juga dapat dikualifisir sebagai surat biasa dan tidak mengikat karena tidak dikenal dalam norma hirarki peraturan perundang-undangan sesuai pasal 7 (ayat 1) undang-undangNomor 10 Tahun 2004 menetapkan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut;
1. Undang-undang Dasar1945.
2. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
3. Peraturan pemerintah.
4. Peraturan presiden dan,
5. Peraturan daerah (perda).
Surat Edaran Menteri Aparatur Negara bertentangan pula dengan asas peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan asas “Lex Superior derogate legi inferior” bahwa aturan yang lebih rendah wajib tunduk pada aturan yang lebih tinggi.
Ditegaskan dalam pasal (1) angka (2) Undang-undang no 10 Tahun 2004 tentang pengertian peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwewenang dan mengikat secara umum.
Dari pengertian disebutkan dalam ketentuan ini dijadikan landasan hukum berupa legislasi dan regulasi. Sedangkan untuk sejenis seperti keputusan Presiden, keputusan Menteri, keputusan Gubernur, keputusan Bupati/walikota dan keputusan badan tertentu dan lain-lain.
Tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam pasal (7) ayat (1) undang-undang No 10 tahun 2004.
Karena itu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya seperti Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil negara dan Reformasi Birokrasi No B/71.Sim 00.00 / 2017 tentang larangan ASN dalam politik praktis harus dikesampingkan jelas melanggar kaidah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sementara norma aturan perundang undangan untuk mengangkat, pemindahan dan pemberhentian Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah wewenangnya pejabat pembina kepegawaian sebagaimana diatur Bab I ketentuan umum pasal 1 ayat (2), (13)dan (14) undang-undang no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Itupun kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian tidak semudah untuk memecat atau memberhentikan ASN yang ikut serta partisipasi dalam politik praktis pemilihan gubernur dan wakil Gubernur Bupati dan wakil Bupati Walikota dan wakil Walikota.
Apalagi dengan hanya menggunakan surat edaran Menteri pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi yang bukan pejabat berwewenang mengangkat, pemindahan dan pemberhentian.
Hal ini dapat menimbulkan sengketa kewenangan administrasi yang lazim disebut beschikking yaitu hak untuk membuat keputusan atau menetapkan. ASN secara norma memiliki hak juga membela diri diperadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji kebeneran esensial yang hakiki.
Peradilan inilah yang menentukan ASN apakah melakukan pelanggaran atau tidak, bukan dengan surat edaran menpan yang digunakan untuk memvonis ASN diberhentiakan alias di pecat.
Dengan pemahaman dan penafsiran yang kontradiktif itu. Pernah terjadi suatu kasus yang menarik pada waktu pencalonan Gusdur sebagai Presiden RI priode 2004-2009 melalui Surat Keputusan No 31 Tahun 2004.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah salah menafsirkan tentang status kesehatan Gusdur dengan kalimat “Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden” yang tertuang didalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 jo pasal 6d undang-undang nomor 23 tahun 2003.
Baca Halaman Selanjutnya..
Melalui SK nomor 31 tahun 2004 itu KPU telah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “mampu secara rohani dan jasmani” adalah mampu dari segi medis atau sehat. Interprestasi yang dilakukan KPU semacam ini, merupakan argumentasi yang tidak mendasar dan invalid.
Oleh karena itu, penulis imbau kepada pengawas pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur harus dengan langkah penuh kehati-hatian dalam menafsirkan surat Edaran Menpan lalu.
Yang direduksi menjadi norma hukum untuk membatasi hak sipil dalam hal ini ASN dibatasi berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah sebuah pengabaian terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Bab XA dengan rumus “SETIAP ORANG BERHAK”.
Artinya tidak ada tanpa melakukan pembedaan antara hak asasi seseorang warga Negara hak sipil dalam politik juga memperoleh perlindungan yang sama di depan hukum Indonesia untuk turut serta dalam pemerintahan, untuk dipilih dan memilih, menduduki jabatan publik dan pekerjaan tertentu serta hak-hak yang terkait dengan posisinya sebagai warga Negara Indonesia harus dijamin dan dilindungi oleh sistem hukum dan peradilan di Indonesia.
Oleh karena itu dalam penutup tulisan ini, penulis menawarkan beberapa hal tentang win-win solusinya;
Pertama, para penyelenggara baik Panwas, Bawaslu dan KPU di semua tingkatan hendaknya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang status dan kedudukan Surat Edaran tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang mengangkat.
Pemindahan dan pemberhentian Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah wewenangnya Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian sebagaimana diatur dalam Bab I ketentuan Umum Pasal (1) ayat (2), (3) dan (4) UU Nomor 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kedua, mencermati dan menelaahpoin pertama diatas maka layaknya bubarkan saja Komisi Aparatur Sipil Negara keberadaanya hanya semata menghabiskan keuangan negara sebab lembaga tersebut tidak memiliki otoritas wewenang untuk mengangkat, memindahkan,memberhentikan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketiga, hendaknya reformasi penggabungan KPU dan Panwas untuk penghematan keuangan negara sebab kedua lembaga itu hampir kesamaan memiliki tugas dan fungsi yang sering kontradiktif.
Sementara keberadaan Gamkudu hendaknya dibubarkan saja dan diperkuat tugas dan fungsi Bawaslu baik tugas investigasi, penyelidikan, penyidikan, dan pengambilan keputusan tentang sengketa Pilkada.
Semoga kedepan dengan reformasi ini, menuju tahapan Pilkada yang tertata, adil, damai,sejuk, penuh persaudaraan, terukur dan akuntabel. (*)