Oleh: Wiranto Karto
(pegiat ilmu Hukum dan politik. Mahasiswa Hukum Pidana, IAIN Ternate)
Di tengah gemuruh pembangunan dan investasi, kita seringkali melupakan fondasi konseptual yang seharusnya menopang sistem hukum kita. Hukum, pada esensinya, berupaya mencari keadilan dan kebenaran substantif.
Ia bukan sekadar deretan pasal dan ayat, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana hukum seharusnya melindungi martabat manusia, memelihara keharmonisan sosial, dan menjaga keseimbangan alam.
Namun, realitas di lapangan kerap memperlihatkan jurang lebar antara idealisme konseptual ini dengan praktik penegakan hukum, terutama ketika berhadapan dengan masyarakat adat.
Masyarakat adat adalah penjaga warisan budaya sekaligus benteng terakhir dari kelestarian lingkungan. Sejak ribuan tahun, mereka hidup berdampingan dengan alam, mengelola sumber daya dengan kearifan lokal yang tak ternilai.
Konsep tanah ulayat bagi mereka bukan sekadar kepemilikan material, melainkan entitas spiritual yang tak terpisahkan dari identitas, adat istiadat, dan keberlanjutan hidup.
Tanah adalah ibu, tempat arwah leluhur bersemayam, dan sumber kehidupan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Inilah esensi konseptual yang mestinya diakui dan dihormati oleh setiap instrumen hukum.
Namun, belakangan ini, narasi tentang masyarakat adat seringkali bergeser menjadi kisah tragis perampasan dan konflik.
Baca Halaman Selanjutnya..
Korporasi-korporasi besar, dengan dalih pembangunan dan investasi, acap kali mengabaikan eksistensi masyarakat adat, menggerus hak-hak mereka, dan merusak lingkungan tanpa akuntabilitas yang jelas.
Mereka datang dengan “izin” yang seringkali diperoleh secara problematis, mengklaim tanah yang telah berabad-abad menjadi sandaran hidup masyarakat adat.Di sinilah letak krisis konseptual dalam praktik hukum kita.
Jika hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan, maka bagaimana mungkin hukum membiarkan korporasi merampas hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka?
Bagaimana mungkin hukum membenarkan kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan demi keuntungan segelintir pihak? Bukankah seharusnya hukum menjadi perisai bagi yang lemah, bukan pedang bagi yang kuat?
Paradigma hukum Pancasila, misalnya, jelas mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat adalah sebuah keniscayaan.
Hukum positif, seperti Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, harus diimplementasikan secara konsisten dan tegas, bukan sekadar menjadi macan kertas.
Kasus-kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak-hak mereka, seperti yang kerap terjadi di berbagai pelosok negeri, adalah tamparan keras bagi idealisme hukum.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ketika petani atau masyarakat adat yang membawa alat kerja sehari-hari seperti parang atau pisau yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka dituduh melakukan premanisme atau membawa senjata tajam saat berdemonstrasi menuntut hak.
Maka kita patut bertanya: untuk siapa hukum ini bekerja? Apakah hukum telah menjadi alat untuk membungkam suara-suara perlawanan terhadap ketidakadilan?
Sudah saatnya kita kembali merenungkan akar hukum kita. Hukum bukan sekadar alat untuk menertibkan, apalagi untuk menindas. Hukum adalah cerminan dari nilai-nilai luhur suatu bangsa, dan bangsa ini dibangun di atas keberagaman serta penghargaan terhadap kearifan lokal.
Masyarakat adat dan tanah ulayat mereka adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga, bukan dikorbankan demi kepentingan korporasi semata.
Oleh karena itu, penegakan hukum harus berpihak pada keadilan substantif. Aparat penegak hukum harus sensitif terhadap kompleksitas sosial dan budaya masyarakat adat. Hakim harus mampu melihat lebih dari sekadar teks undang-undang, namun juga spirit keadilan dan hak asasi manusia.
Hanya dengan demikian, hukum kita dapat menemukan relevansinya dalam melindungi masyarakat adat, menjaga warisan budaya, dan memastikan bahwa pembangunan tidak merenggut, melainkan memuliakan kehidupan. (*)