Site icon MalutPost.com

Jebakan Pembangunan

Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)

Di tengah euforia pembangunan nasional yang mengedepankan industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, daerah-daerah tambang kerap diposisikan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah pusat dan investor acapkali mengklaim bahwa kehadiran tambang akan membawa kesejahteraan, lapangan kerja, serta infrastruktur modern ke wilayah-wilayah terpinggirkan.

Namun, realitas sosial-ekologis di banyak daerah justru menunjukkan wajah sebaliknya : pembangunan macet di ruang-ruang ekstraktif, meninggalkan jebakan kemiskinan dan ketimpangan yang struktural. Fenomena ini dikenal sebagai jebakan pembangunan (development trap) di daerah tambang.

Daerah tambang seperti di Halmahera (Maluku Utara), Mimika (Papua Tengah), Morowali (Sulawesi Tengah), dan Kutai Timur (Kalimantan Timur) telah menjadi contoh nyata di mana sumber daya yang melimpah tidak otomatis mengubah wajah kemiskinan dan keterbelakangan.

Konsep resource curse atau kutukan sumber daya (Auty, 1993) menjadi kerangka penting untuk memahami ironi ini. Ketika kekayaan alam tidak dikelola dengan prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi, maka hasilnya bukan kesejahteraan, melainkan ketimpangan dan konflik.

Di kawasan Halmahera (Maluku Utara), misalnya, kehadiran perusahaan tambang nikel skala besar sejak awal 2000-an hingga ekspansi industri hilirisasi pasca-2020 tidak secara signifikan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal.

Sebuah studi menunjukkan, bahwa sebagian besar tenaga kerja lokal hanya terlibat dalam pekerjaan kasar tanpa jaminan sosial, sementara tenaga kerja terampil diimpor dari luar daerah. Hal ini memperkuat struktur ketergantungan dan marginalisasi masyarakat adat serta petani lokal (Wekke & Hamid, 2022: 44).

Jebakan pembangunan di daerah tambang tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut dimensi ekologi dan budaya. Skema pembangunan berbasis ekstraksi acapkali mengabaikan daya dukung lingkungan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Konsep “extractive enclave economy” dari James Ferguson menjelaskan, bahwa industri tambang cenderung menciptakan kantong-kantong ekonomi tertutup yang tidak berinteraksi secara produktif dengan masyarakat sekitar.

Jalan tambang dibangun tanpa menghubungkan desa-desa, fasilitas sosial difokuskan pada kepentingan perusahaan, dan orientasi pembangunan lokal dibonsai untuk mendukung kepentingan industri (Ferguson, 2006: 202).

Dalam studi kasus di Papua, Eben Kirksey juga mencatat bahwa pembangunan yang mengikuti logika tambang menciptakan relasi patron-klien baru antara perusahaan dan elite lokal, sementara masyarakat adat kehilangan ruang hidup mereka (Kirksey, 2012: 59).

Pemerintah daerah pun cenderung tersubordinasi dalam struktur relasi kuasa yang ditentukan oleh kepentingan pasar global dan pusat kekuasaan nasional.

Jebakan pembangunan juga tampak dari konstruksi citra “kemajuan” yang diciptakan oleh narasi korporasi dan negara. Pembangunan tambang diiklankan melalui media sebagai modernisasi wilayah terbelakang.

Namun, seperti dicatat Tannia Murray Li, narasi tersebut menyembunyikan praktik eksklusi dan peminggiran yang sistematis. Pembangunan dijadikan proyek teknokratik yang menyingkirkan dimensi politis dari relasi tanah, kerja, dan identitas (Li, 2007: 230).

Lebih dari itu, keberadaan industri tambang kerap disertai dengan peningkatan biaya hidup, konflik horizontal, kerusakan lingkungan, dan erosi nilai-nilai lokal.

Data dari JATAM (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah konsesi tambang di Indonesia tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat dan kawasan konservasi.

Ini mengindikasikan bahwa pembangunan berbasis tambang tidak hanya berisiko secara ekonomi, tetapi juga berbahaya secara ekologis dan sosiokultural.

Baca Halaman Selanjutnya..

Jalan Keluar

Menghindari jebakan pembangunan di daerah tambang memerlukan pendekatan yang melampaui logika pertumbuhan ekonomi semata.

Pertama, perlu ada reformasi tata kelola sumber daya alam yang menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan objek pembangunan.

Seperti disampaikan oleh Bebbington, et al. (2008), bahwa pembangunan sejati di wilayah ekstraktif harus memperkuat kapasitas masyarakat sipil untuk menegosiasikan hak atas tanah, sumber daya, dan masa depan mereka.

Kedua, penting untuk mendorong diversifikasi ekonomi lokal agar masyarakat tidak tergantung pada tambang semata. Strategi ini dapat melibatkan penguatan UMKM, pertanian ekologis, dan ekonomi pariwisata berbasis budaya lokal.

Ketiga, pembangunan harus bersandar pada prinsip ekologi politik, yaitu menimbang daya dukung lingkungan dan hak generasi mendatang atas bumi yang layak huni (Martinez-Alier, 2002: 32).

Jebakan pembangunan di daerah tambang merupakan cerminan dari pembangunan yang salah arah. Ia tumbuh dari narasi kemajuan yang menyingkirkan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.

Mengurai jebakan ini memerlukan kritik yang tajam terhadap struktur kekuasaan dan ekonomi yang menjerat wilayah-wilayah kaya sumber daya.

Tetapi lebih dari itu, dibutuhkan keberanian untuk membayangkan ulang pembangunan dari sudut pandang rakyat, bukan dari logika pasar dan negara semata. (*)

Exit mobile version