Oleh: Asmar Hi Daud
(Akademisi)
Gelar doktor dan profesor adalah puncak akademik yang sering dipandang sebagai lambang kecerdasan dan otoritas intelektual. Ia menjadi simbol keberhasilan akademik, pencapaian yang diraih melalui kerja keras, ketekunan riset, dan dedikasi panjang.
Namun di balik kebesaran gelar yang prestisius itu, tersimpan beban besar yang sering luput dari kesadaran kolektif kita, yakni: tanggung jawab keilmuan dan etika personal. Ujian antara kematangan akademik dan kemapanan emosional.
Kita hidup di sebuah zaman di mana banyak anak muda menempuh pendidikan tinggi dengan kecepatan luar biasa. Mereka menyelesaikan studi doktoral di usia yang relatif muda, memegang gelar akademik tinggi dengan penuh kebanggaan.
Fenomena ini tentu menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan ketika kecepatan akademik tidak berjalan seiring dengan kedewasaan jiwa. Kecakapan berpikir tidak otomatis berarti kematangan bersikap.
Kebijaksanaan.
Dalam ruang-ruang kampus, kita menyaksikan betapa banyak doktor dan profesor yang mumpuni dalam teori, namun sering kali kesulitan mengelola konflik, menahan ego, atau menampilkan empati.
Sebagian mudah tersulut ketika perbedaan pandangan muncul, tersandung dalam pertarungan kecil tentang jabatan, atau merasa terusik bila tidak diberi penghormatan sebagaimana yang mereka bayangkan layak diterima.
Padahal, gelar tidak seharusnya menjadi perisai ego, melainkan jendela untuk meneropong dunia dengan lebih bijak. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah munculnya fenomena kematangan akademik yang tak diimbangi dengan kematangan emosi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Di tengah maraknya doktor-doktor muda, kita menyaksikan kecanggihan intelektual yang belum berpadu dengan kearifan sikap. Mereka mungkin tangguh dalam riset, tetapi gamang saat berhadapan dengan konflik sosial atau dilema etis yang membutuhkan kedewasaan.
Kehilangan Literasi
Seorang kawan Profesor pernah berujar getir, saat menyaksikan perdebatan panjang yang tak berujung dalam sebuah ruang diskusi tentang fenomena pemilihan rektor di sebuah universitas: “Mereka kehilangan literasi bukan dalam arti sesungguhnya (tak bisa baca-tulis), tetapi literasi perasaan dan konteks. Mereka gagal membaca keadaan dan gagal menulis sikap yang arif.”
Ungkapan itu terasa menampar. Di tengah riuhnya argumen dan klaim intelektual, justru tampak jelas betapa sebagian dari kita kehilangan kepekaan untuk membaca situasi secara utuh dan meresponsnya dengan bijak.
Sebuah ungkapan yang tajam, menggambarkan ketimpangan antara kecerdasan kognitif dan kedewasaan emosional. Kritik ini menyoroti jurang yang kian nyata antara kapasitas intelektual dan integritas batin.
Ilmu menjulang tinggi, tetapi akarnya tak tertanam jauh ke dalam tanah kebijaksanaan dan memutus saraf kerendahan hati.
Sebab literasi sejati bukan sekedar soal aksara, dan bukan semata tentang buku dan jurnal, melainkan tentang kemampuan memahami konteks, menangkap isyarat sosial, dan meresponsnya dengan empati serta tanggung jawab moral yang tinggi.
Tanpa semua itu, ilmu hanyalah senjata. Tajam, tetapi membahayakan, menyayat relasi sosial, mengikis nilai keakraban, dan mencederai keadaban.
Kematangan akademik tanpa kemapanan emosional melahirkan intelektual yang kaku, mudah defensif, dan sulit menjadi teladan. Sebaliknya, akademisi yang matang secara emosional tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus mendengarkan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ia tidak hanya mengandalkan kecerdasan logika, tetapi juga kepekaan hati. Ia konsisten terhadap etika akademik dan sikap pribadi. Ia memahami bahwa keilmuan bukan sekadar tentang menang dalam debat, tetapi tentang menjaga dialog, membangun kepercayaan, dan menuntun kebenaran.
Memaknai Gelar
Realitas ini menuntut kita untuk memaknai ulang makna gelar. Doktor dan profesor bukan sekadar pencapaian personal, tetapi amanah sosial, intelektual dan moral. Mereka seharusnya menjadi mercusuar, bukan menara gading. Menjadi tempat bertanya, bukan tempat menghakimi.
Menjadi rujukan dalam kebijaksanaan, bukan sumber ketegangan karena ego. Di tengah carut-marut dunia akademik hari ini, kita tidak hanya membutuhkan ilmuwan yang cerdas, tetapi juga ilmuan yang pandai merasa.
Gelar akademik, betapapun prestisiusnya, belum tentu seiring dengan kematangan emosional dan moral. Hari ini, kita kerap menyaksikan paradoks: individu dengan gelar doktor atau profesor yang justru gagal memperlihatkan keanggunan sikap, keteduhan pikir, dan kearifan bertutur.
Sebagian tenggelam dalam hasrat pengakuan, sebagian lain gamang dalam konflik kecil, menunjukkan bahwa kematangan intelektual belum tentu berjalan beriringan dengan kedewasaan batin (emosional).
Adik saya yang baru bergelar doktor, suatu waktu dinasihati oleh profesor seniornya dengan kalimat yang membekas: “Gelarmu dan gelarku bukanlah garis akhir, melainkan gerbang masuk menuju perjalanan yang lebih berat. Proses dirimu lebih baik dari sekarang agar kelak tidak hanya mumpuni dalam ilmu, tetapi juga matang dalam jiwa.”
Sebuah nasihat yang menegaskan bahwa gelar akademik bukan sekadar akumulasi angka kredit, bukan hanya sekumpulan publikasi, tetapi penjaga kebenaran, penuntun akal sehat, dan pelindung marwah keilmuan.
Profesor sejati harus mampu memosisikan dirinya sebagai sang arif, bukan hanya cerdas dalam berpikir, tetapi telah sampai pada maqam tertinggi, yakni: merendahkan hati dan meninggikan keadaban karena ilmu.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ia sadar bahwa kebesaran seorang ilmuwan tidak hanya diukur dari berapa banyak yang ia ketahui, tetapi sejauh mana ia mampu menghidupkan ilmunya dalam laku sehari-hari.
Nilai Akademia
Kita tentu tidak menafikan kerja keras akademik yang luar biasa dalam meraih gelar tinggi. Namun dalam konteks tanggung jawab publik, terutama di dunia kampus, gelar adalah mandat etis, bukan sekadar status simbolik. Ia menuntut penghayatan terhadap nilai-nilai ilmiah, kejujuran intelektual, dan keteladanan personal.
“Gelar akademik yang tinggi bukan hanya bukti kecerdasan atau cermin keberhasilan intelektual, tetapi juga panggilan untuk menjadi pribadi yang utuh, tajam dalam berpikir, lembut dalam bertutur dan bersikap.
Seorang doktor atau profesor sejati bukan hanya pengumpul pengetahuan, tetapi penjaga nalar publik, pembimbing moral, dan teladan keilmuan, yang mengemban tanggung jawab intelektual, sosial dan etis dalam setiap langkahnya.” (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 16 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/jumat-16-mei-2025.html