Site icon MalutPost.com

Jual Beli Lahan dan Nasib Masyarakat di Area Tambang Halmahera Tengah

LAHAN: Sebagian besar lahan di Desa Sagea telah dikuasai perusahaan tambang. Sepanjang jalan menuju kawasan wisata Sungai Sagea ini dulunya milik warga, kini telah dilepas ke perusahaan tambang.

Kebun warga di kawasan lingkar tambang Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara nyaris habis tergerus industri pertambangan, mulai dari lahan produktif warga yang berdekatan dengan pemukiman maupun yang jauh.

Patok-patok perusahaan berjejeran di ruas jalan menuju kawasan wisata Goa Boki Moruru   Sagea-Kiyaa Kecamatan Weda Utara. Patok bercat merah dan biru berukuran sedang  itu  bertuliskan “Tanah ini Milik perusahaan PT First Pasifik Mining (FPM)” terpasang di samping  area jalan menuju kawasan wisata. Dari patok ke patok penanda tanah milik perusahaan itu berjarak sekitar lima meter yang terpasang pada sisi kiri dan kanan jalan.

Selain PT FPM, ada perusahaan lain yang membeli lahan warga setempat yakni PT Zong Hai, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Pembebasan lahan untuk kawasan Industri ini tak hanya terjadi di Desa Sagea, sebagian besar desa lingkar tambang mulai dilakukan pembebasan lahan besar-besaran.

Masifnya penjualan lahan warga di Halteng ini seiring dengan perluasan kawasan industri pertambangan dan Proyek Strategis Nasional (PSN) beberapa tahun terakhir. Dampaknya ruang kelola pertanian warga mulai hilang.

Sejak 2012  lalu sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)  jumlah kawasan industri sebesar 4,27 hektar. Sejumlah tersebut saja warga Halteng kehilangan ruang hidup dan melahirkan konflik berkepanjangan. Belakangan luasan kawasan Industri itu  justru bertambah setelah disahkan RTRW  2024 lalu, jumlah kawasan industri pertambangan yang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) itu  menjadi 13,784 hektar.  Hal ini memunculkan kekuatiran dari warga Halteng,  yang sudah beberapa tahun terakhir menghadapi ancaman industri pertambangan.

Masry Santuli merupakan satu dari beberapa orang yang enggan menjual tanahnya ke tambang. Dia bersama sang ayah, Anwar Ismail tak mau melepas kebun mereka untuk jadikan kawasan penambangan.

“Ini ancaman sangat serius kepada kami.  Ancaman kehilangan ruang hidup secara masif,” kata tokoh pemuda Sagea, Halteng ini saat ditemui Desember akhir tahun lalu.

Di Sagea, hampir tidak ada kebun lagi seperti dulu.  Semua lahan di tepi jalan raya antara Desa Sagea menuju  Desa Waleh telah dilepas ke tambang. Bahkan kawasan hutan mangrove pun ikut dijual.

Peta kawasan industri pertambangan di Halmahera Tengah. (tim penulis)

Baca halaman selanjutnya…

Max Sigoro (65), warga Gemaf, termasuk satu dari segelintir orang yang menolak menjual   lahannya. Ini karena perusahaan belum memenuhi kewajibannya membayar lahan yang mereka tawar sebelumnya.

Dia bercerita, jelang Natal tahun lalu, pihak perusahaan mengajukan tawaran sebesar Rp2 miliar. Mereka sengaja mencari waktu-waktu di mana masyarakat membutuhkan uang lebih. Tentu dengan cara itu, banyak warga yang mau melepas tanah mereka. Tapi tidak bagi dirinya. Kata dia, perusahaan membuat penawaran sesuka hati bagi warga yang kebun atau tanahnya tak punya sertifikat, tanpa ada patokan harga yang jelas.

Tanah milik Max sendiri punya sertifikat lengkap. Meski begitu, perusahaan ingin membeli dengan harga rendah. Pihak perusahaan bahkan telah melakukan pengukuran lahan tanpa sepengetahuannya, dan ketika mereka menunjukkan peta hasil pengukuran, ada selisih 3. 000 meter. Ukuran yang dicantumkan perusahaan hanya 11. 110 meter. Padahal luas lahan miliknya 14. 955 meter.

Dia curiga ada permainan dalam pengukuran lahan. Tujuannya, selisih luasan itu bisa dijual kembali oleh tim yang mengukur.

“Sebagian besar lahan di sekitaran kebun saya semua sudah dijual. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa bertahan. Mungkin nanti saya akan jadi orang terakhir yang akan melepas tanah ke perusahaan,” ujarnya.

Senada,  Abner Dowongi (50), warga Kobe Kulo mengungkapkan pada Januari 2024, Pemerintah Desa Kulo Jaya mengadakan rapat dengan masyarakat. Mereka membahas rencana pelepasan lahan desa yang akan disewa PT IWIP seluas 7 hektare. Anggaran sewa lahan itu   nanti dimanfaatkan untuk bangun masjid dan gereja. Sisanya dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk tali asih. Warga sudah tahu jika pihak perusahaan telah membayar lahan ke pemerintah desa sebesar Rp 1,5 miliar, tetapi hingga kini anggaran itu tak kunjung direalisasikan sesuai peruntukannya.

“Karena itu, masyarakat bersama anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mendatangi rumah Kepala Desa Kulo Jaya, Fadli Sirajuddin, mempertanyakan pencairan anggaran itu dan kesepakatan pembagian dana seperti disepakati melalui rapat sebelumnya,” katanya.

Karena tidak ada kejelasan warga kemudian datang ke kantor desa dan melakukan pemalangan. Jual beli tanah di kawasan lingkar tambang menjadi ladang bisnis baru. Banyak pihak yang ingin mencari untung dalam proses tersebut, selain pihak perusahaan yang bermain, pemerintah desa hingga makelar tanah juga ikut mencari untung.

Di momen penting seperti jelang hari raya keagamaan, para makelar tanah sering memainkan aksinya mendekati para pemilik lahan. Mereka tau di saat ini warga membutuhkan uang tambahan.

Baca halaman selanjutnya …

Proses jual beli lahan di sekitar PSN Weda terutama di desa-desa ring 1 seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf tanpa bersandar pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Tak ada harga yang jelas. Pembayaran tanah dilakukan hanya bersandar pada Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan pemerintah desa. Nah di sanalah terjadi permainan. Karena luasan lahan warga kadang diperkecil berdasarkan hasil pengukuran yang hanya dilakukan oleh pihak perusahaan dan pemerintah desa. Rata-rata warga hanya menjual tanahnya seharga 8 hingga 9 ribu per meter. Harga ini ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Mantan Bupati Halmahera Tengah (2017-2022), Edy Langkara, saat itu menerbitkan SK yang menetapkan nilai tanah sebesar Rp9. 000 per meter. Edy juga berinisiatif memediasi masyarakat dan perusahaan, yang menghasilkan pembayaran tali asih hanya Rp 2. 500 per meter jika lahan warga tak punya sertifikat.

Harga penjualan tanah sesuai SK bupati ini sangat kecil, bila merujuk ke NJOP yang ditetapkan Pemkab Halmahera Tengah di desa lain seperti di Nusliko yang nilainya mencapai Rp32 ribu/ meter.

Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan Perbatasan Setda Kabupaten  Halmahera Tengah, Sofyan Abdul Gafur, seperti dirilis media  pada Maret 2020 menyebutkan, NJOP di Nusliko sebesar Rp 32 ribu.

“Kita punya NJOP  Rp32 ribu per meter,” katanya  saat merespon persoalan lahan proyek pembangunan jalan lingkar di Desa  Nusliko waktu itu.

Mestinya saat ini di saat lahan warga dibeli oleh tambang harusnya dijual dengan NJOP tersebut. Bukan sebesar 9 ribu berdasarkan SK bupati.

Hernemus Takuling, salah satu warga yang masih mempertahankan tanahnya mengaku pernah didatangi perusahaan dan menawarkan harga tanahnya 8 ribu per meter. Tawaran itu dia tolak. Dia hanya mau melepas tanahnya jika perusahaan berani membayar 7 miliar.

“Saya lebih memilih hidup sebagai petani dari pada bekerja di tambang. Banyak warga di sini tergiur menjual lahan karena iming-iming uang dari perusahaan. Dulu, perusahaan menawarkan harga Rp8 000 per meter untuk lahan saya, namun saya tolak dan meminta mereka membayar Rp7 miliar. Akhirnya, mereka mundur,” kisahnya.

Sekarang, lahan seluas 8 hektare miliknya itu menjadi satu-satunya kebun yang masih ada di sekitar Desa Lelilef Sawai.

“Penetapan harganya dilakukan sepihak bahkan ada yang menawar hingga 6 ribu per meter,” ujarnya.

Perjuangan mempertahankan tanah ini, bahkan membuat dirinya dikriminalisasi hingga dipenjara satu tahun dengan tuduhan membawa senjata tajam saat memblokade jalan menuju PT Weda Bay Nickel (WBN) pada 2013 lalu.

“Saya  blokir jalan menuju perusahaan kala itu karena belum ada pembayaran atas pelepasan lahan. Aksi itu kami lakukan bersama 66 keluarga di desa Lelilef. Masalah lahan itu berlarut-larut sejak 2009 hingga 2013,” katanya.

Untuk lahan warga yang berada di kawasan hutan dan tak punya sertifikat, oleh pihak perusahaan enggan memberikan ganti rugi. Karena dianggap berada di area hutan produksi, mereka hanya menerima tali asih sebesar Rp 2. 500/meter.

Baca halaman selanjutnya …

Mahmud Ali warga Sagea menyebutkan, sebagian besar lahan warga di belakang kampung Sagea telah dijual. Tak ada standar harga.

“Tidak ada patokan harga. Lahan milik saya ada standar harga tertera di dalam sertifikat yaitu, Rp25 000 per meter, tapi harga yang perusahaan tawarkan di bawah itu, jadi kami tidak mau jual,” katanya.

Warga sebenarnya menyadari pentingnya mempertahankan lahan sejak izin PT Weda Bay Nickel masuk di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Adanya konsesi ini menyebabkan mereka kehilangan akses ke kebun yang telah mereka dikelola secara turun- temurun. Mereka juga kehilangan akses ke hutan untuk mencari berbagai kebutuhan. Awalnya, hanya tiga komunitas masyarakat adat Sawai di wilayah konsesi, yang terkena dampaknya yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Namun saat ini, hamper seluruh desa suku Sawai telah masuk area konsesi.

“Setiap wilayah pasti memiliki nilai (NJOP) berbeda. Weda Tengah sampai ke Weda Utara ini masuk kawasan industri harusnya lebih tinggi,” kata Masri Anwar, warga Desa Sagea yang juga ikut mempertahankan lahan kebun orang tuanya.

Anggota DPRD Halteng Munadi Kilkoda bilang perusahaan dalam membebaskan lahan warga tidak berdasarkan NJOP. Padahal lahan tersebut masuk pada kawasan strategis yang memiliki harga nilai jual yang tinggi. Namun yang terjadi harga jual lahan hanya berdasarkan negosiasi perusahaan dengan warga. Bahkan pemerintah desa kadang bekerja sama dengan pihak perusahaan agar mau mendorong warga menjual lahan dengan harga sangat rendah. Untuk penjualan tanah harus dilengkapi SKT dari desa. Dalam surat SKT itu sudah tertera luasan lahan dan harga. Pembuatan SKT sebesar Rp100 ribu bahkan lebih tergantung dari luasan lahan yang akan dijual. Selain itu aparat desa yang mengurusnya penjualan lahan itu juga mendapatkan imbalan.

Akhir tahun lalu, tim penulis mencoba menelusuri berapa besaran NJOP untuk kawasan lingkar tambang di Halteng, ke BPN Wilayah Malut, BPN Halteng bahkan ke pemerintah daerah hingga Kantor Pajak dan Kantor Perbendaharaan Negara. Namun semua instansi ini terkesan berbelit-belit. Mereka saling lempar soal keberadaan dokumen tersebut.  Bahkan saat tim mendatangi kantor BPN Halteng, beberapa staf yang ditemui beralasan para pejabat berwenang tidak berkantor.

“Kami tidak bisa melayani karena  para pejabatnya juga tidak ada,” kata Warno salah satu staf yang menjaga kantor BPN di  Desa Nurweda, Kecamatan  Weda Tengah, Halteng.

Baca halaman selanjutnya …

Sementara terkait adanya kutipan dana oleh desa saat pembayaran lahan  dan ikut membantu perusahaan mempercepat proses pelepasan lahan, Plt Kepala Desa Kiyaa Taslim Abdul Hamid saat dikonfirmasi tidak menampik hal tersebut.

Kata dia, di Desa Kiya ada proses pembebasan lahan oleh PT IWIP dan PT First Pasifik Mining (FPM). Pembebasan itu dilakukan sebelum dia menjabat.

Menurutnya, saat itu pemerintah desa berperan aktif mendampingi perusahaan mengukur lahan warga  dan menerbitkan surat keterangan tanah (SKT). Hal ini karena dalam proses pembayaran lahan, perusahaan mewajibkan ada SKT maupun surat keterangan lahan yang dijual tidak bersengketa dari desa.

“Kalau tidak ada surat dari desa tidak diproses pembayaran lahannya,” kata Taslim di kediamannya, Maret lalu.

“Biasanya warga menyerahkan uang pembelian lahan sebesar Rp1 juta ke pemerintahan desa. Uang itu digunakan untuk biaya operasional, alat tulis dan kertas (ATK), honor tenaga yang buat surat serta uang rokok bagi kades sebesar Rp200.000. Kalau surat jual beli yang diberikan desa tidak dipatok harus bayar berapa, tergantung keikhlasan penjual lahan,” sambungnya.

Selain itu, jika harga lahan terjual dengan nilainya besar hingga mendekati miliaran,  biasanya ada sumbangan untuk desa. Nilainya mencapai Rp20.000.000 untuk pembangunan  masjid. Lalu apakah Pemdes juga menerima imbalan dari perusahaan karena membantu memuluskan dan mempercepat pembelian lahan warga?

“Kalau Pemdes terima dari pihak perusahaan saya belum tahu. Yang ada itu hanya dari pihak yang jual tanah berikan ke desa,” ujarnya.

Baca halaman selanjutnya …

Terpisah AS, salah satu makelar tanah mengaku, punya peran besar dalam penjualan tanah di sejumlah desa lingkar tambang.  Dia menjadi salah satu aktor penting dalam pembebasan lahan warga di Desa Sagea dan Kiya. Saat ditemui Rabu malam (19/3/2025) di kediamannya, AS mengungkapkan, setiap desa lingkar tambang, perusahaan menempatkan tim pengukur lahan serta tim pembebasan lahan. Di Sagea dan Kiya ada beberapa warga lokal ditunjuk perusahaan menangani pembebasan lahan.

“Saya koordinator pembebasan lahan. Tugas utama saya mengukur lahan dan mempengaruhi warga melepas lahan mereka,” katanya.

AS juga mengaku sempat menjadi karyawan di salah satu perusahaan tambang dan masuk tim khusus pembebasan lahan. Dia bertugas mempengaruhi para petani agar mau melepas tanah dengan harga semurah mungkin.

“Jika warga tidak mau lepas lahan,  tim pembebasan lahan akan datang terus hingga warga terpengaruh dan mau melepas tanah mereka,” katanya.

Bagi warga yang enggan menjual tanah, dia mengaku punya strategi khusus. Yakni perusahaan membeli tanah di sekitar lahan warga tersebut, tujuannya agar mereka sulit pergi ke kebun. Jika sudah begitu mereka pasti lepas tanah.

“Karena sudah sulit ke kebun, mereka pasti akan jual tanah mereka,” ungkapnya.

“Dalam pengukuran tanah tim pengukur  banyak bermain. Ukur lahan warga biasa dikurangi, nanti sisa lahan pengukuran itu dijual kembali oleh tim,” ungkapnya lagi.

Dia bilang, proses pengukuran lahan melibatkan pihak perusahaan dan pemerintahan desa. Hal ini sesuai arahan Pemerintah Kabupaten.

“Biasanya dalam pengukuran, pihak perusahaan yang turun langsung bersama Pemdes. Setelah pengukuran, Pemdes mengeluarkan surat keterangan tanah. Setelah itu baru dilakukan pembayaran,” tandasnya.

Soal harga lahan, dia juga mengakui sesuai negosiasi pemilik lahan dengan perusahan. Jika warga bisa mempertahankan lahan dengan harga yang diinginkan pihak perusahaan membayarnya.

“Sebaliknya pemilik lahan minta terlalu tinggi, maka tidak akan diproses. Kita tahan dulu sampai dia mau jual dengan harga murah,” ujarnya.

Saat pembebasan lahan akan dilihat lagi posisi lahan.  Ada tiga kategori yaitu tanah berawa, di pegunungan  dan di wilayah datar. Lahan pada tiga posisi tersebut juga berbeda-beda. “ Namun lagi-lagi ini soal negosiasi, tidak ada standar harga,” pungkasnya.

Soal pembelian lahan yang dilakukan IWIP tanda NJOP ini, Setya Yudha Indraswara Manajer Komunikasi PT IWIP menyampaikan, proses pembebasan lahan yang dilakukan mengacu pada regulasi yang diatur pemerintah. Penentuan nilai lahan yang dibayar berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah Nomor 970/KEP/153/2018 tentang Klasifikasi dan Penetapan Besarnya NJOP Atas Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan.

Menurutnya, nilai pembebasan lahan dapat meningkat dengan penambahan nilai tanaman yang terdapat di lahan tersebut.

“Selama proses pengukuran dan pembebasan lahan, tidak ada paksaan maupun tindakan pengurangan ukuran secara sepihak. Setiap pengukuran lahan selalu dilaksanakan bersama sama antara pengelola lahan, staf desa, dan perwakilan perusahaan,” katanya.

“Hasil pengukuran juga memerlukan kesepakatan antara ketiga pihak tersebut, sebelum proses dilanjutkan,” sambungnya.

Baca halaman selanjutnya …

Perubahan Kawasan Industri PT IWIP, Ancam Ruang Hidup Warga

Kawasan industri IWIP yang sebelumnya hanya seluas 4. 027,67 hektare berubah menjadi 13.784 hektare ini ditetapkan dalam perubahan Peraturan Daerah (Perda) RTRW No 3 Tahun 2024 termaktub dalam Bab VI tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten, Paragraf 6 pasal 38 (1) yang membahas Kawasan Peruntukan Industri   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e, mengalami penambahan luasan menjadi  13. 784 hektare. Kawasan industri ini berada di  Kecamatan Weda Tengah, Kecamatan Weda Timur, dan Kecamatan Weda Utara. Peruntukan industry sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Kawasan Industri Weda Bay.

Untuk kawasan industri ini, pihak IWIP awalnya mengusulkan penambahan lahan menjadi 15.517 hektare. Namun  diakomodir dan tertuang dalam RTRW perubahan seluas 13.784 hektare. Perluasan ini, oleh pemerintah daerah dianggap sebagai bagian dari menindaklanjuti kebijakan nasional untuk pengembangan Kawasan Industri Teluk Weda, yang tercantum dalam RPJMN.

Perluasan kawasan industri ini membuat warga kian cemas. Saat ini saja lahan pertanian dan perkebunan terutama di daerah lingkar kawasan industri sudah tergerus habis. Kedepannya dipastikan bakal kian parah. Saat ini  di ujung Selatan Desa Gemaf yang dulunya memiliki kawasan hutan mangrove  telah berubah menjadi pusat kawasan industri. Begitu juga dengan hutan sagu di Sagea yang merupakan cadangan pangan warga lokal kini telah masuk konsesi izin tambang. Luasan Kawasan hutan sagu ini diperkirakan mencapai 50 hektare.

Sementara perkebunan kelapa dan pala milik warga Sagea, sebelum ditetapkan masuk kawasan industry saja, sudah nyaris habis. Di desa ini 7 warga masih mempertahankan perkebunan mereka. Sisanya sudah dijual ke tambang.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halteng Munadi Kilkoda mengakui, perubahan RTRW Halmahera Tengah itu diajukan sejak masa kepemimpinan Bupati Edi Langkara sekira 2018.  Hanya saja pembahasannya terkatung-katung, karena ada masalah tapal batas yang belum diselesaikan. Kala itu, DPRD masih berpegang pada Undang- undang  yang mengatur tapal batas. Namun proses pembahasan ini dikebut saat Halteng dipimpin Pj Bupati Ikram Malan Sangadji.

Dalam usulan perubahan  dokumen RTRW ini, Munadi bilang, Ikram ngotot mendesak DPRD mempercepat perubahan Perda RTRW  2012-2032  yang akhirnya disahkan menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2024-2043. Desakan ini agar RTRW mengakomodir kepentingan usulan penambahan luasan kawasan industri Weda.  “Pejabat bupati kala itu terlibat secara langsung mendorong agar ada perluasan kawasan industri. Dia beberapa kali mengundang pihak IWIP  terlibat dalam rapat-rapat soal RTRW. Saya pernah protes meminta pihak IWIP tidak diikutkan dalam rapat pembahasan  RTRW,” aku Munadi Kilkoda Wakil Ketua DPRD Halteng.

Dalam pembahasan revisi RTRW tersebut ada yang tidak beres. Sejumlah anggota DPRD Halteng yang awalnya menyepakati perubahan luasan kawasan industri Weda dari 4 ribu hektare lebih menjadi 8 ribu hektare, namun setelah ada pertemuan DPRD dengan PT IWIP di Ternate,  luasan kawasan industri mau dirubah menjadi 15 ribu hektare. Namun kemudian, disepakati menjadi 13 ribu hektere lebih seperti yang tertuang dalam Perda RTRW.

“Saat pembahasan hingga diubahnya luas kawasan industri seluas itu tidak melibatkan saya. Padahal saya termasuk anggota Bapemperda Halteng,” ungkapnya.

Baca halaman selanjutnya …

Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan Daerah (Bappelitbangda) Halteng yang kala itu dipimpin Salim Kamaluddin, beralasan, Pemda Halteng ikut mendorong kawasan industri ini untuk pemerataan dan keadilan ekonomi.

Di Kecamatan Patani waktu itu mereka berpikir usul cadangan kawasan industri seluas 5 ribu hektar. Alasannya agar wilayah seperti Kecamatan Patani juga turut berkembang seperti di Weda. Karena itu, ada usulan penambahan kawasan Industri di situ.

“Sifatnya hanya usulan saja, jika ditolak maka ditiadakan,” katanya.

Usulan penambahan kawasan industri dalam revisi  RTRW ini diakui, melibatkan semua pihak, baik pemerintah daerah maupun DPRD. Dia bilang penambahan kawasan industri ini sebenarnya bermula dari permintaan DPRD Halteng, sehingga Pemda turut mendorongnya.

“Kalau ada yang bilang terdapat indikasi titipan luasan lahan wilayah industry seluas 5 ribu hektare itu informasi menyesatkan,” kilahnya.

Sementara soal masif-nya pembebasan lahan di Halteng, dia bilang warga yang berkeinginan menjual lahan mereka. Proses pembebasan lahan biasanya perusahaan menyurat ke Pemda, setelah itu Pemda mengumpulkan pemerintah desa untuk memastikan pembebasan lahan berjalan lancar.

“Termasuk lahan yang dijual warga benar-benar tidak bermasalah,” pungkasnya.

Berdasarkan dokumen Studi  AMDAL Rencana Kegiatan Pengembangan  Kawasan  Industri   PT Indonesia  Weda Bay  Industrial  Park  yang dipresentasikan di Ternate pada  17 November 2023, PT IWIP berencana melakukan perubahan dan penambahan beberapa kegiatan  di dalam  area   kawasan industri  PT IWIP. Dalam  dokumen tersebut disebutkan  hal ini sesuai dengan rencana induk kawasan  industri.

Rincian rencana kegiatan pengembangan kawasan industri  PT IWIP itu yakni,  pengolahan dan pemurnian  (smelter,red) feronikel dari  70 lines menjadi 80 lines. Pabrik  ekstraksi logam menggunakan larutan berair (air atau pelarut lainnya) untuk memisahkan logam dari bijih atau bahan lain atau hidro metalurgi dengan proses  HPAL (High Pressure Acid Leach)  metode ekstraksi nikel dan kobalt dari bijih nikel laterit (limonit) dengan menggunakan asam sulfat pekat, suhu tinggi, dan tekanan tinggi dalam autoklaf  dengan kapasitas 420.000 Ton nikel/tahun dan 50.000 Ton Cobalt/tahun, ditambah menjadi 240.000 ton nikel/tahun total  menjadi 660.000 ton  nikel/tahun.

Smelter battery litium karbonat (Li2CO3) yang merupakan bahan baku utama dalam produksi baterai lithium-ion. Litium karbonat adalah garam litium yang penting karena fungsinya sebagai prekursor dalam membuat bahan katoda dan elektrolit untuk baterai lithium-ion. Battery  Lithium  Carbonat  48.000 ton/tahun mengalami penambahan /tahun menjadi 96.000 ton  /tahun.

Smelter nikel Sulfat 200.000 ton per tahun.  Smelter nikel sulfat adalah fasilitas industri yang mengolah bijih nikel menjadi nikel sulfat, yang merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baterai lithium-ion. Smelter nikel metal 200.000 ton per tahun.  Side Blow  Furnace   adalah jenis tungku peleburan logam yang menggunakan udara yang ditiup dari sisi tungku untuk melarutkan logam. Tungku ini biasanya digunakan dalam proses pembuatan baja dan produksi logam lainnya. Teknologi atau tungku tiup samping 32 lines.

Ada juga penambahan PLTU dari 6560 MW menjadi 7320 MW. Pembangunan PLTS  dari  1000 MW menjadi 2000 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan kincir angin sebesar 800 MW, Pelabuhan dari 1.100.000 Dead weight Tonnage (DWT) ukuran kapasitas angkut beban sebuah kapal  menjadi 1.650.000 DWT. Ada juga pengambilan air baku  yang sebelumnya hanya di sungai Kobe, Ake sake dan Wosea sebanyak 12000 M3/ jam akan ditambah lagi pengambilan air baku di Sungai Sagea dengan kapasitas 15000 m3/hari menjadi 27000m3/hari. Selain itu juga ada penambahan tenaga kerja dari   50.000 menjadi 100.000 orang, serta rencana pengambangan laboratorium pengujian ore 3.000.000 ton per tahun serta penambahan pembangunan pabrik electrolytic nickel 30.000 ton per tahun menjadi 50.000 ton/tahun electrolytic nickel. [5]

Sesuai jadwal kegiatan pengembangan kawasan industri sebagaimana  tertuang dalam dokumen studi AMDAl itu  akan dilaksanakan hingga Mei 2026 nanti.

Baca halaman selanjutnya …

Halteng  Dulu Kaya Hasil Pertanian dan Perkebunan 

Kabupaten Halmahera Tengah sebelum massivenya tambang nikel seperti sekarang, dikenal sebagai salah satu daerah  pertanian dan perkebunan, kelapa, pala, cengkeh dan kakao. Daerah ini juga  memiliki beberapa kawasan transmigrasi sebagai lumbung pangan Halmahera Tengah.

Luas Halmahera Tengah mencapai 227.683 hektar.  Namun saat ini luasan lahan itu  terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Dari luasan   itu, sekitar 60%  sudah  masuk industri tambang.  Ada WBN dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan ini adalah patungan tiga investor asal Tiongkok Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi.  Kawasan IWIP  merupakan  perusahaan  besar yang  menguasai  lahan di Weda  Utara dan Weda Tengah. Selain  itu ada juga  PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, PT Zong Hai, PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN).

Data BPS Halmahera Tengah 2015 menunjukan, luas perkebunan pala ada 11. 098,50 hektar. Kelapa 10.246,00 hektar, cengkeh, 1.490,00 hektar, dan kakao 3.436,00 hektar. Di Weda Tengah yang sekarang menjadi  pusat industri nikel, luas lahan pala mencapai 253,00 hektar. Kelapa 830,00 hektar, cengkeh 70,00 hektar kakao 361,00 hektar.

Sementara  jumlah produksi perkebunan kelapa dan  pala lima tahunan  sejak 2018 hingga 2022  berdasarkan data BPS menunjukan trend   penurunan. 2018  Kelapa : 10.321 ton, pala   13.312. Pada 2019  kelapa  ada  8.765,2 sementara pala tidak terdeteksi. Pada 2020  produksi  kelapa : 8.097 ton dan pala  1.807,3.

Produksi perkebunan pada 2021  kelapa : 7.874,0 ton  dan  pala : 1.828,71 pada  2022  produksi  kelapa : 1.835,0 ton dan pala  1.485,0 ton.

Pada 2020, Dinas Pertanian Halmahera Tengah merilis panen padi di Desa Woejerana Weda Tengah salah satu desa lumbung pangan di Weda Tengah mencapai 147,28 ton. Pada 2021, panen petani turun drastis  jadi 81 ton. Penurunan ini terjadi karena banjir yang merusak tanaman petani. Desa  yang  berada 38 kilometer dari Kota Weda ini sebelumnya jadi penyokong pangan Halmahera Tengah dan beberapa kabupaten di Maluku Utara.

Kini, kondisinya berubah, sejak banjir bandang besar menerjang desa ini 2020 dan 2021 lahan pertanian rusak tertimbun lumpur. Sejak  terdampak banjir sawah jadi semak.  Ada dugaan warga banjir terjadi  karena hutan di hulu sudah  jadi areal tambang nikel. Desa  berpenduduk 256 keluarga  yang berasal dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat  itu masuk  Halteng sejak 1991 lalu. Desa  ini dulunya  lumbung pangan. Tapi kini jadi  wilayah pelepasan lahan  untuk PT IWIP.

Baca halaman selanjutnya …

Regulasi  Tak Jamin  Ruang Hidup Masyarakat  Aman

Problem  ruang hidup dan tanah di  lingkar PSN sempat diteliti beberapa lembaga salah satunya Transparansi Internasional (TII).  Riset berjudul  “Laporan Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya–Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah 2024 itu tim peneliti mengungkapkan bahwa,  perusahaan yang telah mendapat izin beroperasi di “tanah negara” tidak ada hubungan langsung dengan hak masyarakat sekitarnya. Karena itu meskipun ada lahan dan kebun milik masyarakat di atas wilayah konsesi itu, tanah diwariskan turun- temurun lebih dari 20 tahun sekalipun tetap tidak diakui sebagai hak milik pribadi.

Penelitian dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas  Khairun Ternate dipimpin Rusdin Alauddin dan rekan-rekan pada 2016, yang meneliti sengketa lahan akibat kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara, menunjukkan  konflik lahan dengan pelaku usaha pertambangan sulit dihindari bahkan cenderung meningkat karena berbagai faktor.

Dalam hal regulasi misalnya dari tingkat nasional hingga lokal tidak menjamin penyelesaian masalah lahan secara efektif. Masyarakat sering kali jadi korban ketidakadilan yang muncul dari produk hukum yang dihasilkan.

Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga  makin memperburuk posisi masyarakat, menjauhkannya dari keadilan yang  seharusnya mereka terima. Perasaan ketidakadilan itu membuat warga apatis ketika membahas kesejahteraan dan kemakmuran yang seharusnya dihasilkan dari perusahaan di daerah mereka.

Kurangnya perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah  juga berdampak pada penolakan masyarakat, yang terkadang berujung tindakan anarkis, merugikan tidak hanya warga, tetapi juga perusahaan dan pemerintah.

Ada beberapa  penyebab konflik lahan  antara pelaku usaha dan masyarakat. Studi itu menunjukkan besaran ganti rugi lahan merupakan permasalahan utama. Ada 49% responden merasa dirugikan karena kompensasi tidak sesuai harapan.  20,67% responden mencatat adanya tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi penyebab konflik. Beberapa pihak mengklaim hak atas sebidang tanah yang sama.

Permasalahan ganti rugi tanaman juga menjadi titik persoalan. 10% responden melaporkan keberadaan perusahaan tambang menimbulkan konflik, terutama karena banyak tanaman warga belum mendapatkan ganti rugi yang layak. Permasalahan ini umumnya terjadi di kawasan pertambangan PT. WBN/IWIP di Kabupaten Halmahera Tengah.

Selain itu sengketa batas wilayah dan kurangnya komunikasi juga masalah yang signifikan. Tidak hanya terjadi antara Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tetapi juga antar desa.

Terakhir, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga teridentifikasi,  belum dijalankan   dengan baik dan benar.

Riset ini merekomendasikan agar pemerintah daerah meninjau  regulasi di bidang pertanahan, khususnya penentuan besaran ganti rugi lahan untuk masyarakat.

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan kepentingan masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Perlu dilakukan sebelum izin diberikan kepada pelaku usaha pertambangan.

Reportase ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan sejumlah media. Yakni Halmaherapedia.id  (Mahmud Ichi), Haliora.Id (Sahrul S Jabidi), Malut Post (Fadli Kayoa dan  Suryani S Tawari), RRI (Mario Panggabean), serta Independen.id sebagai bagian dari program Mengawasi Proyek Strategis Nasional (PSN)  yang didukung AJI Indonesia dan Kurawal Foundation.

Exit mobile version