Oleh: Rosydan Arby
(Mahasiswa PhD: The University of Alabama, USA)
Sherly Laos tak sekadar menduduki kursi kekuasaan sebagai kepala daerah. Ia sedang menenun ulang pemaknaan kita atas pembangunan, kepemimpinan, dan perubahan di tanah yang terpencil namun strategis: Maluku Utara.
Dalam dirinya, tidak ada euforia kekuasaan yang meluap-luap. Yang ada adalah keteguhan diam, kerja pelan, dan niat tulus untuk membenahi sesuatu yang selama ini hanya dibungkus retorika: birokrasi yang stagnan, struktur yang tak responsif, dan harapan masyarakat yang terus-menerus digantung di langit janji.
Dalam langkahnya yang terlihat tenang tapi tajam, Sherly tahu bahwa semangat saja tidak cukup. Semangat bisa memicu harapan, tapi tidak menjamin hasil. Karena itu, ia memilih rute yang tidak populer: jalan lambat yang penuh evaluasi, revisi, dan kadang frustrasi.
Sekarang sepertinya ia sadar bahwa membangun Maluku Utara bukan hanya soal memenuhi janji kampanye, melainkan tentang membongkar kebiasaan lama yang telah membatu dalam denyut institusi pemerintahan Provinsi Maluku Utara.
Salah satu batu besar yang harus ia singkirkan adalah lemahnya infrastruktur birokrasi dan minimnya kapasitas fiskal yang tersedia untuk pembangunan multisektor.
Bukan hanya sumber daya manusia yang belum sepenuhnya siap berubah, tetapi juga pola pikir dan kebiasaan kerja yang enggan beranjak dari zona nyaman.
Bagi Sherly, ini bukan sekadar soal teknis administrasi. Ini soal cara berpikir. Dan mengubah cara berpikir birokrasi memerlukan lebih dari sekadar instruksi: ia butuh keteladanan, strategi, dan kesabaran yang dalam.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sherly berdiri di simpang jalan. Ia bisa saja membiarkan sistem berjalan apa adanya, menyesuaikan diri pada logika “asal selamat”. Tapi ia tahu bahwa untuk melompat, seseorang harus terlebih dahulu mengambil ancang-ancang yang tepat.
Maka ia mulai dari hal paling mendasar: membenahi fondasi. Ia tidak tergoda mempercantik etalase sebelum memastikan pondasi bangunan cukup kuat untuk menopang beban masa depan.
Ketika publik menagih bukti nyata dari janji 100 hari kerjanya, Sherly justru mengambil langkah yang terkesan bertolak belakang. Ia menolak berpacu dengan waktu demi kepuasan sesaat. Ia lebih memilih logika dampak ketimbang logika impresi.
Di tengah sorotan media sosial yang haus narasi-narasi cepat dan viral, ia tetap berjalan dalam sunyi meski kadang harus menyisipkan potongan pencitraan agar tetap relevan di mata publik. Tapi jika dicermati lebih dalam, yang sedang ia bangun adalah panggung bukan jalan.
Menariknya, kepemimpinan Sherly ini selalu berkonsultasi dengan tim taktis yang ia percaya, tapi ia lebih mendengar para konsultan politiknya yang mengatur kemenangannya bersama Sarbin Sehe dari awal, dibandingkan para “politisi lokal” yang belakangan mendukungnya.
Dan di mata sebagian orang, sherly sedikit tertutup, bahkan ragu-ragu dalam berkomunikasi tentang kebijakan yang strategis.
Daerah dengan keragaman tinggi seperti Maluku Utara dengan topografi yang memisahkan, politik lokal yang cair, dan ketimpangan yang melebar kemampuan mendengar dari semua pihak adalah kekuatan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tak ada pemimpin yang sepenuhnya luput dari kelemahan. Dalam pandangan penulis, titik rawan dalam kepemimpinan Sherly justru terletak pada aspek komunikasi politiknya.
Ia belum sepenuhnya piawai menjembatani idealisme perubahan yang ia usung dengan realitas politik lokal yang begitu dinamis dan penuh tekanan.
Ketika publik mendambakan perubahan cepat dan terlihat, Sherly justru menyodorkan kedalaman visi yang butuh waktu untuk dicerna.
Gaya kepemimpinannya yang senyap dan penuh kehati-hatian membuatnya terlihat kontras dengan gaya almarhum suaminya saat memimpin Pulau Morotai yang lebih agresif.
Meski begitu, ada kemiripan di antara keduanya dalam hal determinasi, meski Sherly tampil lebih tertutup, bahkan cenderung eksklusif.
Salah satu momen yang menyoroti kekeliruan komunikasi strategisnya adalah penunjukan Abjan Sofyan sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan.
Keputusan itu diumumkan tanpa koordinasi matang dengan Wakil Gubernur dan Sekretaris Daerah, menciptakan kesan adanya celah dalam mekanisme kepemimpinan kolektif.
Baca Halaman Selanjutnya..
Peristiwa ini menjadi cermin penting bahwa dalam tata kelola pemerintahan, komunikasi bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi dari kepercayaan dan stabilitas.
Dalam teori Strategic Framing (Entman, 1993), kemampuan membingkai pesan dan menyampaikannya dengan tepat adalah kunci untuk mempertahankan legitimasi.
Kegagalan dalam komunikasi meski substansi kebijakan baik dapat menjadi senjata makan tuan di era digital yang gaduh. Di luar soal komunikasi, medan politik lokal yang ia hadapi pun tidak mudah.
Ada jejaring kekuasaan lama yang masih berpengaruh, patronase yang mengakar dalam struktur OPD, dan friksi dengan kelompok-kelompok yang tersingkir dalam kontestasi politik lalu.
Dalam situasi seperti ini, Urban Regime Theory (Stone, 1989) menunjukkan bahwa kekuatan pemimpin bukan terletak pada struktur formal saja, tapi pada kemampuannya merajut koalisi informal yang mampu menopang agenda reformasi. Tanpa itu, kekuasaan formal bisa menjadi ilusi semata.
Lebih jauh, persoalan partai besar yang tidak sepenuhnya berada di belakangnya, secara ideologis membuat posisi Sherly di parlemen bisa sedikit rapuh.
Teori Partisan Alignment (Key, 1955) menjelaskan bahwa tanpa dukungan mayoritas, seorang kepala daerah harus pandai menyusun koalisi berbasis isu agar tetap bisa menjalankan agenda strategisnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sayangnya, Sherly belum terlihat agresif di ranah ini. Pendekatan politiknya yang terlalu netral membuat ia kesulitan mengamankan dukungan untuk kebijakan-kebijakan visioner. Dia lebih mengutamakan komunikasi lintas “Jakarta” dibandingkan lintas “Sofifi-Ternate”.
Tantangan lainnya adalah kelemahan kelembagaan di sekitarnya. Belum terlihat tim teknokrat yang kokoh yang bisa menyulap visi menjadi program nyata dalam waktu singkat. Ekosistem pengambil kebijakan yang kredibel masih terbatas apalagi sistem penganggaran masih terbatas.
Akan tetapi, program pendidikan gratis yang dijalankan Abubakar Abdullah atas perintahnya memang menonjol, tapi menjadi pengecualian, bukan indikator penilaian sistem program kerja secara keseluruhan, (tapi ini langkah awal yang baik).
Namun demikian, pola kerja Sherly justru mengingatkan kita pada teori Incrementalism (Lindblom, 1959). Bahwa perubahan besar sering kali lahir dari langkah-langkah kecil, bukan dari revolusi besar yang dramatis.
Dan Sherly tampaknya lebih memilih menjadi pemahat ketimbang tukang ledak. Ia pelan, tapi mengakar. Ia tidak berteriak, tapi bekerja walaupun pada kalangan tertentu mereka masih menilai Sherly masih terang-terangan belum layak memimpin Maluku Utara.
Tapi itulah dinamikanya. Kita tidak bisa melawan takdir dari Tuhan yang Esa, kita hanya bisa menyesuaikan dan mengikuti waktu sambil menilai, memberi masukan, mengkritisi, maupun meluruskan jika yang ia lakukan itu sudah keluar dari rel cita-cita pembangunan Maluku Utara.
Ingat Ibu Gubernur, membangun Maluku Utara itu bukan hanya soal sekedar kecerdasan, bukan pula soal latar belakang tapi soal A sense of belonging (rasa memiliki) yang tidak hanya berpijak pada simbolisme, tetapi pada keinginan untuk benar-benar merawat tanah yang anda pimpin.
Di dalam rasa memiliki itu, lahirlah keberanian untuk membuat keputusan. Maka, Sherly memang sedang memimpin dengan peta tanpa jalan. Tapi siapa tahu, jalan itu akan terbentuk justru karena ia berani menapakinya terlebih dahulu. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selesai, 13 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/selasa-13-mei-2025.html