Oleh: Sahrul Ali Poipessy
(Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Hermeneutika pembebasan berangkat dari pendekatan yang ditawarkan oleh Hasan Hanafi dalam rangka untuk memahami al-Qur’an.
Pendekatan ini merupakan salah satu cara dan alternatif baru dalam menafsirkan teks suci dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi.
Dalam pengembangannya, Hanafi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hans-Georg Gadamer dan Edmund Husserl yang merupakan dua tokoh besar dalam bidang filsafat dan fenomenologi.
Gadamer sendiri dalam manafsirkan sebuah teks, menurutnya seseorang tidak bisa benar-benar netral. Setiap mereka yang membaca teks pasti membawa pemahaman awal atau atau pengalaman pribadi yang mempengaruhi caranya untuk menafsirkan.
Oleh karena itu, Hanafi berpandangan bahwa menafsirkan teks bukanlah usaha untuk menggali makna asli yang tertutup rapat di dalam teks, melainkan upaya untuk menciptakan makna baru yang sesuai dengan konteks kehidupan saat ini.
Sebab, penafsiran bukan sekedar soal apa arti teks ini dahulu, melainkan kepada apa maknanya bagi kehidupan.
Disisi lain, dari Husserl Hanafi menggunakan pendekatan fenomemologisnya yakni suatu pemahaman bahwa pengetahuan seharusnya lahir dari kesadaran langsung akan kenyataan yang dialami.
Denga kata lain, untuk memahami teks tdak cukup hanya dengan teori atau keyakinan teologis belaka, tetapi juga perlu bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan yang kongkrit dan pengalaman manusia sehari-hari.
Baca Halaman Selanjutnya..
Bagi Hanafi, teks agama tidak cukup hanya dibaca, namun harus menggerakkan manusia untuk bertindak memperbaiki dunia. Hermeneutika pembebasan menurut Hasan Hanafi ini menekankan tiga tahapan penting;
Pertama, meninjau sejarah teks dan konteks sosialnya secara objektif.
Kedua, memahami isi teks secara mendalam melalui analisis bahasa dan konteks.
Ketiga, menjadikan hasil pemahaman itu sebagai dasar untuk bertindak nyata di dunia dalam rangka memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat manusia.
Hal ini karena menurutnya al-Qur’an harus menjadi panduan nyata dalam perjuangan manusia untuk hidup layak (Sanong, 2002).
Oleh karena itu, dari gagasan ini kita bisa pahami bahwa Hanafi tidak hanya sekedar menawarkan pendekatan baru dalam menafsirkan al-Qur’an, tetapi juga menghadirkan panggilan moral dan sosial yang sangat mendesak, khususnya para tokoh agama.
Misalnya dalam konteks masyakat Maluku Utara yang saat ini sedang bergelut dengan perampasan ruang hidup masyarakat dan perlakuan tidak adil dari perusahaan tambang yang berkompromi dengan para penguasa.
Maka tokoh agama dalam hal ini seharusnya tidak berdiam diri dengan merasa aman dan tidak lagi cukup untuk berdiri sebagai penjaga doktrin melainkan sudah menjadi suatu keharusan untuk hadir sebagai agen pembebas.
Maluku Utara yang juga mempunyai empat kerajaan Islam yang masih aktif hingga kini yang juga menjunjug nilai-nilai keislaman seharusnya mempunyai suara paling lantang sebagai bentuk panggilan moral yang membawa nama Islam disetiap ajarannya untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Seperti yang Allah Firmankan dalam al-Qur’an “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.” (Qs. An-Nahl:90)
Perintah berlaku adil (‘al-‘adl) dalam ayat tersebut sejalan dengan prinsip utama dalam pendekatan hermeneutika pembebasan Hasan Hanafi yang menekankan bahwa teks harus dimaknai untuk menegakkan keadilan sosial.
Namun keadilan disini tidak hanya bersifat normatif melainkan harus disusul dengan dorongan untuk bertindak secara aktif demi kebaikan sosial. Pada ayat ini juga disebutkan tiga perintah dan tiga larangan.
Tiga perintah itu ialah berlaku adil, berbuat kebajikan (ihsan), dan berbuat baik kepada kerabat. Sedangkan tiga larangan itu ialah berbuat keji, mungkar, dan permusuhan.
Dalam tafsir Kementerian Agama dijelaskan bahwa kezaliman merupakan lawan dari keadilan sehingga wajib dijauhi. Hak setiap orang harus diberikan sebagaimana mestinya.
Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak mereka dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan golongan yang kuat mengayomi yang lemah. Penyimpangan dari keadilan adalah penyimpangan dari sunnah Allah dalam menciptakan alam ini.
Hal ini tentulah akan menimbulkan kekacauan dan kegoncangan dalam masyarakat, seperti putusnya hubungan cinta kasih sesama manusia, serta tertanamnya rasa dendam, kebencian, iri, dengki, dan sebagainya dalam hati manusia.
Baca Halaman Selanjutnya..
Problem ini menjadi semakin urgen ketika mereka yang memahami agama justru diam membisu terhadap ketimpangan dan penindasan yang terjadi.
Hanafi menyebut ini sebagai bentuk penghkhianatan terhadap nilai dasar Islam, karena agama seharusnya berpihak kepada mereka yang tertindas (al-mustadh’afin), sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa “mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas diantara laki-laki, perempuan, dan anak-anak…” (Baca: Qs. An-Nisa:75).
Dalam kerangka hermeneutika pembebasan, peran tokoh agama sangat sentral yang dituntut tidak hanya menyampaikan pesan yang bersifat normatif melainkan ia harus keluar dari Menara keheningan menuju ruang publik untuk mengkritik kebijakan yang tidak adil, menyuarakan hak-hak kaum marjinal, dan membangun keasadaran kolektif beradasarkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Hanafi bahwa mufassir (tokoh agama) harus memiliki tiga kesadaran penting yaitu kesadaran historis (melihat akar-akar ketimpangan), kesadaran akan konteks yang dihasilkan dari analisis mendalam mengenai teks, dan kesadaran praksis guna mendorong perubahan sosial yang nyata.
Akhirnya, kita memahami bahwa gagasan besar Hasan Hanafi mengharuskan Islam untuk bergerak dari paradigma teosentrisme menuju ke antroposentrisme ini mengandung pesan yang kuat, bahwa tugas utama agama bukan untuk membela Tuhan, melainkan membela manusia dari ketertindasan dan eksploitasi.
Dalam konteks ini, tokoh agama memiliki peran yang sangat strategis dan etis dalam menjadikan Islam sebagai kekuatan pembebas.
Maka tulisan ini sengaja diajukan untuk menguji keberanian moral dan komitmen praksis dari tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh dari empat kerajaan Islam yang memiliki posisi strategis untuk melindungi masyarakat dari potensi kehilangan sumber kehidupannya. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 7 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/rabu-7-mei-2025.html