Oleh: Muhammad Kamarullah
(Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Lahir di Halmahera Tengah)
Terhitung kurang dari empat bulan pasca dilantik sebagai Gubernur Maluku Utara pada 7 Februari 2025 lalu, kini Sherly Tjoanda diguncang dengan isu hak angket oleh DPRD Maluku Utara.
Diketahui bahwa ide pembentukan Pansus hak angket ini diinisiasi oleh Basri Salama selaku ketua DPD Hanura Malut. Meski begitu, hak angket ini kelihatannya minim dukungan dari anggota plus fraksi-fraksi di gedung parlemen.
Sejumlah komentar anggota DPRD menilai bahwa angket kepada Gubernur Sherly terlalu dini. Setali tiga uang, sikap mayoritas fraksi masih wait and see bahkan sebagian telah menolak ide angket tersebut.
Kini giliran publik mengamati sembari mempertanyakan motif dari rencana pengajuan hak angket tersebut. Apakah rencana hak angket oleh sejumlah DPRD terhadap Sherly ini merupakan agenda balas dendam politik? Ataukah benar-benar akan diseriusi sebagai kontrol konstitusional?
Aroma Balas Dendam?
Isu hak angket ini sebenarnya belum menunjukkan indikasi kuat bahwa Sherly melanggar hukum atau merugikan masyarakat secara luas.
Karena jika dicermati, narasi utama yang dikemukakan oleh Basri adalah berkaitan dengan keterlibatan Abjan Sofyan dalam rapat OPD Pemprov, persoalan transfer DBH yang dinilai diskriminatif, hingga penggunaan fasilitas seperti hotel dan transportasi milik swasta di tengah upaya efisiensi anggaran.
Dalam konteks ini, penulis berpandangan bahwa pemerintah yang baru seumur jagung ini sepatutnya diberi ruang membuktikan diri.
Baca Halaman Selanjutnya..
Jika ada yang perlu dikritisi, sebaiknya menggunakan mekanisme pengawasan bertahap yang sesuai. Baik interpelasi, rapat kerja ataupun klarifikasi terbuka. Bukan langsung melompat ke hak angket.
Itu sebabnya tak sedikit yang berasumsi bahwa angket yang didorong oleh Basri CS ini tak lebih dari sekedar upaya “balas dendam” politik.
Bahwa hak angket ini nampak dipicu oleh luka kekalahan barisan sejumlah koalisi yang gagal mengantarkan jagoannya ke kursi Malut 1 pada kontestasi Pilgub 2024 lalu.
Tercium aroma hak angket kepada Sherly ini bukan karena kekeliruan kebijakan, melainkan karena tak terima kalah. Tentu saja ini bukan lagi soal pengawasan, tapi soal posisi dan gengsi yang belum selesai dipertarungkan.
Masa kerja yang belum genap 100 hari ini hendaknya menjadi momen konsolidasi. Maluku Utara di bawah kepemimpinan Sherly- Sarbin harusnya diberikan ruang untuk beradaptasi, mengonsolidasikan birokrasi serta menyusun pondasi pembangunan yang efektif.
Bukan untuk adu kekuatan politik. Apalagi langsung menyergap dengan hak angket yang justru menunjukkan bahwa elit politik Malut nampak belum dewasa dalam menyikapi hasil demokrasi.
Sebab ketika fungsi pengawasan dijalankan secara agresif apalagi dibaluti dengan nuansa balas dendam, maka semangat demokrasi akan menjadi rusak.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tantangan Demokrasi Lokal
Dalam sistem demokrasi, hak angket merupakan instrument paling kuat yang dimiliki oleh legislatif. Ia sebagai mekanisme formal untuk mengontrol dan menguji pelbagai kebijakan ataupun tindakan pemerintah yang dianggap melenceng dari kepentingan publik ataupun melanggar hukum.
Namun, fungsi tersebut harus dijalankan dengan niat untuk menjaga stabilitas pemerintahan, bukan untuk menggerogoti.
Ini mengingatkan kita pada Robert Dahl dalam “Democracy and Its Critics (1989)” bahwa keberlangsungan demokrasi tidak hanya ditentukan oleh prosedur, tetapi juga dari komitmen terhadap fair play dan saling menghormati mandat rakyat.
Apabila semangat ini tidak dijaga, maka yang terjadi adalah demokrasi lokal hanya menjadi pertarungan elit. Bukan lagi sebagai ruang aktualisasi kehendak rakyat.
Kasus ini meperlihatkan bahwa demokrasi lokal kita nampaknya masih belum sepenuhnya terbebas dari rivalitas personal antar kubu-kubu politik. Pun juga sangat rentan terhadap manipulasi elit politik.
Demokrasi lokal sebagaimana didefinisikan Dahl menjadi arena di mana warga dan wakil-wakilnya bisa bersama mengelola kepentingan publik dengan rasionalitas dan keterbukaan, yang terjadi malah representasi rakyat terjebak dalam konflik elektoral.
Maka agaknya tidak berlebihan bahwa fenomena “angket premature” ini menjadi cerminan bahwa aktor-aktor politik lokal tidak menjalankan peran mereka sebagai penjaga konstitusi. Justru sebagai perpanjangan tangan kelompok yang kalah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Karena jika pemerintah terus menerus diganggu dan diadang oleh angket, serta tarik menarik kepentingan, maka sebagai konsekuensinya demokrasi lokal akan mandek pada perselisihan elit.
Akan kelihatan elok jika hak angket hendaknya dijadikan sebagai jalan terakhir dari kebuntuan tahapan mekanisme pengawasan. Dan bukan sebagai senjata pertama gedung parlemen. Sebab demokrasi akan bekerja ketika adanya dialog dan komunikasi, bukan konfrontasi.
Akhirnya, jika parlemen lebih memilih jalan konflik sejak awal pemerintahan, maka yang dirugikan bukan hanya eksekutif, tetapi seluruh rakyat Maluku Utara yang mengharapkan stabilitas dan pelayanan publik yang optimal.
Pelajaran Bersama
Dari sini kita sudah seharusnya belajar tentang pentingnya penguatan budaya politik lokal yang lebih matang. Dalam artian, demokrasi bukan hanya sebatas menang dan kalah dalam kontestasi politik yang sifatnya momentual.
Melainkan tentang sikap “rela” dalam pengertian bagaimana semua pihak bisa menerima hasil kontestasi dengan dewasa. Serta tetap menjalin kolaborasi dalam rangka pembangunan daerah.
Tantangan ini sebenarnya harus dijawab tidak hanya oleh elit-elit politik lokal saja. Melainkan oleh semua kalangan. Oleh pimpinan tertinggi Maluku Utara yakni Gubernur Sherly Tjoanda dan Wagub Sarbin Sehe sebagai pemimpin baru. Juga oleh DPRD, masyarakat sipil dan media sebagai pengawal demokrasi.
Sebab jika tidak, demokrasi lokal hanya akan menjadi prosedur kosong tanpa semangat partisipatif dan keadilan substantif. Wallahualam. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 6 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/selasa-6-mei-2025.html