Site icon MalutPost.com

Refleksi Kritis Dunia Pendidikan

Oleh: Salim
(Kepsek SD Alam Madani)

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 semestinya menjadi momentum penting untuk menakar ulang arah pembangunan pendidikan Indonesia.

Namun, alih-alih menjadi panggung bagi evaluasi dan inovasi, kondisi pendidikan kita hari ini justru menunjukkan tanda-tanda stagnasi.

Sebagai seorang guru yang mengamati langsung dinamika di lapangan, penulis merasa terpanggil untuk menyuarakan kegelisahan terhadap kondisi ini, terutama terhadap kinerja Kementerian Pendidikan yang saat ini terasa seperti berjalan di tempat sunyi dari terobosan, jauh dari gebrakan berarti.

Kementerian Pendidikan saat ini seolah kehilangan daya dobraknya. Bila kita mengingat masa-masa awal pergantian menteri, sempat muncul sorotan tajam mengenai kebijakan Ujian Nasional, Kurikulum Merdeka menjadi Pembelajaran Deep Learning.

Dan Selebihnya lagi hanya penggantian nama program dengan sedikit perubahan seperti PMM yang menjadi rumah belajar, P5 yang menjadi 7 kebiasaan baik.

Namun, setelah isu-isu tersebut berlalu, ruang pemberitaan mengenai kementerian ini nyaris hampa. Tak tampak lagi gagasan baru yang ditawarkan ke publik.

Bahkan jika seseorang mencoba menelusuri berita tentang kementerian ini di Google, nama yang masih mendominasi hasil pencarian adalah Nadiem Makarim menteri sebelumnya yang kerap hadir dengan terobosan dan kontroversi. Menteri yang sekarang? Namanya pun nyaris tenggelam dalam kesunyian.

Baca Halaman Selanjutnya..

Kondisi ini tentu sangat disayangkan. Sebab pendidikan adalah jantung pembangunan bangsa. Jika sektor ini dikelola secara administratif saja tanpa ide besar, tanpa keberanian menyentuh hal-hal mendasar, maka hasilnya hanya akan berupa rutinitas birokratis yang tak mengubah banyak hal.

Penulis tidak bermaksud merendahkan atau mengabaikan kerja keras pejabat kementerian. Namun kenyataannya, tidak ada dampak yang benar-benar terasa oleh para pelaku pendidikan, terutama guru-guru di lapangan.

Tidak ada gebrakan yang mampu mengguncang sistem seperti halnya masa Nadiem Makarim atau Anies Baswedan, yang meskipun menuai polemik, mampu menghadirkan arah yang tegas dan perdebatan sehat demi perbaikan sistem.

Alih-alih menghasilkan inovasi kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil di kelas, kementerian saat ini justru terlihat terlalu fokus pada pengembangan administrasi kurikulum.

Di permukaan, ini mungkin terlihat penting, namun bagi guru seperti penulis, yang dibutuhkan bukan hanya dokumen-dokumen atau penyesuaian protokol, melainkan gagasan segar yang bisa membakar semangat perubahan di dalam kelas, di ruang guru, dan di benak para siswa.

Yang lebih menyedihkan lagi, ide-ide besar justru kini lebih banyak muncul dari kepala daerah. Gubernur Jawa Barat, misalnya, beberapa kali muncul dengan program dan gagasan yang lebih membumi dan menyentuh kebutuhan pendidikan rakyat.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana peran kementerian? Mengapa fungsi penggerak dan pemimpin kebijakan nasional justru terasa lebih dominan di daerah?

Baca Halaman Selanjutnya..

Jika kita ingin jujur, masalah utama pendidikan Indonesia bukan pada kurikulumnya, melainkan pada pelaksanaannya. Kurikulum bisa terus berganti dari satu menteri ke menteri lain, tetapi implementasi di lapangan nyaris tak berubah sejak dekade lalu.

Setiap perubahan kurikulum diikuti oleh pergantian buku dan materi ajar yang membingungkan guru, terutama mereka yang secara kualitas masih dalam tahap berkembang. Ditambah lagi dengan sikap siswa yang semakin apatis, situasi ini seperti benang kusut yang tak pernah selesai diurai.

Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), pernah menyampaikan sebuah pernyataan penting yang patut direnungkan bersama: “Kalau pendidikan mau maju, bukan hal-hal administratif seperti sekolah unggulan, sekolah rakyat, atau makan bergizi gratis yang diajukan.

Tapi yang pertama harus diperhatikan adalah kualitas gurunya dulu. Mau ganti kebijakan bagaimanapun, kalau gurunya enggak mampu, ya enggak akan ada perubahan.” Pernyataan ini benar-benar menggambarkan akar persoalan kita.

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Jika mereka tidak diberdayakan, maka kebijakan sehebat apa pun akan berakhir sia-sia.

Selain itu, kita juga perlu menyimak pandangan Ririe Aiko, seorang pengamat pendidikan, yang menyampaikan bahwa di negara-negara maju, kurikulum tidak mengalami bongkar-pasang setiap periode.

Mereka memiliki blueprint yang dijaga dan dilanjutkan secara konsisten oleh siapa pun yang menjabat. Perubahan yang dilakukan bersifat perbaikan dan adaptasi terhadap perkembangan zaman.

Baca Halaman Selanjutnya..

Bukan pembongkaran total yang hanya menghasilkan kebingungan baru.Sayangnya, pendekatan seperti ini belum menjadi tradisi di Indonesia.

Dalam artikel yang dimuat oleh DetikEdu, Dirjen Dikti mengakui adanya teguran dari KPK terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Ini menunjukkan bahwa persoalan pendidikan bukan hanya pada sisi mutu, tetapi juga menyentuh aspek tata kelola dan integritas. Setiap perubahan kurikulum menyedot anggaran dalam jumlah besar.

Namun sayangnya, dampak perubahan itu terhadap masyarakat nyaris tidak terasa. Suasana ruang kelas, cara mengajar guru, dan respon siswa hari ini tidak jauh berbeda dengan suasana ketika kita duduk di bangku sekolah puluhan tahun lalu.

Mengapa demikian? Karena perubahan hanya menyentuh aspek permukaan: dokumen, sistem pelaporan, dan protokol. Tidak menyentuh jantung persoalan yang sesungguhnya.

Sudah saatnya kita mengakui bahwa pendidikan Indonesia sedang butuh penyegaran pemikiran. Butuh pemimpin yang bukan hanya bisa mengelola, tapi juga mampu menginspirasi.

Butuh kementerian yang bukan hanya rajin membuat pedoman, tapi juga turun langsung ke lapangan, mendengar guru, melihat realitas, dan menawarkan solusi konkret.

Baca Halaman Selanjutnya..

Kita tidak bisa terus berharap banyak dari kurikulum yang berganti-ganti jika kualitas pengajar dan sistem pendukung di sekolah tidak pernah diperkuat secara serius.

Di tengah segala persoalan yang ada, Hardiknas tahun ini semestinya menjadi titik refleksi. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk bertanya: apa yang sebenarnya ingin kita capai melalui pendidikan?

Apakah kita ingin sekadar mencetak lulusan yang patuh pada sistem administratif, atau ingin membentuk generasi yang berpikir kritis, berakhlak mulia, dan mampu bersaing secara global?

Pendidikan bukan sekadar urusan teknis. Ia adalah proyek peradaban. Maka, ia memerlukan visi besar, kepemimpinan yang berani, serta komitmen kolektif dari semua pihak, mulai dari pusat hingga sekolah-sekolah di pelosok negeri.

Jika kita gagal memanfaatkan momen refleksi ini, maka bukan tidak mungkin krisis pendidikan kita akan terus berulang dalam siklus yang melelahkan.

Semoga Hardiknas 2025 ini menjadi pintu bagi lahirnya gagasan baru dan semangat untuk melakukan transformasi nyata. Bukan hanya di atas kertas, bukan hanya di ruang rapat, tapi juga di ruang kelas—tempat sejati pendidikan itu berlangsung. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 2 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/jumat-2-mei-2025.html

Exit mobile version