Oleh: Rusli M. Din
(Penulis adalah Pendiri LSM Komunitas Progresif Anak Negeri Maluku Utara (Kompak)
2 Mei tiba, bangsa ini diajak merenung sejenak atas perjalanan panjang yang telah ditempuh dalam dunia pendidikan.
Hari Pendidikan Nasional, atau yang kita kenal sebagai Hardiknas, bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan sebuah undangan untuk melakukan evaluasi mendalam: sejauh mana amanah mencerdaskan kehidupan bangsa telah kita emban?
Tahun ini, peringatan Hardiknas mengambil nuansa baru. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencanangkan bulan Mei sebagai Bulan Merdeka Belajar, sejalan dengan visi pendidikan yang membebaskan, membangun, dan memberdayakan.
Pemilihan tanggal 2 Mei tidaklah tanpa makna. Ia mengabadikan kelahiran Raden Mas Soewardi Soerjaningrat — Ki Hajar Dewantara tokoh yang menancapkan prinsip bahwa pendidikan adalah hak kodrati setiap insan, bukan hak istimewa segelintir kelompok.
Sejak Konferensi Besar Budi Utomo 1928 hingga penetapan Hardiknas pada 1948, pendidikan telah menjadi ruh pergerakan bangsa menuju kemerdekaan dan kemanusiaan yang berkeadilan.
Di tengah perayaan itu, kita harus jujur mengakui, dunia pendidikan kita menghadapi tantangan besar. Kemiskinan struktural, kebodohan, budaya pragmatisme, lemahnya supremasi hukum, serta maraknya kekerasan di kalangan pelajar mencerminkan adanya anomali sosial, sebagaimana dikemukakan Elfindri dalam Soft Skills untuk Pendidik.
Anomali tersebut menandakan adanya kegagalan dalam membumikan nilai-nilai karakter bangsa yang luhur kegagalan yang, jika dibiarkan, akan membahayakan masa depan republik ini.
Baca Halaman Selanjutnya..
Undang-Undang No.20 Tahun 2023, tidak hanya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi juga membentuk karakter manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab terhadap tatanan demokratis.
Maka, pendidikan tidak boleh semata-mata dipandang sebagai aktivitas formal di ruang kelas, melainkan proses membangun manusia seutuhnya.
Konteks inilah, janji pasangan Prabowo–Gibran untuk menyediakan pendidikan gratis dan program makan bergizi gratis (MBG) menjadi sorotan tajam masyarakat. Apakah program-program ini sekadar retorika politik, atau sungguh-sungguh akan menjadi lompatan nyata menuju keadilan sosial?
Visi besar “Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045” yang mereka tawarkan mengandung cita-cita mulia, yakni memperkecil kesenjangan akses pendidikan dan menguatkan fondasi sumber daya manusia (SDM).
Program makan siang gratis, jika dilaksanakan secara konsisten dan berintegritas, merupakan investasi sosial yang dapat berdampak langsung pada kualitas kognitif dan kesehatan anak-anak Indonesia.
Berbagai studi menunjukkan bahwa kecukupan nutrisi sejak dini berkorelasi erat dengan kemampuan belajar, tingkat konsentrasi, serta prestasi akademik.
Mengutip Michael Lipsky, teorinya Street-Level Bureaucracy, keberhasilan program sosial tidak cukup hanya dengan niat baik.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ia menuntut manajemen yang cermat, transparansi penggunaan anggaran, evaluasi berkelanjutan terhadap kualitas layanan, dan yang tidak kalah penting-keteguhan politik untuk menjaga kemurnian tujuan di tengah kompleksitas birokrasi.
Lebih dari sekadar memberi makan, pendidikan harus membangun karakter. Kita memerlukan keteladanan moral, pembiasaan nilai, dan model pembelajaran yang menumbuhkan integritas, rasa hormat, kerja keras, serta kepedulian sosial.
John Dewey mengingatkan kita: “Education is not preparation for life; education is life itself.” Maka, pendidikan bukan sekadar persiapan menghadapi dunia, tetapi bagian integral dari pengalaman manusia dalam memaknai kehidupannya.
Dalam kerangka besar itu, kerja sama erat antara pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan dunia usaha mutlak diperlukan.
Pendidikan yang berkualitas hanya akan lahir dari ekosistem yang sehat, yang menjunjung tinggi nilai kebebasan akademik, keadilan akses, dan keberlanjutan program.
Kini, di tengah euforia janji-janji politik, masyarakat Indonesia menanti dengan harap-harap cemas. Akankah Prabowo Gibran menjadikan pendidikan sebagai prioritas sejati pembangunan bangsa? Ataukah hanya akan menjadi gema kosong yang hilang ditelan riuh rendah kepentingan pragmatis?
Baca Halaman Selanjutnya..
Hari Pendidikan Nasional ini adalah saat yang tepat untuk mengingatkan, masa depan Indonesia terletak pada anak-anak yang hari ini kita didik. Setiap janji yang diucapkan bukanlah sekadar komitmen politik, melainkan amanah sejarah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka, tugas kita semua, masyarakat sipil, dunia pendidikan, dan insan bangsa adalah mengawal janji-janji itu. Sebab, sebagaimana diungkapkan Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan. Semoga dari pendidikan yang adil, berkualitas, dan memanusiakan inilah, Indonesia kelak menemukan kemuliaannya di antara bangsa-bangsa. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 2 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/jumat-2-mei-2025.html