Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)
Lailatul Qadar merupakan salah satu malam paling sakral dalam tradisi Islam. Malam yang diyakini sebagai malam diturunkannya Al-Qur’an dan malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS. Al-Qadr: 1-5).
Dalam teologis Islam, Lailatul Qadar memiliki makna spiritual demikian mendalam. Namun, bila dilihat dari kacamata dimensi sosial, khususnya, sosiologi Islam, Lailatul Qadar mencerminkan relasi sosial yang demikian kuat, dinamika kolektif umat, serta pembentukan etika sosial yang memberi dampak pada masyarakat Muslim.
Dengan perspektif tersebut, Lailatul Qadar bukan hanya peristiwa spiritual, tetapi juga memiliki makna sosial.
Malam Lailatul Qadar mendorong kaum Muslim untuk melakukan refleksi kolektif, memperkuat solidaritas sosial, serta mengembangkan semangat altruisme. Ibn Khaldun (1377/2004) dalam karyanya, Muqaddimah menyebut, bahwa agama memiliki fungsi sosial dalam memperkuat ‘asabiyyah’ atau solidaritas kelompok. Malam Lailatul Qadar merupakan contoh konkrit bagaimana ritual spiritual mampu memperkuat jaringan sosial dan meningkatkan kohesi umat.
Pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan, kaum Muslimin berlomba-lomba meningkatkan ibadah, melakukan i’tikaf di masjid, dan memperbanyak amal. Aktivitas ini menciptakan ruang komunal spiritual yang mengikat individu dalam pengalaman kolektif. Hal ini sejalan dengan konsep Emile Durkheim (1912/2001) tentang “effervescence” atau gejolak kolektif dalam ritual keagamaan yang memperkuat kesadaran kolektif.
Penguatan dimensi kesadaran kolektif, merupakan bagian dari etika sosial.
Dalam etika sosial Islam tidak terlepas dari ajaran spiritual yang kemudian membentuk sistem nilai dalam masyarakat.
Lailatul Qadar menekankan pentingnya nilai-nilai seperti keikhlasan, pengampunan, dan pengabdian. Rasulullah SAW mengajarkan doa khusus untuk malam Lailatul Qadar :
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni” (HR. Tirmidzi).
Doa ini menjadi cerminan harapan individu Muslim untuk menjadi pribadi yang pemaaf dan menjadikan nilai tersebut sebagai modal sosial.
Baca halaman selanjutnya..
Lebih jauh, dalam pandangan cendekiawan Muslim, Al-Faruqi (1982) dalam Islamization of Knowledge menegaskan, pentingnya integrasi antara spiritualitas dan kehidupan sosial. Lailatul Qadar menjadi momen internalisasi nilai-nilai moral Islam yang kemudian dapat memengaruhi pola relasi sosial, meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sosial, dan menumbuhkan semangat keadilan sosial.
Lailatul Qadar dapat dilihat sebagai simbol transformasi sosial. Di mana malam Lailatul Qadar merupakan titik balik spiritual, yang dapat dimaknai sebagai momen pencerahan moral yang mendorong perubahan individu menuju kemaslahatan sosial. Sebagaimana Al-Qur’an diturunkan pada malam tersebut sebagai pedoman hidup, maka masyarakat Muslim diajak untuk kembali pada prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, dan kasih sayang dalam kehidupan sosial.
Hal yang sama ditekankan cendekiawan Muslim terkemuka, Fazlur Rahman (1982) yang menyatakan, pentingnya pemaknaan Al-Qur’an secara kontekstual agar umat Islam tidak hanya terjebak pada aspek ritual, tetapi mampu mengimplementasikan pesan-pesan moral ke dalam tatanan sosial. Lailatul Qadar menjadi momentum penting untuk transformasi nilai menuju masyarakat yang berkeadaban (madani).
Dalam makna sosial, Lailatul Qadar tidak hanya bermakna spiritual tetapi juga sosial, di mana Lailatul Qadar dapat menjadi ruang kolektif untuk memperkuat solidaritas, memperdalam etika sosial, dan mendorong transformasi sosial.
Dengan demikian, pemaknaan Lailatul Qadar seharusnya tidak berhenti pada ritual, tetapi juga mendorong pembentukan masyarakat yang lebih adil, pemaaf, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. []