Site icon MalutPost.com

Restorasi Maritim di Pulau Terpencil

Oleh: Muhamamd Asmar Joma

Di timur Indonesia ada gemerlap nikel yang kini menyelimuti wilayah pinggiran bibir pasifik atau frontier region Maluku utara dengan gugusan pulau-pulau yang diberikan Tuhan dengan tanda kekayaan alam yang luar biasa.

Sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam mineral (seperti emas, gas, minyak , bahan galian) dan sumber daya alam hayati, (seperti hutan, ikan, ternak, pertanian dan perkebunan) dari pandangan umum ini menjadi indikator.

Bahwa wilayah yang umumnya dianggap memiliki atribut terbelakang dan kekurangan dari aspek pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia ternyata tersimpan kekayaan bumi yang besar.

Namun kurang memperoleh perhatian pemerintah pusat. Apakah mungkin wilayah ini hanya dijadikan sebagai bahan kompromi elit politik dan oligarki?

Secara jujur kita ingin kata bahwa Maluku Utara kini menghadapi paradoks pembangunan: di satu sisi, geliat industri nikel menjanjikan kemajuan ekonom di sisi lain, restorasi maritim-yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat lokal terpinggirkan.

Sebagai ketua bidang kemaritiman dan agraria HMI BADKO Maluku Utara, saya menyaksikan langsung bagaimana narasi “kemajuan” berbasis ekstraksi sumber daya yang berfokus pada investasi pertambangan dan justru mengabaikan keberlanjutan ekosistem maritim dan terjadi ketimpangan maka hal ini perlu ada urgensi reorientasi kebijakan yang berkeadilan ekologis.

Baca Halaman Selanjutnya..

M. Baiquni dalam bukunya Membangun Pusat-Pusat Di Pinggrian Otonomi Di Negara Kepulauan, menyatakan “persoalan ketertinggalan pembagunan di wilayah pinggiran pada umumnya dapat dilihat sebagai fenomena dikotomi wilayah pusat pinggiran (centre-periphery)”. Perspektif ini sering digunakan para ahli geografi dalam memahami dinamika pembagunan wilayah.

Pesona nikel yang tak terabaikan di Maluku Utara menjadi sebuah ramuan baru dalam proses pengelolaan pertumbuhan ekonomi dengan proyek hilirisasi nikel di Halmahera dan Pulau Gebe dan sektor pertambangan lainnya, diagungkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

Namun, jika dilihat dalam laporan tahunan (WALHI Maluku Utara, 2020-2024) mengungkapkan dampak ekologi yang masif dalam 5 tahuh terkahir akibat pertambangan, sementara sedimentasi dari pertambangan berakibat bencana ekologi.

Hal ini terlihat di Halmahera Tengah tahun 2024 terjadi bencana banjir dan penderitaan yang menyebabakan 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang (WALHI, 2024).

Di tengah cengkeraman industrialisasi ekstraktif, sektor maritim Maluku Utara bukanlah ilusi romantis melainkan darurat ekologis-sosial yang menuntut respon kebijakan transformatif.

Apakah mungkin pemerintah justru mengorbankan kedaulatan bahari di wilayah kepulauan ini di mana hampir 90% wilayahnya adalah laut untuk memburu rantai ekonomi dari tambang nikel? Pertanyaaan ini saya kira perlu dijawab dengan tegas oleh pemerintah daerah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Menurut Faizal Ratuela Executive Director Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara, konsekuensi langsung dari kerusakan ekosistem struktural di wilayah hulu.

Dalam kurun 5 tahun terakhir, kawasan hutan primer seluas 188.000 hektar di Halmahera Tengah kehilangan 26.100 hektar tutupan vegetasinya.(WALHI,2024).

Fakta ini semakin mengerucut ketika menelisik kepadatan izin tambang di wilayah tersebut: 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) menguasai 37.952,74 hektar lahan, belum termasuk konsesi PT Weda Bay Nikel di Kawasan Industri Weda Bay (IWIP) yang mencapai 45.065 hektar (WALHI,2024).

Aktivitas ekstraksi masif ini telah mengubah bentang alam menjadi lanskap kapitalistik yang rapuh. Hilangnya fungsi hidrologis hutan sebagai natural water reservoir menyebabkan air hujan yang seharusnya terserap dan dialirkan secara bertahap berubah menjadi runoff  yang membawa tanah, logam berat, dan limbah tambang ke permukiman warga.

Dari perspektif ekologi politik, bencana ini bukan sekadar “bencana alam”, melainkan bencana antroposentris yang diproduksi oleh kebijakan pembangunan yang memprioritaskan akumulasi profit di atas daya dukung lingkungan.

Ironisnya, meski Maluku Utara dijuluki hidden paradise, praktik tata kelola sumber dayanya justru mengikuti logika resource curse di mana kekayaan alam dieksploitasi untuk kepentingan korporasi transnasional.

Sementara masyarakat lokal menanggung risiko ekologis seperti banjir, pencemaran, dan hilangnya sumber penghidupan. Belum lagi kita melihat tentang kebijakan pembangunan yang antropo-sentris ini mengabaikan prinsip keadilan antar-generasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Alih-alih memenuhi target SDGs tentang kehidupan bawah laut Maritim bukan hanya soal konservasi lingkungan, tetapi juga tentang keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir.

Revitalisasi sektor perikanan, pengembangan ekowisata bahari, serta rehabilitasi ekosistem laut harus menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan daerah.

Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk memperbaiki infrastruktur perikanan, memberikan bantuan teknologi bagi nelayan, serta melakukan restorasi ekosistem laut yang terdampak oleh aktivitas tambang.

Selain itu, perlu ada kebijakan tegas yang mengatur keseimbangan antara eksploitasi tambang dan perlindungan lingkungan agar keberlanjutan maritim tidak terabaikan.

Masyarakat pesisir harus diberi peran lebih besar dalam pengambilan keputusan yang menyangkut ruang hidup mereka. Partisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan melalui koperasi nelayan, edukasi konservasi, dan penguatan ekonomi berbasis komunitas.

Jika kita memlihat dengan prespektif yang berbedah tentang ekonomi biru (Blue Economy) dengan menggunakan buku Ekonomi Nusantara:

Antitesis dari Wacana Ekonomi Biru merupakan karya kritis yang lahir dari kolaborasi intelektual antara Muhamad Karim, akademisi Universitas Trilogi Jakarta, dan Parid Ridwanuddin.

Baca Halaman Selanjutnya..

Secara sederhana buku ini memberikan penjelasan tentang konsep ekonomi biru dalam praktik global diwarnai kerancuan konseptual dan paradoks implementasi.

Meski secara teoretis dirumuskan sebagai model pembangunan yang inovatif, realitasnya konsep ini kerap disamaratakan dengan ekonomi maritim konvensional padahal Gunter Pauli, pencetus awal ekonomi biru, menekankan prinsip zero waste dan simbiosis industri yang jauh lebih radikal.

Ketidakjelasan batasan definisi ini dimanfaatkan oleh lembaga internasional dan negara-negara pengadopsi untuk melakukan reinterpretasi sepihak, mengubah ekonomi biru menjadi “wadah kosong” yang diisi sesuai agenda politik-ekonomi masing-masing.

Oleh karena itu Maluku Utara bukan sekadar mimpi, tetapi sebuah kebutuhan mendesak yang harus segera diwujudkan.

Pemerintah tidak boleh terus-menerus mengabaikan sektor maritim demi kepentingan industri tambang semata. Diperlukan kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan ekosistem laut dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Oleh karena itu, kami dari HMI BADKO Maluku Utara menuntut pemerintah untuk segera melakukan evaluasi terhadap dampak lingkungan industri tambang, mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pembangunan sektor maritim, serta memastikan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut.

Jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, maka Maluku Utara hanya akan menjadi saksi bagaimana potensi maritimnya yang kaya terus terkikis oleh ambisi industrialisasi yang tidak berkelanjutan. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 19 Maret 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/03/rabu-19-maret-2025.html

Exit mobile version