Site icon MalutPost.com

Refleksi Kritis: Cinta dan Pembentukan Subjektivitas

Oleh: Ucok S. Dola (Sekjend Samurai Malut)

Dalam beberapa litarur Sejarah dunia tentang perjuangan dan pembebasan dari zaman ke zaman, kita menemukan kontribusi pikiran dan hati untuk menentukan arah dari suatu perubahan yang nyata. Tentu, ide dan gagasan tentang pembebasan selalu di topang oleh kekuatan intuisi (hati) sebagai dasar pijak seseorang melangkah maju sesuai kehendaknya.

Karena itulah dalam tradisi ilmu pengetahuan, pikiran (rasio) dan hati (intuisi) menjadi instrument yang sangat penting bagi manusia dibantu oleh lima panca indra, sehingga manusia menjadi makhluk yang berpengetahuan sebagaimana Murtadha Muthhari dalam “Manusia dan Alam Semesta”.

Cinta adalah kata kerja non fisik secara umum. Namun beberapa tokoh juga pernah mengartikan cinta dari pelbagai pandangan seperti Al-Gazali dalam “Kitab Cinta Dan Rindu”, memisahkan cinta antar sesama manusia dan cinta manusia kepada Tuhan.

Cinta sesama manusia bersifat terbatas dalam pengertian materi, seperti cinta menurut mata adalaha indah, menurut hidung adalah harum, menurut kulit adalah lembut dan lain-lain. Pengertian cinta tersebut hanya bersifat sementara, sedangkan cinta manusia kepada Tuhan sifatnya kekal. Ia melampaui materi, sebagaimana manusia menemukan sejatinya cinta dari sang-Pecinta, sebab Ia tidak terindrawi seperti cinta antar sesama manusia.

Akan tetapi, disini penulis bertujuan untuk memaparkan Cinta menggunakan Perspektif yang berbeda. Bahwa Cinta bukan seperti yang dipaparkan oleh Al-Gazali, melainkan Cinta adalah sebuah Manifestasi Energi dari kehidupan di muka Bumi. Sebelum itu, penulis mengajak pembaca untuk menelaah cinta dalam perspektif Al-Gazali.

Kita akan menemukan satu masalah pada kedua konsep di atas, pada tingkatan pertama manusia hanya akan berhubungan dengan manusia secara terbatas, tidak akan bisa melampauinya. Jika manusia sampai pada tingkatan yang kedua, maka ia akan melupakan cinta pada prespektif yang pertama, sebab kedua konsep cinta itu telah di bagi oleh Al-Gazali.

Sementara itu, konsep cinta tersebut akan kontras dengan kisah cinta yang pernah tersebar dalam Jajirah Arab, seperti “Layla dan Majnun” yang ditulis oleh Syeik Nizami. Kisah cinta Layla dan Majun jika dilihat secara filosofis, ia tidak memisahkan cinta antar sesama manusia dan cinta manusia kepada tuhan, melainkan ia menggabungkannya secara nyata.

Baca halaman selanjutnya..

  1. Energi

Sekarang penulis akan mengkomparasikan bahasan cinta di atas dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah. Hemat penulis seperti yang sudah di terangkan, bahwa cinta merupakan Manifestasi Energi dari kehidupan di muka bumi. Umumnya, Energi menurut Einstein dilambangkan dengan E=mc2. E adalah energi, sebuah rumus kesetaraan antara energi dan massa, m adalah singkatan dari suatu massa, sementara C2 adalah kecepatan Cahaya, sebuah konstanta universal. Jika disederhanakan, maka energi sama dengan materi dikalikan dengan kuadrat kecepatan Cahaya. (Robert Lamb & Yara Simon: 2023.com)

Penjabaran singkat tentang energi di atas jika dihubungkan dengan cinta, maka kita akan tiba pada energi untuk menghidupkan dunia dapat ditemui melalui cinta, dikalikan dengan kuadrat kecepatan Cahaya maka cinta adalah energi paling purba dari kehidupan karena ia tidak tetap, melainkan kekal. Hal ini menunjukan bahwa, setiap manusia ataupun makhluk memiliki persamaan dalam energi untuk mengakses cinta antar sesama maupun kepada Tuhan melalui manifestasi. Cinta yang materi adalah manifestasi dari immateri, sebaliknya yang immateri adalah manifestasi dari materi. Bagaimana menguraikannya? Penulis mengajak kita merefleksikan ini dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Manifestasi Cinta Materi dan Immateri

Secara umum, materi dan imateri adalah dua perspektif filsafat yang belum selesai dalam diskursus. Hal ini kita temukan dalam literatur filsafat tentang perdebatan antara ide yang melahirkan materi atau materi yang melahirkan ide dipelopori oleh dua filsuf Plato dan Aristoteles. Namun penulis tidak bermaksud untuk memperpanjang diskursus tersebut yang telah berkembang akhir-akhir ini, melainkan penulis akan menurunkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk refleksi kritis.

Cinta terhadap sesuatu yang sifatnya materi karena mampu di indrawi tetentu tidak akan sampai pada yang immateri karena tidak mampu di indrawi. Sebagai contoh; seseorang cinta materi, maka dia tidak sampai pada cinta Tuhan, sebab Tuhan tidak dapat di indrawi. Ini adalah pernyataan kompleks yang penulis temukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ada upaya bagi penulis untuk menguji hal ini dengan prespektif yang berbeda.

Namun tidak pada kita membahas cinta pada konteks relasi yang dilakukan oleh anak muda di saat ini dengan istilah pacaran pada umumnya, melainkan terjun lebih dalam agar kita dipertemukan sebuah pertanyaan mendasar seperti, apa yang dicari laki-laki pada Perempuan? Dan sebaliknya Perempuan mencari apa dalam diri laki-laki? Sehingga lahirlah relasi cinta yang menghubungkan dua insan itu.

Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, mula-mula kita harus bisa memisahkan alasan-alasan umum seperti, ganteng, putih atau hitam dan lain-lain sebagai alasan subjek mengatakan cinta pada objek. Penulis akan menggunakan istilah Deleuze tentang Aku dan aku, atau Aku yang aktif dan aku yang pasif. Aku yang aktif dengan huruf kapital ‘A’ku adalah aku yang sedang melakukan, sementara aku dengan huruf kecil ‘a’ku adalah proses menjadi diri ku. Sebagai contoh Aku yang aktif (aku sedang membaca buku), dan aku yang pasif (ia membawa buku untukku). Ini bisa diterjemahkan dalam bahasa inggris yaitu I and me. Pemaparan ini diringkas oleh Chris Stover dalam kursus filsafat tentang Waktu dan Proses saya, musim semi 2017.

Baca halaman selanjutnya..

Penulis menggunakan istilah diatas sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan mendasar tadi, agar dapat membuat terobosan sesuai dengan penjabaran tentang manifestasi cinta materi dan immateri. Hal mendasar yang  akan diutarakan disini adalah Subjek akan menemukan subjek tidak pada dirinya, melainkan pada yang lain sebagai instrument menemukan dirinya.

Secara metodologi akan kontradiksi, sebab yang lain punya kediriannya sendiri, tetapi yang dimaksudkan oleh penulis adalah yang lain atau the order sebagai instrumen untuk menemukan subjek melalui manifestasi. Sebagaimana “Aku sedang membaca buku dan ia sedang membawa buku untuk diriku”. Subjek kehilangan sesuatu yang ada dalam dirinya (diriku), sehingga “ia” dibutuhkan menemukan diri yang sesungguhnya”, tidak pada posisi antara subjek membutuhkan objek, melainkan subjek akan keluar dari dirinya untuk menemukan dirinya yang sesungguhnya.

Sebagai misal, ketika seseorang merefleksikan kehidupan-nya di masa lalu, maka diwaktu yang bersamaan, ia sebebnarnya tidak ada pada masanya, melainkan ia berada pada sesuatu yang lain dari dirinya, yaitu Kembali ke masa lalu.

Konsep di atas dapat digeneralisir menjadi aku menuju pada pembentukan diriku. Jika dihubungkan dengan konteks cinta di pembahasan awal, apa yang sebenarnya di cari oleh laki-laki terhadap Perempuan atau sebaliknya Perempuan kepada laki-laki, adalah peroses kedua-duanya sedang melakukan pencarian untuk menuju pada pembentukan diri yang sesungguhnya dalam pengertian cinta secara filosofis.

Bahwa kita tidak berada pada seputaran diskursus yang mengangkat alasan-alasan umum secara materil semata laiknya laki-laki mencintai Perempuan karena cantik, mulus, lembut atau yang lain, tetapi cinta itu adalah manifestasi yang akan terwujud oleh laki-laki dalam diri Perempuan maupun Perempuan dalam diri laki-laki secara totalitas. (*)

Exit mobile version