Oleh: Mohtar Umasugi
(Akademisi STAI Babussalam Sula)
Korupsi adalah penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan dan merusak kepercayaan publik terhadap negara. Di Indonesia, meskipun sudah banyak regulasi dan lembaga yang bertugas memberantas korupsi, praktik ini tetap mengakar kuat.
Dalam konteks ini, pengalaman Georgia menjadi contoh menarik bagaimana sebuah negara yang dulunya terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi berhasil melakukan perubahan drastis.
Georgia, pasca runtuhnya Uni Soviet, merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, perubahan besar terjadi ketika Mikheil Saakashvili terpilih sebagai Presiden pada tahun 2004.
Ia memimpin reformasi radikal yang mengubah Georgia dari negara korup menjadi salah satu negara yang paling bersih di kawasan Eropa Timur.
Salah satu langkah paling drastis adalah pemecatan hampir seluruh anggota kepolisian lalu lintas yang terkenal sebagai lembaga paling korup. Selain itu, sistem birokrasi yang berbelit dipangkas dengan menerapkan layanan publik berbasis digital.
Pemerintah juga memperkenalkan kebijakan transparansi yang memungkinkan publik mengawasi berbagai proyek pemerintah secara terbuka.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, hasilnya luar biasa. Georgia yang dulunya sarang mafia dan kolusi berubah menjadi negara dengan tingkat korupsi yang jauh lebih rendah.
Transparency International mencatat bahwa Georgia melompat jauh dalam peringkat indeks persepsi korupsi, bahkan lebih baik dibandingkan beberapa negara di Eropa Barat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dari sudut pandang hukum tata negara, keberhasilan Georgia tidak semata-mata karena perubahan kebijakan administratif, tetapi juga karena adanya reformasi fundamental dalam sistem ketatanegaraan mereka. Ada beberapa prinsip penting yang bisa kita pelajari:
1. Kepemimpinan yang Berani dan Visioner
Keberhasilan reformasi di Georgia menunjukkan bahwa seorang pemimpin dengan komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi mampu membawa perubahan signifikan. Saakashvili tidak hanya mengeluarkan kebijakan antikorupsi, tetapi juga memastikan bahwa regulasi yang ada ditegakkan secara konsisten.
2. Reformasi Kelembagaan yang Radikal
Dalam hukum tata negara, kekuatan lembaga negara sangat menentukan efektivitas kebijakan publik. Georgia merombak total institusi yang dianggap sebagai sarang korupsi. Langkah ini sejalan dengan teori Institutionalism, yang menekankan bahwa perubahan sistemik hanya bisa terjadi jika institusi yang ada direformasi atau bahkan dihapus jika terlalu korup untuk diperbaiki.
3. Transparansi dan Partisipasi Publik
Salah satu faktor utama yang membuat reformasi di Georgia berhasil adalah keterbukaan informasi. Konsep ini erat kaitannya dengan prinsip Good Governance, di mana transparansi dan akuntabilitas menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan. Dengan membangun sistem yang memungkinkan masyarakat mengawasi pemerintah, ruang gerak bagi korupsi semakin sempit.
4. Penegakan Hukum yang Tegas
Tidak ada toleransi bagi korupsi. Georgia memperkenalkan sistem hukum yang lebih ketat dengan sanksi berat bagi pelaku korupsi. Dari perspektif Rule of Law, hal ini menjadi kunci keberhasilan karena hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika melihat pengalaman Georgia, ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia.
Pertama, perbedaan struktur pemerintahan dan sistem politik. Indonesia adalah negara demokrasi dengan sistem desentralisasi, sementara Georgia memiliki sistem yang lebih terpusat, sehingga lebih mudah untuk melakukan reformasi dalam satu garis komando.
Kedua, korupsi di Indonesia sudah mengakar dalam berbagai lini, dari tingkat pusat hingga daerah. Reformasi kelembagaan seperti di Georgia akan sulit dilakukan tanpa adanya keberanian politik yang besar dari pemimpin nasional.
Baca Halaman Selanjutnya..
Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa belajar dari pengalaman ini. Ada beberapa langkah yang bisa diambil: Pertama, Digitalisasi Layanan Publik: Mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat untuk menutup celah transaksi koruptif.
Kedua, Reformasi Penegakan Hukum: Memastikan bahwa aparat hukum benar-benar independen dan tidak tunduk pada kepentingan politik.
Ketiga, Pemberdayaan Masyarakat: Meningkatkan keterlibatan publik dalam pengawasan anggaran dan proyek-proyek pemerintah.
Keempat, Sanksi Berat bagi Koruptor: Tidak hanya hukuman penjara, tetapi juga penyitaan aset dan larangan seumur hidup bagi pelaku korupsi untuk berkarier di sektor publik.
Pelajaran dari Georgia membuktikan bahwa korupsi bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Dengan kepemimpinan yang berani, reformasi kelembagaan yang radikal, transparansi, serta penegakan hukum yang tegas, perubahan nyata bisa terjadi.
Indonesia harus mengambil inspirasi dari pengalaman ini jika ingin benar-benar menghapus korupsi dari sistem pemerintahan.
Perubahan memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil.
Yang dibutuhkan adalah kemauan politik yang kuat dan dukungan penuh dari masyarakat untuk menuntut tata kelola pemerintahan yang lebih bersih dan transparan. Jika Georgia bisa, mengapa Indonesia tidak?. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 27 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/kamis-27-februari-2025.html