Site icon MalutPost.com

Puasa

Oleh: Hamdy M. Zen
(Dosen PBA IAIN Ternate)

Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan. Di mana, orang – orang yang beriman, diperintahkan untuk berpuasa selama sebulan penuh.

Sebagaimana difirmankan Tuhan di dalam qur’an pada surat albaqarah ayat 183 yang sangat popular, yaitu “hai orang – orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang taqwa”.

Dari ayat tersebut, menunjukan bahwa kita yang telah dinyatakan beriman, wajib untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan. Sebab, puasa merupakan hal yang wajib bagi kita.

Oleh sebab itu, tanpa bermaksud menggurui, dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis akan mencoba sedikit menjelaskan terkait dengan esensi dari puasa Ramadhan itu sendiri.

Pertama; pada ayat yang disebutkan di atas, Tuhan menggunakan kata orang yang beriman. Pertanyaannya mengapa Tuhan tidak gunakan panggilan untuk orang – orang muslim? Mengapa harus orang yang beriman? Jelas, mohon maaf dan tabea, bahwa karena orang yang katanya muslim, belum tentu beriman.

KTP nya mungkin saja ditulis Islam, tapi sikapnya belum tentu. Iman itu sendiri lahir dari dua hal. Pertama doktrin dan dogma dan yang kedua adalah akal. Lantas, kita termausk pada kategori yang mana? (pertama atau kedua)?

Ada orang yang beriman, karena sejak lahir dia sudah terdoktrin dan didogma oleh orang – orang dekat di sekitarnya. Sehingga, apa pun yang terjadi, dia akan katakan, pokoknya begini dan begitu, karena pikirannya sudah terbentuk sejak awal dari dogma dan doktrin tadi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sehingga pada akhirnya, mohon maaf terjadilah ikut – ikutan. Iman yang lahir dari sini, mohon maaf, bagi penulis sekali lagi tidak bermaksud sok tahu dan menggurui, iman ini tidak termasuk dalam panggilan Tuhan bagi orang – orang yang beriman, dalam surat albaqarah di atas untuk melakukan perintah puasa tersebut. Sebab, keimanannya bukan dari apa yang dia alami.

Sementara yang kedua adalah akal. Adapun orang yang beriman yang keimanannya lahir dari akalnya, maka dia akan mengalami sendiri. Proses mengalami ini, nanti akan kita diskusikan di lain kesempatan.

Singkatnya, penulis hanya ingin katakan bahwa, keimanan seseorang yang lahir dari akalnya kemudian dia sendiri yang mengalaminya lalu beriman, maka iman yang seperti inilah yang termasuk dalam kategori panggilan Tuhan untuk puasa. Artinya bahwa, puasa itu hanya diperuntukan bagi orang yang beriman.

Sebab hanya orang yang berimanlah yang bisa melakukan puasa dengan sebaik – baiknya. Jika tidak, maka kita akan menjadi orang puasa tapi seperti yang dibilang nabi, puasa hanya mendapatkan lapar dan haus. Itulah sebabnya, banyak sekali di dalam qur’an Tuhan sebutkan sedikit yang berfikir.

Kedua; kata kutiba yang diartikan sebagai wajib. Wajib itu sendiri terkadang digunakan Tuhan dengan kata selain “kutiba”, yaitu “Fardu”. Di sini ada sedikit perbedaan di antara kedua kata ini. Kalau digunakan kata fardu, maka wajibnya selamanya tidak terbatas waktu.

Contoh, di dalam qur’an Tuhan katakan kata fardu untuk bersedekah, sebagaimana disebutkan dalam Surat 9:60, “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus sedekah, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah (FARDHU), dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Pada ayat tersebut, Tuhan menggunakan kata fardu sebagai sebuah amalan wajib. Artinya bahwa ternyata di antara perintah wajib dengan menggunakan dua kata yang berbeda, poinnya juga berbeda.

Baca Halaman Selanjutnya..

Wajib yang menggunakan kata kutiba memiliki arti sebuah ketetapan yang terbatas oleh waktu. Sementara fardu, yakni sebuah ketetapan wajib yang tidak terbatas oleh waktu.

Contoh, sebagai seorang pekerja di mana pun itu tempatnya, kita memiliki kewajiban yang bersifat fardu untuk terus belajar, sampai kita menjadi ahli di bidang masing – masing. Artinya bahwa, belajar merupakan sebuah kewajibat yang bersifat fardu bagi kita.

Sementara itu, misalkan di tempat kita bekerja, kita diwajibkan untuk mengikuti apel setiap pagi, sebelum mulai bekerja. Kewajiban yang seperti ini, merupakan sebuah ketetapan wajib yang bersifat kutiba.

Sebab, wajibnya berdasarkan waktu yang ditentukan. Kewajiban ini, nantinya akan merubah kebiasaan – kebiasaan lama. Wajib yang seperti ini, tidak selamanya, dia hanya akan datang di waktu – waktu tertentu saja, sebagai Latihan buat kita.

Mengarah pada penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah Kesimpulan sederhana, bahwa puasa Ramadhan, merupakan sebuah kewajiban yang ditentukan oleh waktu. Maka dari itu, kita hanya diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

Selain itu pula, terkait dengan ketentuan waktu ini, maka selama bulan Ramadhan nanti, segalanya kita akan diatur juga. Mulai dari sahur, imsak, puasa, sampai berbuka puasa lagi. Semuanya diatur. Proses peraturan ini, untuk merubah kebiasan lama menuju pada pembentukan akhlakul karimah.

Ketiga; kata puasa yang Tuhan gunakan dalam qur’an adalah “shiam”. Sedangkan kebiasaan kita di saat sahur, niatnya adalah “nawaitu shaum”. Antara shiam dan shaum, memiliki makna berbeda yang cukup dalam juga ternyata. Kalau perintah puasa yang digunakan dalam qur’an adalah shiam. Shiam ini sendiri berarti puasa secara fisik.

Baca Halaman Selanjutnya..

Orang beriman disuruh berpuasa secara fisiknya. Menahan lapar, haus dan lain – lain yang berkaitan dengan fisiknya dalam hal ini jasmaninya. Itulah sebabnya perintah wajibnya menggunakan kata kutiba.

Artinya bahwa, kita diwajibkan berpuasa untuk fisik ini selama satu bulan penuh. Makan dan minum kita diatur, waktu tidur dan bangun pun tetap diatur.

Katakanlah kebiasaan kita sebelum bulan Ramadhan, ada makan pagi, makan siang dan juga makan malam. Selama bulan Ramadhan itu, semua kebiasaan yang merupakan hak paten kita itu, diambil. Kita dilarang untuk makan dan minum selama waktu itu.

Lantas, apa maksudnya? Maksudnya adalah setelah kita shiam dalam hal ini puasa, kita ternyata dituntut untuk shaum seperti niat di waktu sahur itu. Adapun shaum itu sendiri adalah puasa secara batin.

Semua yang menjadi hak kita tadi (makan pagi, makan siang dan juga makan malam) kita itu, kita berikan kepada yang paling berhak.

Jatah makan pagi, siang dan malam, kita tidak mengambilnya, walaupun sebenarnya, kita punya hak penuh, tapi kita tidak mengambilnya dan kita diperintahkan untuk memberikan hak tersebut kepada mereka yang lebih berhak dan lebih membutuhkannya. Inilah yang kemudian disebut dengan sedekah.

Keempat; dalam ayat disebutkan ending dari berpuasa adalah untuk mencapai taqwa. Taqwa di dalam surat yang lain Tuhan katakan cirinya adalah orang yang selalu berbagi, baik dalam keadaan yang susah maupun lapang.

Baca Halaman Selanjutnya..

Jadi esensi dari puasa menurut penulis ternyata adalah berbagi (bersedekah). Oleh karena itulah perintah wajib sedeqah digunakan kata fardu, sedangkan perintah wajib puasa adalah kutiba. Maka berpuasa secara hakikat adalah bersedekah kapan dan di mana pun kita berada, baik lapang maupun susah.

Makanya beramadhan, tidak sebatas di bulan Ramadhan saja, tapi selamanya setiap tahunnya selama 12 bulan yang terus berputar. Nanti puasa Ramadhan, khusus di bulan Ramadhan yang satu bulan itu.

Makanya di bagian sebelumnya di atas, penulis katakan bahwa semua aturan di dalam bulan ramdhan tersebut, merupakan sebuah Latihan untuk merubah kebiasaan menuju pada pembentukan karakter yang mulia. Di dalam Latihan ini, kita dibatasi waktu makanya di dalam qur’an digunakan kata kutiba.

Nanti setelah itu, masuk satu syawal barulah kita Kembali. Yakni ‘idul fitri. ‘id berarti Kembali, sementara fitri berarti suci. Orang yang berpuasa secara hakikat, pasti akan Kembali pada kefitrahannya.

Sedangkan bagi yang berpuasa tidak pada hakikatnya, mohon maaf, tidak bermaksud sok hebat, mungkin bisa jadi hanya mendapatkan haus dan lapar saja. Insya Allah di kesempatan yang lain, baru kita bicarakan lagi terkait dengan ‘idul fitri.

Intinya, bulan ramdhan hanya akan datang setahun sekali. Tapi beramadhan selamanya tak terbatas oleh waktu. Bulan Ramadhan diibaratkan seperti Latihan.

Adapun setelah Ramadhan, itulah ramadhan yang sesunggunya. Meminjam bahasanya kang Abu Marlo, ibarat kata, setiap Latihan selalu menang, pas memasuki turnamen sungguhan, tak pernah menang, justru selalu kalah.

Akhirnya, penulis hanya dapat berkata, mari menyambut Ramadhan dengan senyum kebahagiaan, semoga kita mendapat lailatul qadr dan Kembali ke fitrah kita. Amin.
Sekian. Tabea. Ternate, Puncak Torano, 23 Februari 2025. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 25 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/selasa-25-februari-2025.html

Exit mobile version