Site icon MalutPost.com

Kadang Telat Bayar Kuliah, ke Kampus Numpang Truk

Budiman L Mayabubun

Takdir bukanlah masalah kesempatan, tapi masalah pilihan. Takdir bukan ditunggu, tetapi harus diperjuangkan (William Jennings Bryan).

Kalimat bijak dari politisi Amerka Serikat tersebut, bukan sekadar kata, tapi fakta. Setidaknya inilah gambaran kehidupan seorang Budiman L Mayabubun yang kini dipercaya masyarakat Taliabu sebagai penyampai aspirasinya di parlemen Taliabu.

Posisi Budiman sebagai Anggota DPRD Taliabu, bahkan dipercaya memimpin Komisi III, tak diraih dengan mudah. Pemuda dari salah satu desa terpencil di Taliabu Utara itu, jatuh bangun dalam memperjuangkan nasibnya, sejak masih menempuh pendidikan.

Putra pasangan L Mayabubun dan Wa Jua ini, sejak masih duduk di bangku SMP sudah memimpikan duduk di kursi parlemen. Karena itu, dia bertekad untuk bisa meraih cita-citanya.

Dan tentu, untuk menggapainya dia harus sekolah lebih tinggi, minimal bisa menyandang gelar sarjana. Jadi, dia harus kuliah. Sayangnya, keinginan itu terhalang dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Sang ayah yang saat itu menjabat sebagai Kepala sekolah SD di kampungnya tampaknya agak keberatan dengan biaya pendidikan di perguruan tinggi yang begitu mahal.

Karena itu, Budiman diminta untuk menunda kuliahnya selepas lulus SMA. “Kebetulan dapat kesempatan beasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), tapi sayang saya tidak mendapat restu dari bapak dan ibunda, bahkan diminta untuk istirahat dulu, baru lanjut kuliah,” kisahnya.

Keputusan orang tua itu membuatnya frustasi dan kondisi itu membuat orang tuanya pilu. Akhirnya, mereka pun mengalah.
Kedua orang tuanya berembuk dan akhirnya sepakat untuk melanjutkan studinya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dia diantar langsung sang ayah ke Ternate untuk mendaftar kuliah. Keinginan si anak “keras kepala” itu tercapai, setelah putranya terdaftar di kampus dan memastikan mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan menemani putranya mulai menjalani keseharian sebagai mahasiswa baru, sang ayah pun pamit kembali ke Taliabu untuk melanjutkan tugasnya.

“Setelah mendaftar di Universitas Khairun, ayah pamit kembali di Taliabu untuk menjalani tugas sebagai Kepala Sekolah SD Inpres Tanjung Una juga sebagai Pendiri SD di Desa Wahe,”tuturnya.

Budiman pun mengantarkannya ke pelabuhan Ahmad Yani. Kapal yang akan membawa sang ayah kembali ke kampung halamannya itu tengah berlabuh di sana.

Sebelum melambaikan tangan dan berlalu naik ke tangga kapal yang siap berangkat, sang ayah sempat menyampaikan pesan singkat padanya. “Harus kuliah bae-bae dan capat selesai,” tuturnya menirukan kata-kata ayahnya kala itu. Ternyata, kalimat yang terdengar berat itu adalah kalimat terakhir sekaligus pertemuan terakhir keduanya.

Beberapa bulan kemudian, saat dirinya masih di semester awal, Budiman mendapat kabar dari kampung, kalau motivatornya itu telah dipanggil Ilahi.

Kembali ke pangkuan-Nya. “Ternyata itu, lambaian terakhir dari Bapa, beberapa bulan kemudian, saya mendengar kabar, kalau bapa meninggal,” kenangnya.

Dunia terasa sesak, saat mendapatkan kabar tatkala, dirinya jauh dari kampung. Komitmennya untuk bisa meraih gelar sarjana nyaris tumbang, namun dia dikuatkan oleh keluarga dan teman sejawat juga kata-kata terakhir sang ayah. Dia tak mau mengecewakan perjuangan orang tua, bahkan saat sulit sekalipun.

Dia harus kuliah. Jika sebelumnya biaya kuliah bisa diminta pada ayah, kini dia harus berusaha, tak bisa membebani ibunya yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan harus menafkahi saudaranya di kampung.

Baca Halaman Selanjutnya..

“Kampus kita di Akehuda sebelum pindah ke kampus Gambesi, kadang saya harus jalan kaki dari Jati Kecil (tempat tinggalnya, red) ke-terminal lama Gamalama, kadang saya menumpang dengan teman kalau tidak ada ongkos angkot,” kisahnya.

Dan itu dijalani tanpa harus mengeluh pada ibu yang kini menjadi single parent.
Beberapa semester kemudian, fakultasnya ditetapkan untuk pindah ke Kampus II, Gambesi. Saat tak ada ongkos, dan ada waktu kuliah, dia pun menggunakan metode yang sama, menumpang di truk pengangkut pasir, atau bahkan semen.

Dia tak peduli, jika bajunya kotor dengan debu semen, yang penting bisa kuliah dan debu semen bisa disibak dengan menggunakan tangan atau buku. Tak jarang juga dia terlambat masuk kelas dan meski sudah berusaha, ada beberapa mata kuliah yang nilainya error.

Tak hanya uang angkot, dia juga sering kesulitan bayar biaya kuliah. Beruntung, ada petinggi kampus yang mau bersimpati padanya dan menjadi penyelamat.

“Kalau dihitung-hitung, saya beberapa kali tidak bisa bayar uang semester, untungnya waktu itu Rektor sekarang ini Pak Ridha Adjam, M.Hum masih menjabat sebagai Warek III yang sering membantu saya dan mengeluarkan surat sakti untuk membayar uang semester termasuk juga Mantan Warek I Abdurahman Hoda,” sebutnya.

Di tengah keterpurukannya, Budiman yang rajin salat di masjid itu sering keciprat rezeki, ada pengurus masjid yang melihat kondisinya susah sering berbagi uang sekadar untuk ongkos ke kampus kadang dikasih Rp5000. “Saya isi sebagai celengan sebagai tambahan uang semester,” ucapnya.

Proses tidak menghianati hasil, kerja kerasnya untuk mengubah masa depannya terjawab. Tahun 2012, pria kelahiran 24 April 1987 ini berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Hukum dengan konsentrasi Hukum Pidana dan menyandang gelar Sarjana Hukum.

Dia yang aktif di organisasi dan memiliki pengalaman jurnalistik dengan membuat Buletin Gerakan Aksi Mahasiswa Fakultas Hukum (GAM-FH) saat masih kuliah membuatnya terjun ke dunia jurnalistik.

Baca Halaman Selanjutnya..

“Wartawan itu pilar demokrasi sering disebut corong rakyat. Itulah motivasi awal masuk jurnalis, karena saya punya cita-cita seperti saat ini jadi corong rakyat,”katanya.

2009, Budiman bergabung dengan Bletin GAM-FH, lalu 2012-2013 dia berkarir di dunia jurnalistik di media Aspirasi. Dari profesi ini pula dia bertemu dengan jodohnya yang juga seprofesi, Elfa Umasugi dipersunting menjadi istri pada 2020.

Setelah menikah, Budiman memilih kembali di daerah dan ikut bergabung dengan Partai Politik untuk mewujudkan mimpinya, dia memilih PDI-P sebagai partai yang akan membawanya maju ke kursi DPRD Taliabu.

Saat menjadi peserta Pemilu sebagai anggota legislatif, dia mengaku banyak tantangan yang dihadapi termasuk diserang dengan kampanye hitam.

Tapi itu bisa dilalui dan dia membuktikan mendapat kepercayaan masyarakat. 27 November 2024 terpilih sebagai anggota DPRD Pulau Taliabu.”Banyak tantangan dari masyarakat, termasuk dari keluarga.

Karena saya tidak punya uang yang cukup. Soalnya pemilih di Taliabu bukan pemilih partisipatif melainkan pemilih yang cukup pragmatis.

Tapi alhamdulillah dukungan masyarakat cukup kuat kepada saya terutama masyarakat di Desa Tanjung Una dan juga beberapa desa lainnya, sehingga hari ini dipercayakan menjadi wakil rakyat di Komisi III DPRD Pulau Taliabu,” pungkasnya.

Kisah Budiman L Mayabubun ini mengajarkan kita, bahwa jangan berhenti hanya karena sulit. Tapi harus terus maju, karena hasil dari kerja keras lebih manis daripada penyesalan karena menyerah. (cr-04/nty)

Hasman Sangaji
Bobong

Exit mobile version