Site icon MalutPost.com

Integritas Terendah; Malu(T) Jadi Malu

Oleh: Werdha Candratrilaksita, S.E., M.A.P.
(Mahasiswa Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro)

Apakah Hasil Survei Terkonfirmasi?
Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun 2024 Komisi Pemberantasan Korupsi mungkin mengkonfirmasi betapa buruknya persepsi publik terhadap integritas pemerintah daerah di Maluku Utara, khususnya Pemprov Malut yang mendapat nilai terendah secara nasional.

Pemprov Maluku Utara menempati nilai terendah diantara seluruh pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga, dengan hasil survei penilaian integritas pada angka 57,35 dari skala 100. SPI sekurangnya menjadi early warning bagi Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, untuk meningkatkan integritas.

Para responden survei telah memberi respon berdasarkan pengalaman dan persepsinya sepanjang mereka berinteraksi dengan pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga. Nilai tertinggi diraih oleh Kementerian Luar Negeri dan terendah disematkan pada Pemprov Malut.

Pemerintah Kabupaten/Kota di Malut juga jangan bergembira dulu, meskipun tidak mendapat peringkat terendah, namun nilai yang diperoleh belum menggembirakan. Hanya Tidore dan Haltim yang sedikit di atas rata-rata nasional (rata-rata nasional: 71,53).

Kepulauan Sula mendapat nilai 59,00; Halbar 59,37; Kota ternate 59,88; Halsel 64,81; Halut 66,43; Taliabu 67,29; Halteng 67,91; Pulau Morotai 69,79; Haltim 71,75; dan Tidore 73,24. 10 Pemda (termasuk Pemprov) dikategorikan “rentan” (Skala 0-72,9) dan hanya satu Pemda (Tidore) yang dikategorikan waspada (skala 73-77,9).

Baca Halaman Selanjutnya..

Belum ada satu pun pemda di Malut yang mendapat status terjaga (78-100). Rata-rata nilai se-provinsi Maluku Utara sebesar 65,17. (sumber: www.jaga.id)

Survei KPK itu mengkonfimasi empat hal kemungkinan: 1) Masih terdapat penyalahgunaan pengadaan barang dan jasa, 2) Masih terjadi suap dan gratifikasi, 3) masih terjadi penyalahgunaan fasilitas dan anggaran, 4) masih terdapat gratifikasi dalam promosi atau mutasi jabatan.

Keempat hal tersebut menjadi area yang harus diperbaiki atau dibenahi oleh gubernur dan seluruh kepala daerah (bupati/walikota) yang saat ini menjabat maupun berikutnya.

Secara sederhana, awam bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di Malut dengan adanya kasus AGK eks Gubernur Malut. Ibarat puncak gunung es, sebenarnya gunung laut yang menjadi dasar gunung es, berdiri kokoh dan terhampar di bawah lautan.

Jika kasus AGK adalah puncak gunung es, maka sungguh mengerikan birokrasi di bawahnya yang harus dibenahi. Semoga hal buruk itu tidak ada di Malut.

Kita Bertanya pada Diri Kita
Kita sebagai bagian dari Maluku Utara bertanya pada diri kita sendiri. Seberapa tinggi integritas layanan publik Pemerintah Daerah? Apakah setiap kita mengurus akta kelahiran, kartu keluarga, KTP, akta nikah, dan lain-lain urusan pencatatan sipil, kita memberi uang/barang kepada petugas mulai dari level terendah misalnya kelurahan hingga dinas terkait agar dilayani dengan baik?

Apakah setiap kita mengurus sekolah anak di sekolah negeri seperti masuk sekolah, pindah sekolah, mengambil buku rapor dan ijazah, kita harus memberi uang/barang kepada pegawai/guru di sekolah agar dilayani dengan baik?

Baca Halaman Selanjutnya..

Apakah setiap kita mengurus air PDAM, sampah, dan sebagainya; kita harus memberi uang/barang pada petugas agar dilayani dengan baik?

Apakah setiap kita masuk fasilitas layanan Kesehatan milik pemerintah daerah, mendapat pelayanan yang baik? Apakah saat kita mengurus perizinan usaha, IMB, izin air tanah, KIR kendaraan, dan layanan samsat, dsb kita harus memberi uang/barang kepada petugas agar mendapat pelayanan yang baik?

Apakah masih banyak retribusi parkir, dan pungutan objek wisata dll tanpa karcis resmi? Mungkin masih banyak pertanyaan pada diri kita sebagai warga Malut untuk menguji seberapa berintegritas Maluku Utara.

Setiap setoran ke petugas yang tidak menggunakan bukti setoran resmi di loket atau tidak langsung disetorkan ke rekening kas umum daerah/rekening bendahara penerimaan SKPD/rekening kas umum desa pada pemerintah desa adalah pungutan liar/illegal.
Rendahnya Integritas Masyarakat, Biaya Politik Yang Tinggi, dan Pemburu Rente (Rent-Seeking)

Pemburu rente adalah orang atau sekelompok orang atau entitas usaha yang berusaha menguasai seluruh atau sebagian faktor produksi untuk tujuan kesejahteraan diri mereka sendiri dengan mengabaikan seluruh dampak ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi (Tullock, 1967) (Krueger, 1974).

Sudah menjadi rahasia umum, banyak kandidat kepala daerah di berbagai daerah, mendapat sokongan dana dari berbagai pihak, khususnya para pemburu rente. Hal itu suatu keniscayaan, karena biaya politik yang sangat tinggi. Biaya politik berkaitan dengan tingkat integritas (dibaca: moralitas) masyarakat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Pemburu rente bermain dengan cara menjadi penyokong dana salah satu atau bahkan seluruh kandidat (bermain dua, tiga, atau empat kaki sekaligus).

Secara umum praktek dukungan pemburu rente ini bertujuan agar mereka mendapatkan komitmen diantaranya:

1) izin usaha (konsesi) berkaitan dengan sumber daya alam baik pertambangan maupun penguasaan hutan, 2) izin/hak untuk produksi maupun distribusi barang-barang tertentu (monopolistik), 3) privilege dalam kegiatan usaha dengan mempengaruhi konten dan proses regulasi maupun deregulasi yang mengatur kegiatan usaha baik di level eksekutif maupun lembaga legislatif, 4) di level lebih tinggi bahkan hingga perlindungan hukum dari upaya penegakan hukum.

Wilayah pengadaan barang dan jasa pemerintah (disingkat: PBJ) tidak dikategorikan sebagai sasaran para pemburu rente, karena bagi para pemburu rente, menjadi penyedia barang/jasa pemerintah adalah “recehan”. Pengadaan barang dan jasa adalah wilayah yang menjadi buruan oknum kepala daerah untuk memenuhi ketamakannya, yang tidak diambil para pemburu rente.

Buang Ketamakan, Persempit Kesempatan, Turunkan Kebutuhan, dan Perbanyak Pengungkapan Kasus (Bologna, G. Jack, et al., 1993) berpendapat bahwa fraud dan kejahatan komersial terjadi karena keserakahan (by greed), kesempatan (by opportunity), kebutuhan (by need), dan keterungkapan (by exposures).

Keserakahan adalah sinonim dari ketamakan. Dalam prakteknya di Indonesia khususnya di berbagai daerah, ketamakan lahir dalam jiwa, hati, dan pikiran para oknum pejabat khususnya oknum kepala daerah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sedangkan kesempatan lahir dari, salah satunya abainya masyarakat (civil society) untuk mengawasi, mengkritik, dan mencegah; ketiadaan/lemahnya perangkat pengawasan; mandulnya lembaga perwakilan; serta ketiadaan/lemahnya peran media/pers.

Kebutuhan lahir salah satunya adalah tingginya biaya politik akibat lemahnya integritas (dibaca: moralitas) masyarakat. Kemudian, rendahnya keterungkapan menjadi faktor yang mendorong maraknya praktek korupsi, salah satunya disebabkan oleh lemahnya (dibaca: tidak independennya) aparat penegak hukum.

Sudah menjadi rahasia umum, biaya politik yang ditanggung oleh para pemburu rente harus dikembalikan dengan sejumlah izin usaha yang berkaitan dengan faktor produksi sumber daya alam, seperti pertambangan.

Apabila kepala daerah tidak tamak, maka tidak akan mengambil semua recehan yang tidak diambil para pemburu rente seperti PBJ, jual beli jabatan, suap dan gratifikasi (hadiah), penggunaan fasilitas negara/daerah tanpa hak, serta mal-administrasi anggaran.

Kepala daerah yang tidak tamak akan memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan baik (good governance). Kepala daerah yang tidak tamak akan melakukan reformasi birokrasi dengan melakukan reformasi pada delapan area perubahan.

Kepala daerah yang tidak tamak akan merumuskan regulasi dan sistem yang transparan dan akuntabel, menguatkan lembaga pengawasan dan pengendalian, membangun tata kelola yang baik, meningkatkan kinerja pelayanan publik, mendisiplinkan aparatur birokrasi, meningkatkan efisiensi dan optimalisasi kinerja pemerintahan, serta memberi ruang partisipasi publik untuk mengawasi dan memberikan penilaian kinerja dan akuntabilitas.

Baca Halaman Selanjutnya..

Hanya sedikit kepala daerah yang suci dan bebas dari pemburu rente. Meskipun demikian, oknum kepala daerah yang berkolaborasi dengan pemburu rente hendaknya menunaikan komitmen dengan para pemburu rente secara elegan, yaitu tidak menabrak AMDAL, tidak merusak lingkungan ekologis, tidak menabrak hak ulayat (hak adat), tidak memunculkan konflik sosial-politik dan bahkan menyelesaikan konflik sosial-politik, serta tidak melanggar ketentuan hukum.

Pada dasarnya birokrasi (ASN daerah) akan selalu mematuhi apapun perintah dan sistem yang dibangun dan dijalankan, sehingga kunci perubahan ada pada manajemen puncak yaitu kepala daerah. Bagi ASN, sepanjang gaji pokoknya tidak dipotong;

Serta aturan ditegakkan secara transparan, akuntabel, dan objektif; ASN akan mematuhinya dengan sepenuh hati. Tentunya ASN yang tidak mampu beradaptasi pada pembenahan, melakukan tindakan indisipliner, atau tindakan koruptif, harus segera diamputasi dan diproses hukum semestinya. (*)

Exit mobile version