Site icon MalutPost.com

Demokrasi Nihil Oposisi : Otoritarianisme di Depan Mata

Oleh: Alman Fahri S. Saha
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair dan Anggota UKM Debat FH Unkhair)

Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak pasti akan disalahgunakan).

Adagium ini ditulis oleh Lord Acton pada tahun 1887 dan masih sangat relevan hingga sekarang. Sekilas, Lord Acton ingin mengingatkan bahwa orang yang mempunyai kekuasaan cenderung menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi dan golongan, bahkan melanggengkan posisinya.

Apabila seseorang memiliki kekuasaan mutlak dan tanpa kontrol yang efektif, maka potensi terjadinya perilaku korup dan pengabaian terhadap prinsip-prinsip moral dan etika akan semakin besar.

Hal inilah yang akan terjadi di negara kita, jika pemerintahan dijalankan oleh koalisi yang ‘gemuk’ tanpa oposisi signifikan. Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan mengajak semua partai bersama membangun Indonesia.

Kolaborasi, itulah kata-kata magisnya. Menurutnya, oposisi politik merupakan budaya barat. Oposisi dalam pemahamannya hanya akan memecah belah. Beliau menghimbau kepada pihak-pihak yang menolak bekerja sama untuk tidak mengganggu pemerintahannya.

Errare humanum est, trupe in errore preserverare (membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik mempertahankan terus kekeliruan tersebut). pernyataan presiden tersebut sekilas masuk akal, tapi secara inheren keliru dan bermasalah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sangat berbahaya jika menganggap Indonesia tidak perlu ada oposisi. demokrasi tanpa oposisi mungkin menikmati stabilitas sesaat, tetapi berisiko kehilangan esensi demokrasi itu sendiri dalam jangka panjang.

Garis Tipis Demokrasi dan Otoritarianisme

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Nirkritik Bukan Demokrasi”, beliau mengatakan bahwa demokrasi tanpa kritik patut dicurigai sebagai bukan demokrasi.

jikalau dalam sebuah negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi nihil oposisi, hati-hati! Itu merupakan indikasi bahwa ada disfungsi dan penyelewengan makna dalam sistem tersebut.

Ketiadaan oposisi dalam negara demokrasi akan melahirkan penguasa yang cenderung otoriter. Penguasa semacam ini akan selalu merasa besar kepala karena tidak ada pihak yang secara kritis mengoreksi kebijakannya.

Demokrasi tanpa oposisi hanya melahirkan kebijakan yang buruk. Tak ada perdebatan berkualitas dalam pembahasan setiap kebijakan pemerintah.

Pengalaman adalah pelajaran terbaik. Indonesia pada masa Orde Baru di bawah komando presiden Soeharto dengan otoritarianismenya cukup menjadi bukti.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sejak awal negara ini merdeka, Indonesia secara formil menganut sistem demokrasi, namun dalam implementasinya terkadang demokrasi hanyalah ilusi. Hal tersebut kental terasa pada rezim Soeharto.

Kekuasaan hanya tersentralisasi hanya pada partai-partai tertentu yang dikehendakinya (Golkar, PDI, PPP) yang menjadi penyelenggara pemerintahan dan membatasi eksistensi partai-partai lain yang ada pada masa itu.

Contoh terdekat, yakni pemerintahan Joko Widodo. Dengan tidak adanya oposisi yang efektif, banyak kekeliruan pemerintah yang didiamkan oleh para legislator, begitu pula sebaliknya.

Dengan dukungan DPR, pemerintah bebas menabrak sistem ketatanegaraan. Maka lahirlah undang-undang sarat masalah, seperti revisi UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, bahkan pembahasan Undang-Undang ‘semalam jadi’, seperti yang nyaris terjadi pada revisi UU Pilkada.

Dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, setidaknya ada beberapa indikasi yang kita rasakan. Misalnya, koalisi pemerintahan yang sangat besar, pengelolaan media yang cenderung terpusat, dan menguatnya militersime.

Selain itu, yang terbaru ialah wacana pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi ormas keagamaan dan perguruan tinggi yang patut diduga sebagai upaya mematikan nalar kritis guna meredam suara nyaring yang dapat mengganggu stabilitas rezim.

Baca Halaman Selanjutnya..

Tanpa pengawasan oposisi, pemerintahan Prabowo akan berlumur korupsi. Ketika para juragan partai sudah bersalaman, petugas partai hanya akan membeo.

Pragmatisme partai politik

Idealnya, demokrasi adalah sebuah sistem yang memungkinkan perbedaan pendapat, kontrol kekuasaan, dan keberagaman suara. Namun, ketika semua partai politik bersatu mendukung pemerintah tanpa adanya oposisi yang signifikan, kita hanya menikmati demokrasi yang prosedural, di mana elemen-elemen demokrasi (partai politik) tampak ada, namun esensinya telah hilang.

Berdasarkan pasal 10 angka 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik berfungsi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

Hal ini sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang mana rakyat telah memberikan suaranya kepada partai politik saat pemilu.

Namun, potret partai politik saat ini sangat miris. Pasca Pemilu, hampir seluruh partai yang kalah berbondong-bondong masuk ke dalam gerbong pemerintahan.

Sampai dengan hari ini, hanya partai PDI Perjuangan yang belum menentukan posisi politiknya. Tanpa PDI Perjuangan sekalipun, Koalisi Pemerintahan sudah sangat besar.

Partai yang kalah saat pemilu semestinya ‘gantle’ mengambil risiko berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi. Bukan malah bergabung dengan dengan pemerintahan dengan dalih rekonsiliasi. Sungguh, ini bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Partai politik yang kerap menyatakan diri ideologis seharusnya memiliki pendirian yang teguh, bukan mengikuti arus yang tidak selaras dengan suara konstituen dan ideologi partai itu sendiri.

Parpol yang memiliki kesamaan ideologi bisa membentuk koalisi untuk menguatkan daya tawar (bargaining position) kepada rezim yang berkuasa. pada akhirnya, semua partai punya satu ideologi yang sama, kekuasaan.

Partai Oposisi adalah Harapan

Keseimbangan dalam pemerintahan sangat penting, sebagaimana diungkapkan Aristoteles dalam bukunya berjudul politika. Demokrasi akan berjalan baik, jika fungsi kontrol dan penyeimbang (checks and balances) terhadap pemegang mandat kekuasaan berfungsi dengan baik.

Kekuasaan yang sehat adalah kekuasaan yang menawarkan, memelihara, dan menjamin hadirnya kelompok penyeimbang yang korektif dan konstruktif.

Memang, di negara yang menganut sistem presidensial seperti Indonesia tidak mengenal konsep oposisi. Namun, UUD NRI 1945 secara implisit memberikan dasar hukum yang kuat untuk kehadiran partai oposisi.

Hal itu dapat dilihat pada Bab VII tentang DPR, khususnya pasal 20A ayat (1) mengenai fungsi DPR sebagai pengawas roda pemerintahan. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pasal 28 UUD NRI 1945 yang menjamin kebebasan berbicara dan berekspresi, yang menjadi dasar bagi perbedaan pendapat dan oposisi politik.

Baca Halaman Selanjutnya..

Oposisi merupakan bagain fundamental dalam negara demokrasi. Keberadaannya tidak bisa ditawar. Poros oposisi dapat memainkan peran sebagai penyeimbang pemerintahan, mewakili kepentingan kelompok minoritas dan individu yang tidak setuju dengan partai penguasa.

Fungsi utama oposisi adalah untuk mengawasi pemerintah dengan mengkritisi kebijakan, mengungkap kekurangan, dan mengusulkan alternatif.

Proses ini akan melahirkan perdebatan publik yang dinamis dan sehat, mengutamakan transparansi, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Pada akhirnya, kita membutuhkan partai oposisi sebagai entitas yang mengawasi dan mengoreksi setiap penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan.

Adapun, jika pada akhirnya pemerintah tanpa oposisi ini terjadi, kita sebagai rakyat memerlukan antitesis dan oposisi alternatif atas hegemoni yang dilakukan, melalui pencerdasan ruang publik dengan terus menyuarakan kebenaran. Setidaknya kita telah berbuat, sebagai warga yang mencintai negaranya. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 18 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/selasa-18-februari-2025.html

Exit mobile version