Site icon MalutPost.com

Wajah Ganda Elit, Dubius, dan Rekam Jejak

Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)

“Kekuasaan tak pernah menjadi milik perorangan, ia senantiasa menjadi milik kelompok dan hanya bisa tegak selama orang-orang dalam kelompok bersangkutan menegakkannya secara bersama-sama.”
(Hannah Arendt, 1972:143).

Politik dan demokrasi, ternyata, hanyalah sebuah proses pengulangan yang dihadirkan dalam ruang-ruang berbeda. Walaupun disadari, antara politik dan demokrasi adalah “dua bidang” yang tidak sebangun dan tidak sama sisi. Dua wajah yang kontras.

Keduanya memiliki akar sejarah kelahiran yang saling kait-mengait dan mengunci dengan yang lain. Risalah pendek ini tidak ingin memasuki wilayah epistemologi dari dua wajah tersebut yang mampu menempatkan seseorang sebagai “tokoh”, “elit”, “pahlawan”, dan bahkan “pecundang”, “penipu” atau sebutan miring lainnya.

Risalah ini hanyalah “kepingan” soal-soal yang terseret pada segenggam fakta yang kita temukan dan mungkin dirasakan, terutama pada wilayah dua kata di atas : politik dan demokrasi.

Wilayah politik, memang tidak hanya membutuhkan “fulus” tebal, kelincahan lobby, lihay bersilat lidah, dan cerdas membangun komunikasi.

Lebih dari itu, wilayah ini, sebagaimana yang dirasakan dan disaksikan, merupakan “ranah” paling absah dan sangat dominan untuk bisa menghujat, menipu, melakukan kekerasan, dan merasa diri paling benar untuk melibas lawan-lawan.

Sementara pada sisi lain, yang ditampilkan adalah wajah “malaikat”, tanpa salah, tanpa cacat, penuh kesantunan dan kedermawanan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Tak jarang, kita menyaksikan politisi dan pejabat tampil dalam dua wajah : menakutkan sekaligus menyejukkan. Wajah politik, adalah wajah ganda penuh kontroversi.

Akan halnya demokrasi. Kata ini juga mengalami distorsi dan kerap menjadi “pentungan” ketika kita tak bisa lagi berkelit. Indikasi paling kentara, ketika kekuasaan mati-matian digenggam tak mau dilepaskan, lalu lawan-lawan politik (?) ditempatkan pada posisi sebagai orang yang tidak demokratis.

Dalam konteks ini, apa relevansi yang bisa ditangkap dari merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara tidak demokratis, lalu berkoar-koar menuntut demokrasi itu sendiri.

Alhasil, acapkali kita juga bersikap tidak demokratis, merebut dan mempertahankan mati-matian kekuasaan, atau menempuh cara-cara tidak beradab hanya untuk menjaga status quo yang ada.

Demokrasi menjadi tersandera, terperangkap pada sikap-sikap yang justru tidak demokratis, atau meminjam istilah Juan J. Linz, demokrasi kaum penjahat (Linz, 2001).

Berangkat dari paparan di atas, dengan merujuk pada analisis Klaus von Beyme, seorang ilmuwan politik Jerman (1934-2021), mengenai karakter gerakan politik identitas. Boleh jadi, kita masih termasuk dalam tipologi pramodern.

Tahap pramodern, menurut Beyme, ditandai dengan munculnya perpecahan fundamental, gerakan sosial politik secara menyeluruh dihadirkan kelompok-kelompok yang pada tahapan ini, para pemimpin memprakarsai mobilisasi secara ideologis, dengan tujuan perampasan dan perebutan kekuasaan dari satu penguasa ke penguasa yang baru.

Kita belum menyadari sungguh, untuk apa dan bagaimana kekuasaan itu dikelola. Kita memang belum terlalu paham untuk apa “politik kekuasaan” itu.

Baca Halaman Selanjutnya..

Apa memang semata-mata untuk “kebutuhan” pribadi sang elit? Ataukah? Lantas mengapa kita habis-habisan merebut, pertahankan dan akhirnya menjadi gila dan mati karena kekuasaan.

Paranoid, alienasi, trauma dan akhirnya depresi, adalah fenomena kuat di kalangan elit yang tidak lagi berkuasa. Kemana modal sosial politik ketika kekuasaan itu kita genggam.

Kekuasaan memang melenakan, dan membuat kita lupa untuk turun ketika berada di puncak. Kekuasaan adalah kegilaan sekaligus kematian.

Yang justru kita abaikan dalam setiap momen perebutan kuasa adalah melakukan rekam jejak sang elit atau mereka yang berkuasa, atau yang akan berkuasa.

Rekam jejak menjadi penting untuk mengetahui apakah sang elit/aktor masih pantas untuk dipilih? Bagaimana selama kepemimpinannya, adakah yang telah diperbuat? Ataukah hanya menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan sebagainya.

Rekam jejak ini harus dicatat dan ditagih dengan serius, karena setiap elit, apalagi yang bersinggungan dengan publik, sekecil apapun yang diperbuatnya, harus diketahui publik.

Publik bukanlah domain kaku. Publik menurut Jurgen Habermas (1991) adalah suatu sistem yang menyediakan ruang otoritas. Elit yang mau diakui, dihargai, dihormati, dilayani bak raja, harus melalui otoritas ruang publik ini. Dengan begitu, elit yang hendak berkuasa (termasuk yang mau lagi berkuasa), harus siap di rekam jejaknya oleh publik.

Penerimaan publik merupakan jembatan antara kepentingan publik dan kepentingan sistem kekuasaan (termasuk pelanggengan kekuasaan) yang di dalamnya terjadi pertarungan hegemoni habis-habisan, dan hanya publik yang tercerahkan dan cerdas yang dapat mencari solusi terbaik dari pertarungan hegemoni tersebut.

Baca Halaman Selanjutnya..

Namun, acapkali publik pun dimobilisir, dijadikan broker dan mendukung sikap-sikap dan pandangan politik yang keliru, termasuk menampilkan puspa ragam peran pura-pura dan munafik dalam setiap babak dramaturgi politik elit.

Kekuasaan mestinya menjadi modal sosial meminjam ungkapan R.D. Putnam (2001) yang di dalamnya terjaga hubungan antar individu-individu, jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya yang tumbuh di antara mereka.

Untuk menjaga modal sosial politik itu, maka tidak ada jalan lain, rekam jejak harus jadi ukuran, agar kesalahan, kekeliruan dan ketidak-mampuan elit dalam mengelola kekuasaan tidak jatuh dalam lubang untuk kedua-kalinya.

Setiap elit atau aktor yang berkuasa harus disadarkan atas kekeliruannya, agar publik tidak terperosok pada labirin persoalan yang sama dengan elit atau sang aktor yang berkuasa.

Kekuasaan juga, sebagaimana Hannah Arendt dalam kutipan pembuka di awal tulisan ini, harus dikelola untuk kebaikan bagi semua. Bukan untuk pribadi.

Persoalannya, sudahkah rekam jejak setiap elit yang berkuasa, ataukah mereka yang merasa diri elit, entah di birokrasi, institusi kemasyarakatan (ormas), partai politik, bahkan sampai institusi terkecil, yang akan berkuasa.

Sudahkah kita merinci secara detail keberadaannya? Jangan-jangan demokrasi yang kita usung dan teriakkan hanyalah bagian dari pentas muslihat kita. Bukankah politik adalah sebuah permainan ketidak-mungkinan?

Bila rekam jejak yang tanpa warna, tanpa meninggalkan legacy yang baik, hanya mengisi angan-angan, fantasi, dan fanatisme buta dukungan, maka patutlah elit yang akan berkuasa patut kita ragukan (dubius) kapasitas dan komitmennya. Wallahu’alam. (*)

Exit mobile version