Site icon MalutPost.com

Kepala Daerah Terpilih Harus Tahu! Quo Vadis APBD

Oleh: Werdha Candratrilaksita, S.E,. M.A.P.
(Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro)

Tingkat kemandirian pemerintah daerah di Maluku Utara secara agregat (gabungan seluruh Pemda) terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tingkat kemandirian yang dihitung berdasarkan persentase pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja daerah dicatat dengan angka 8,74% pada tahun 2018; 9,45% pada tahun 2019; 9,89% pada tahun 2020; 10,65% pada tahun 2021; 12,11% pada tahun 2022; dan 13,26% pada tahun 2023.

Hal tersebut secara contrario juga berarti tingkat ketergantungan pemerintah daerah di Maluku Utara kepada Pemerintah Pusat makin menurun.

Meskipun tingkat kemandirian terus meningkat dan terakhir pada tahun 2023 dengan angka 13,26%, belum cukup untuk dikatakan “mandiri”.

Angka itu berarti 11 Pemda di Maluku Utara masih tergantung dengan kucuran dana dari Pemerintah Pusat yang disalurkan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sebesar 86,74% terhadap belanja daerah.

Dalam enam tahun terakhir sejak 2018-2023, Maluku Utara telah menerima dana transfer dari pemerintah pusat sebesar Rp65,9 triliun, dengan rincian Pemprov mendapat Rp13,4 triliun, Kota Ternate Rp5,1 triliun, Kota Tikep Rp5,1 triliun, Halsel Rp8,7 triliun, Halteng Rp5,2 triliun, Halut Rp5,6 triliun, Halbar Rp4,98 triliun, Haltim Rp5,3 triliun, Kep Sula Rp4,5 triliun, Pulau Morotai Rp4,4 triliun, dan Taliabu Rp3,64 triliun. Untuk menghitung rata-rata per tahun, angka tersebut dibagi enam.

Baca Halaman Selanjutnya..

Total PAD dalam enam tahun (2018-2023) sebesar Rp7,04 triliun, dengan rincian Pemprov Rp3,4 triliun, Kota Ternate Rp567,5 miliar, Kota Tikep Rp389,3 miliar, Halsel Rp567,9 miliar, Halteng Rp541,6 miliar, Halut Rp647,7 miliar, Halbar Rp203,6 miliar, Haltim Rp336,4 miliar, Kep Sula Rp145,03 miliar, Pulau Morotai Rp175,3 miliar, dan Pulau Taliabu Rp87,05 miliar. Untuk menghitung rata-rata per tahun, angka tersebut dibagi enam.

Total belanja daerah selama enam tahun (2018-2023) sebesar Rp65,06 triliun. Civil society dapat memantau menjadi apa saja dana sebesar itu.

Setidaknya apa saja pelayanan terbaik yang telah diberikan Pemda kepada Masyarakat Maluku Utara. Hanya 13,36% yang benar-benar dirasakan masyarakat secara langsung, yang terdiri dari belanja subsidi hanya 0,05%; belanja bantuan sosial hanya 0,66%; dan belanja jalan, irigasi, dan jaringan 12,65%.

Belanja modal selain jalan, irigasi, dan jaringan tidak diyakini dirasakan langsung oleh masyakarat karena sebagian besar belanja tanah, gedung dan bangunan, serta peralatan dan mesin hanya membangun fasilitas perkantoran dan pelayanan internal aparatur pemerintah daerah.

Sebagian belanja modal untuk aset tetap digunakan untuk membangun properti investasi, namun hal itu tidak dapat dikatakan untuk keperluan pelayanan, karena pendekatannya adalah return on investment. Masyarakat justru membayar untuk memanfaatkan fasilitas properti investasi tersebut.

Oleh karena itu, kesadaran seluruh Kada dan ASN (PNS dan PPPK/Non-PNS) Pemda pada pembentukan “budaya melayani”, “sikap ramah kepada warga”, dan “gerak cepat pada kedaruratan” harus dilembagakan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Mereka harus sadar bahwa uang yang diperoleh dari Pemerintah Pusat dan PAD itu sebagian besar (86,64%) digunakan untuk menggaji (belanja pegawai) dan membiayai kerja Kada dan ASN Pemda. (belanja operasional, belanja perkantoran, barang ATK, mesin dan peralatan kantor, Gedung perkantoran, dsb).

Dalam terminologi ekonomi publik disebut belanja konsumtif pemerintah, dan dalam terminologi ekonomi makro disebut pengeluaran pemerintah untuk mendorong daya beli (purchasing power parity).

Gaji yang diperoleh oleh ASN Pemda digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan membeli barang/jasa pelaku usaha. Dengan gaji ASN, daya beli naik maka output produksi akan terserap.

Kurva demand akan tergeser ke kanan, sehingga ekuilibrium baru dengan harga dan quantitas produksi yang meningkat. Hal itu akan memotivasi tabungan (saving) menjadi investasi.

Apakah kita akan stagnan pada kebijakan fiskal incremental itu? Jika hanya incremental, maka tidak diperlukan inovasi, tidak diperlukan upaya untuk meningkatkan kemandirian dan membesarkan kapasitas fiskal daerah.

Seharusnya Pemda menjadi agen utama pertumbuhan dari segi investasi (I), bukan hanya pertumbuhan pengeluaran pemerintah (G) dan konsumsi (C).

Lantas, bagaimana caranya? Terdapat dua skema yang dapat dilakukan, yaitu: 1) menekan agar nilai COR di Maluku Utara lebih rendah dengan menurunkan PAD non pertambangan, 2) mengalokasikan lebih banyak belanja produktif (belanja modal non aset perkantoran dan pengeluaran pembiayaan berupa investasi pemda).

Baca Halaman Selanjutnya..

Jika Pemda akan menghindarkan terjadinya ekonomi biaya tinggi (tingginya Capital-Output Ratio/COR) yang melesukan produktivitas dunia usaha, maka jangan terlalu menggenjot PAD (local taxing power).

Untuk PAD sektor pertambangan tidak lagi kita hitung ulang karena sudah dapat dipastikan dari keberadaan Proyek Stategis Nasional (PSN) Nikel Weda dan Pulau Obi, dan tambang emas Halut dan bijih besi Pulau Taliabu, maka Pemda harus fokus pada bagaimana menghitung nilai ekonomis pada PAD non pertambangan, agar tidak memberatkan para pelaku usaha (investor).

Kemudian, kebijakan alokasi (anggaran) yang rasional harus dilakukan. Alokasi yang rasional adalah cateris paribus agar keleluasaan alokasi pada program produktif (belanja modal non aset perkantoran dan pengeluaran pembiayaan berupa investasi pemda) yang diharapkan memberikan dampak berganda (multiplier) pada nilai tambah/perekonomian dapat diperbesar.

Alokasi anggaran pada belanja konsumtif harus dilakukan secara prudent dengan menghitung skenario optimalisasi dan efisiensinya. Belanja konsumtif seperti belanja pegawai dan belanja barang sebenarnya masih diperlukan untuk mendorong daya beli dan pengeluaran rumah tangga pada PDRB Maluku Utara. Namun, alokasinya harus dihitung secara cermat.

Belanja modal pun seyogyanya dikurangi, kecuali belanja modal untuk membangun Properti investasi. Sedangkan aset tetap seperti Gedung dan bangunan yang dibangun hanya untuk kemewahan dan kemegahan perkantoran seyogyanya dikurangi, kecuali Gedung dan bangunan yang digunakan untuk pelayanan umum seperti rumah sakit dan sekolah.
(Sumber data: LKPD Audited 11 Pemda di Malut dari tahun 2018 s.d. 2023). (*)

Exit mobile version