Oleh: Werdha Candratrilaksita, S.E,. M.A.P.
(Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro)
Gubernur baru adalah asa baru bagi Maluku Utara. Meskipun masih satu bulan hingga 7 Februari 2025, kita menanti pelantikan Gubernur baru, kritik dan saran harus mulai disuarakan oleh civil society. Setidaknya menjadi early warning atau watchdog dalam masa transisi ini.
Episentrum otonomi yang berada pada Bupati/Walikota akan menjadi tantangan utama. Keterbatasan kewenangan dan wewenang pemerintah provinsi menjadi kendala yang harus disikapi dengan cerdas dan baik, dalam hubungannya dengan pemerintah kabupaten/kota.
Kita berharap seluruh Bupati/Walikota pada Pemerintah Kabupaten/Kota juga seirama untuk membangun Maluku Utara lebih baik, masyarakat lebih sejahtera, dan bebas dari korupsi. Terdapat tiga aspek utama yang harus menjadi prioritas sebelum ke aspek lainnya, yaitu aspek birokrasi, keuangan, dan ekonomi.
Permasalahan ketiga aspek tersebut tidak hanya terjadi pada Pemprov Maluku Utara, juga terjadi pada sebagian besar Pemda Kabupaten/Kota di Maluku Utara. Namun, dalam opini kali ini, saya ulas kondisi Quo Vadis yang terjadi pada Pemprov Maluku Utara.
Pertama: Birokrasi
Kasus mantan Gubernur Maluku Utara, yang telah divonis 8 tahun penjara mengindikasikan birokrasi yang harus dibenahi oleh Gubernur baru nantinya. Gubernur nantinya harus melakukan scanning dan screening terlebih dahulu sebelum mempertahankan atau mengamputasi organisasi dan personalia apparatus yang ada (status quo).
Membenahi birokrasi dimulai dari membangun dan menerapkan merit sistem serta sistem pengendalian yang andal. Merit sistem pada prinsipnya menerapkan pembinaan aparatur berdasar kompetensi dan prestasi/kinerja/target, nondiskriminatif, profesional, dan adil.
Sistem pengendalian yang andal tidak hanya mengandalkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang mana seringkali hanya melakukan pekerjaan formalitas uji petik, namun juga harus membangun sistem pengendalian berbasis partisipasi publik, seperti wistleblower, watchdog, dan citizen journalist.
Baca Halaman Selanjutnya..
Gubernur juga dapat membangun atau mempekerjakan tim pengawasan incognito sebagai second-hand controlling. APIP adalah unit pertama yang di-scanning & screening, untuk menciptakan fungsi monitoring dan mitigasi yang optimal, agar kejadian serupa dapat dihindari di masa depan.
Setelah melakukan scanning & screening birokrasi, maka langkah selanjutnya melakukan reposisi/mutasi aparatur yang masih baik, serta mencari jalan untuk melakukan amputasi (membebas tugaskan/non-job) aparatur yang terindikasi tidak disiplin, tidak kompeten, atau tidak berkinerja baik.
Kekosongan jabatan sebagai akibat amputasi yang diterapkan, diatasi dengan membuka seleksi jabatan secara open bidding, yang memungkinkan masuknya agen-agen perbaikan sebagai “virus baik” yang diinjeksi untuk mengimunisasi tata kelola birokrasi.
Selanjutnya melakukan reviu semua proses bisnis (SOP) pada semua OPD/SKPD. Gubernur harus memastikan seluruh prosedur pelaksanaan kewenangan dan pelaksanaan tusi setiap OPD/SKPD telah ditetapkan dalam suatu surat keputusan Gubernur (beschikking) dan terdokumentasi secara tertib.
Prosedur pelaksanaan kewenangan dan pelaksanaan tusi harus disusun dan ditetapkan dengan mengacu pada ketentuan yuridis (Perundang-undangan). Bisa jadi ketiadaan prosedur mampu menjerumuskan Gubernur dan pimpinan OPD/SKPD pada pelanggaran hukum, karena prosedur menjadi early warning system terjadinya pelanggaran yuridis.
Pelanggaran prosedur dapat menjadi indikasi pelangggaran ketentuan yuridis. Dengan prosedur, Gubernur juga akan cepat dan mudah membuat keputusan kebijakan.
Digitalisasi juga menjadi jargon yang perlu digalakkan dan diimplementasikan dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi birokrasi. Setidaknya dimulai dari proses bisnis pengelolaan keuangan dan pelayanan perizinan. Digitalisasi mereduksi celah-celah pelanggaran yang kolutif dan koruptif.
Baca Halaman Selanjutnya..
Digitalisasi dibangun secara professional, tidak hanya berhenti pada jargon belaka, namun dibangun dengan Sistem infomasi terintegrasi, database yang handal, dibalut manajemen sistem keamanan informasi yang memadai, serta dioperasikan oleh sumber daya manusia yang berintegritas dan berkompeten.
Salah satu langkap aplikatif untuk memberikan assurance bahwa reformasi birokrasi telah diimplementansikan adalah mengikutsertakan seluruh OPD/SKPD Pemprov Maluku Utara pada program Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang disupervisi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dengan keikutsertaan pada program tersebut, setidaknya Gubernur baru nantinya dapat memastikan seluruh area reformasi birokrasi telah dilaksanakan dengan baik.
Last but not least, reformasi birokrasi harus menyeluruh pada delapan area, yaitu manajemen perubahan, penguatan kelembagaan, penguatan tata laksana, penguatan peraturan perundang-undangan, penguatan sistem manajemen sumber daya manusia aparatur, penguatan sistem pengawasan, penguatan akuntabilitas kerja, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Kedua: Keuangan
Utang Pemprov Maluku Utara adalah tantangan yang harus dihadapi. Berdasarkan data LKPD Audited Pemprov Maluku Utara, Utang jangka pendek mendominasi total Utang, yaitu;
sebesar Rp90,7 miliar atau 66,3% dari total Utang pada tahun 2018; seluruh utang sebesar Rp106,4 miliar pada tahun 2019 adalah utang jangka pendek; Rp178,8 miliar atau 79,6% pada tahun 2020; Rp268,7 miliar atau 66,1% pada tahun 2021; Rp715,1 miliar atau 75,6% pada tahun 2022; dan terbesar pada tahun 2023 sebesar Rp1,5 triliun atau 95,5% dari total Utang.
Sebagian besar Utang Jangka Pendek berupa Utang Belanja, yaitu sebesar 99,9% pada tahun 2018; 80,8% pada tahun 2019; 55,6% pada tahun 2020; 67,3% pada tahun 2021; 83,5% pada tahun 2022; dan 92,9% atau senilai Rp1,39 triliun pada tahun 2023. Pertumbuhan utang belanja mencapai puncak pada tahun 2022 tumbuh 229,9% terhadap posisi utang belanja tahun 2021.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pada tahun 2023, utang belanja tumbuh 134,1% terhadap tahun 2022. Sedangkan data tahun 2024 masih belum disajikan, karena masih menunggu hasil audit BPK.
Utang Belanja pada pemerintah daerah adalah kewajiban yang timbul berasal dari tagihan atau hak tagih yang belum dibayarkan hingga akhir periode pelaporan, dan berasal dari komitmen atas beban anggaran belanja pemerintah daerah.
Beberapa waktu lalu (awal tahun 2024), kita disajikan berita dari berbagai media massa tentang banyaknya rekanan pemerintah provinsi Maluku Utara yang mengeluhkan belum dibayarnya tagihan pembayaran atas prestasi pekerjaan yang telah dilakukan oleh rekanan. Hal tersebut dapat disebabkan, antara lain:
1). Overestimate target pendapatan yang ditetapkan, namun realisasi pendapatan di bawah target. Sedangkan pagu/plafon belanja daerah yang didasarkan pada target pendapatan tetap direalisasikan;
2). Kurangnya akurasi perhitungan substantif atas kontrak, prestasi pekerjaan, perhitungan pajak dan potongan lainnya, dan kebenaran tagihan oleh pejabat pembuat komitmen yang berimplikasi pada kekurangan pembayaran kepada pihak ketiga/ yang berhak menerima pembayaran.
Atas masalah tersebut, Pemprov Maluku Utara khususnya Gubernur baru nantinya disarankan melakukan beberapa skema, antara lain:
1). Skema rasionalisasi target penerimaan/pendapatan pada APBD:
a. Merasionalisasi target penerimaan/ pendapatan daerah dengan pendekatan pengakuan dan pengukuran secara hati-hati (skeptisisme) atas potensi penerimaan/pendapatan. Khususnya target pendapatan Dana Bagi Hasil, Dana Insentif Daerah, dan PAD yang tidak dapat dipastikan sejak awal tahun anggaran.
b. Rasionalisasi target penerimaan/ pendapatan daerah diikuti rasionalisasi pagu/plafon alokasi pengeluaran/belanja daerah.
c. Rasionalisasi dilakukan pada APBD awal maupun APBD-P.
2). Skema pengendalian pengeluaran/ belanja dengan model maksimum pencairan. Hal yang sama diterapkan pada pelaksanaan anggaran di ranah APBN dengan misalnya model MP-PNBP.
Baca Halaman Selanjutnya..
3). Skema penerapan kodefikasi (kode) sumber dana berdasar kelompok penerimaan/ pendapatan daerah sebagai dasar pengeluaran/belanja, di mana dalam dokumen pelaksanaan anggaran, setiap pengeluaran/belanja telah diikat pada sumber dana tertentu, dan ditetapkan persyaratan sebelum dapat membebankan pada pagu pengeluaran/ belanja pada setiap sumber dana.
Sebagai contoh: a) pagu belanja dari sumber dana dari DAU, hanya dapat direalisasikan maksimal seperduabelas dari target DAU setiap bulannya, b) pagu belanja dari sumber dana DBH hanya dapat direalisasikan sebesar DBH yang diterima di kas daerah, dan sebagainya.
Besarnya Utang Belanja menjadi tantangan bagi Gubernur baru nantinya. bukan hanya tantangan untuk mencari jalan keluar melunasinya, melainkan juga harus menghadapi banyaknya tugas-tugas terusan dari Pemerintah Pusat, seperti pemberian makanan bergizi, pengentasan stunting, dan lain-lain.
Lantas, bagaimana melunasi utang belanja yang besar? Dengan rasio lancar/current ratio sebesar 0,24 pada akhir tahun 2023, diperlukan effort yang luar biasa dari Pemprov Maluku Utara melunasi utang jangka pendek dalam waktu satu tahun anggaran.
Apalagi jika menilik lebih dalam pada rasio likuiditasnya pada akhir tahun 2023 yang hanya sebesar 0,02 yang dapat dikatakan bahwa Pemprov hanya mampu melunasi sebesar 2% utang jangka pendeknya dengan kas dan setara kas yang tersedia.
Pemprov mungkin dapat mengajukan usulan penjadwalan pembayaran pelunasan utang melebihi satu tahun anggaran (rescheduling). Selain tentunya upaya meningkatkan PAD dan mengefisienkan belanja daerah.
Pola pikir incremental menjadi penting untuk ditinggalkan dalam kebijakan pengalokasian pendapatan dan belanjanya, supaya terjadi akselerasi penyelesaian utang dalam waktu lebih singkat.
Pemprov harus melakukan langkah revolusioner dengan melakukan penghematan belanja besar-besaran pada belanja non operasional. Belanja operasional khususnya belanja perjalanan dinas pun harus dihemat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dari sisi pendapatan, upaya meningkatkan PAD dilakukan dengan penegakan hukum seperti penagihan piutang pajak, ekstensifikasi atau perluasan wajib pajak, intensifikasi atau perluasan objek pajak, dan penerapan sistem informasi.
Seiring upaya pemprov memacu pertumbuhan ekonomi pada sektor riil dengan kebijakan kolaboratif, maka PAD pun akan meningkat.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara perlu menentukan skala prioritas dan efisiensi alokasi anggaran. Belanja perjalanan dinas (perjadin) masih relatif besar, dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh.
Seyogyanya, PAD dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan umum dan peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur layanan. Pada tahun 2018, perjadin sebesar Rp147,5 miliar, tahun 2019 sebesar Rp227,2 miliar, tahun 2020 sebesar Rp177,8 miliar, tahun 2021 sebesar Rp166,1 miliar, tahun 2022 sebesar Rp274,4 miliar, dan tahun 2023 sebesar Rp251,5 miliar.
Efisiensi perjadin dan kebijakan alokasinya yang terbatas tentunya akan meningkatkan optimalisasi alokasi pada pos-pos belanja lainnya yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat, seperti pos bantuan sosial, perbaikan gizi masyarakat, peningkatan fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum-fasos), bahkan penyertaan modal daerah untuk memberikan efek multiplier pada perekonomian.
Gubernur terpilih, setelah dilantik, tentunya akan menfokuskan penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Sinergi dan kolaborasi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Utara harus ditingkatkan.
Hubungan yang baik tersebut berguna untuk harmonisasi proses perencanaan anggaran dimulai dari Musrenbang. Selain itu, pelibatan semua pihak pada Musrenbang diperlukan untuk terwujudnya dokumen perencanaan Pembangunan yang objektif.
Pelibatan tersebut hendaknya tidak sebatas formalitas saja, namun substansinya adalah partisipasi aktif semua pihak khususnya lembaga think tank yang independen untuk memberikan masukan aristokratis pada Pembangunan di Maluku Utara.
Baca Halaman Selanjutnya..
Semua pihak yang bersifat independent, imparsial, bebas kepentingan pragmatis, serta objektif keilmuan dalam memberikan masukan dan rancangan aristokratis mesti dilibatkan.
Sehingga pendekatan Scientific-Based Policy senantiasa menjadi budaya perencanaan dan perumusan kebijakan di Maluku Utara, juga potensi terjadinya mis-manajemen karena perencanaan yang kurang akurat dapat direduksi.
Gubernur nantinya mesti bergandengan tangan dengan semua satuan kerja/instansi vertikal pemerintah pusat yang ada di daerah. Pelibatan semua pihak dalam rancangan aristokratis tidak berhenti di Musrenbang, namun berkelanjutan setiap tahunnya dalam penyusunan rencana kerja/anggaran dan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
Meskipun secara trend mengalami penurunan, ketergantungan Pemprov Maluku Utara pada pendapatan transfer (dana perimbangan) dari Pemerintah Pusat masih relatif tinggi.
Pada tahun 2018 pendapatan transfer sebesar Rp2,1 triliun atau 84,4% dari total pendapatan sebesar Rp2,5 triliun.
Tahun 2019 sebesar Rp2,2 triliun atau 82,4%, dari total pendapatan Rp2,7 triliun.
Tahun 2020 sebesar Rp2,1 triliun atau 81,9% dari total pendapatan sebesar Rp2,6 triliun.
Tahun 2021 sebesar Rp2,3 trilun atau 80,8% dari total pendapatan sebesar Rp2,8 triliun.
Tahun 2022 sebesar Rp2,3 triliun atau 74,8% dari total pendapatan sebesar Rp3,08 triliun dan
tahun 2023 sebesar Rp2,33 triliun atau 74,3% dari total pendapatan sebesar Rp3,13 triliun.
Prestasi ini tentu saja harus mampu dilanjutkan oleh Gubernur berikutnya, bahkan harus mampu diakselerasi capaiannya.
Ketergantungan pada pendapatan transfer harus dikelola dengan mencari sumber-sumber PAD baik melalui penegakan hukum dengan penagihan piutang pajak, program ekstensifikasi, maupun intensifikasi dalam kerangka meningkatkan local taxing power.
Namun, upaya peningkatan PAD dimaksud harus memperhitungkan dampak peningkatan biaya ekonomi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Ekonomi biaya tinggi berpotensi menurunkan semangat investor (para pelaku usaha) dalam meningkatkan produktivitasnya.
Instrumen penyertaan modal daerah dengan didahului penyehatan badan usaha milik daerah (BUMD) dapat menjadi alternatif kebijakan peningkatan PAD dalam jangka menengah/panjang.
Skema penyertaan modal daerah (PMD) dan penyehatan manajemen BUMD akan memberi dampak peningkatan pendapatan deviden pada jangka menengah/panjang.
Bersambung… *)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 14 Januari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/01/selasa-14-januari-2025.html