Site icon MalutPost.com

Kebijakan “Patah-patah”

Oleh: Fadli Ilham
(Koord I Forum Komunikasi Pemuda (FKP) Maluku Utara)

Political Will dalam lingkup pemerintahan merupakan pangkal kebijakan untuk menentukan nasib hidup masyarakat. Menelisik rentetan persoalan di Provinsi Maluku Utara (Malut) dari praktik korupsi, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, disparitas Infrastruktur dan pelayanan publik, lemahnya kualitas pendidikan hingga terbatasnya akses kesehatan tidak terlepas dari kebijakan yang ugal-ugalan.

Masalah yang kompleks seperti ini seringkali memicu dan menimbulkan reaksi yang tidak kondusif ditengah masyarakat. Munculnya pertengkaran hingga merosot pada perpecahan akibat tekanan dan beban hidup masyarakat yang tidak mampu diintervensi atau diakomodir oleh pemangku kebijakan.

Prof Yudi Latif, salah satu Tokoh Bangsa yang terkenal dengan bukunya tentang Negara Paripurna pernah mengingatkan bahwa “Tata kelola kebijakan itu bukan justru menimbulkan perpecahan, namun untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih baik”.

Dengan demikian, muara daripada keadilan bukanlah seperti menunggu keajaiban jatuh dari langit, tapi dengan kesadaran yang bertumbuh pada ketepatan dan kualitas kebijakan.

Sejalan dengan potret ketimpangan selama ini di lingkup Provinsi Maluku Utara. Melalui kebijakan “Patah-patah” alias kebijakan yang mematahkan dan menghancurkan masa depan Maluku Utara. Telah menyebabkan provinsi dengan julukan negeri rempah-rempah itu merangkak dalam berbagai aspek.

Tumpuan kebijakan yang harusnya steril dengan integritasnya dari internal lingkup Pemerintahan, tapi justru menjadi ladang jual beli jabatan. Kasus yang menyeret Mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba alias AGK menunjukkan betapa rapuhnya moral pemangku kebijakan.

Kebijakan yang tidak didasari dengan mempertimbangkan asas keadilan dan substansi manfaat hanya menimbulkan hasrat dan rakus akan kepentingan terselubung. Disisi lain kekuatan pengawasan dari lembaga legislatif yang tidak kritis membuat pemangku kebijakan merasa tidak disorot, justru mempunyai celah menyalahgunakan kekuasaannya.

Padahal legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai tiga fungsi formal salah satunya pengawasan. Lembaga yang merepresentasikan rakyat dengan segmentasinya di masing-masing komisi harusnya memiliki kecendrungan untuk menduga setiap praktik kebijakan yang dilakukan eksekutif.

Dari aspek ini yang tampak masih melemahkan tata kelola pemerintahannya berjalan semestinya. Contoh kasus korupsi yang menyeret AGK dengan kebijakan yang tumpang tindih merupakan bukti riil yang tidak bisa dipandang secara parsial.

Fungsi DPRD harus dipertanyakan agar kekhawatiran adanya praktik “main mata” antara legislatif dan eksekutif dapat dihindari. Sehingga masyarakat tidak menjadi korban akibat persengkokolan kebijakan “Patah-patah” tersebut.

Baca Halaman Selanjutnya..

Disisi lain, fungsi pengontrolan dari civil society tidak terkonsolidasi dengan baik. Padahal, peran masyarakat dalam kebijakan publik di Provinsi Maluku Utara sangat diperhitungkan untuk memastikan Political Will berorientasi pada kepentingan masyarakat. Lemahnya kesadaran kolektif masyarakat untuk mengontrol kebijakan pemerintah akan semakin memperlebar praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Asumsi ini sejalan dengan pandangan Prof. Mahfud MD. “Kita perlu kesadaran kolektif, yang harus membangun kesadaran itu adalah rakyat sehingga pejabat-pejabat yang dipilih rakyat itu, orang yang bisa dipertanggungjawabkan”.

Pandangan ini harus dibangun dengan kesadaran bahwa masyarakat mempunyai tanggungjawab moral untuk terus merongrong praktik kekuasaan yang semenah-menah. Ketiadaan civil society dalam ruang kebijakan publik menunjukkan kehampaan dalam Keakraban demokrasi.

Salah satu contoh kasus yang baru-baru ini menyita perhatian publik. Seperti wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang ramai digulirkan pada akhir tahun 2024. Dengan gelombang perlawanan masyakarat yang terus didengungkan mampu menggugurkan beban pajak dan hanya dibebankan untuk barang mewah.

Kekuatan civil society dari kelompok mahasiswa, pergerakan pemuda hingga akademisi ramai-ramai mengkritisi kebijakan kenaikan PPN. Suasana seperti ini merupakan akumulasi kesadaran kolektif yang perlu terkonsolidasi. Guna melakukan pencekalan atas kebijakan yang menimbulkan keretakan sosial ekonomi ditengah masyarakat.

Sepanjang 2024, masalah yang muncul di lingkup Pemprov Maluku Utara seperti utang pihak ketiga, utang dana bagi hasil (DBH), tunggakan gaji pegawai, praktik jual beli jabatan, lolosnya penetapan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) tanpa prosedur.

Hingga pembangunan gedung-gedung perkantoran di ibu kota Sofifi tanpa penghuni dan persoalan lainnya. Ini harus dipandang satu sisi karena lemahnya pengawasan dan pengontrolan.

Urgensi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebab, nasib hidup dan masa depan masyakarat di Maluku Utara bergantung pada setiap pemangku kebijakan.

Awal 2025, sebagai refleksi untuk memotret ketimpangan masa lalu tidak terjadi lagi di tahun ini. Kehadiran pemerintah melalui pemangku kebijakan diharapkan mampu menjamin arah kemajuan pembangunan daerah dan memastikan keadilan ditengah masyarakat.

Olehnya itu, kesadaran dan pentingnya memastikan Political Wil bermuara pada kehendak masyarakat merupakan keniscayaan di alam demokrasi. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 06 Januari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/01/senin-6-januari-2025.html

Exit mobile version