Oleh: Usman Muhammad
(Imam Besar Masjid Agung Al-Munawwar Kota Ternate)
Meninggalkan bahkan menjauhkan diri dari hal-hal atau perbuatan maupun perkataan yang sia-sia (tidak berguna), adalah salah satu sifat dan karakter dari orang-orang yang beriman.
Hal itu dilakukan karena memang orang yang betul-betul beriman selalu mengharapkan ridha Allah SWT, dalam setiap sikap dan perbuatannya. Karena setiap perbuatan sia-sia apapun bentuknya tidak akan diridhai oleh Allah SWT, dan bukan yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam.
Allah SWT, tegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Mukminun ayat 3: “Walladziinahum ‘anillaghwi mu’ridhuun.” Artinya: “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Qs. Al-Mukminun: 3).
Dalam Tafsir Al-Azhar Prof. Dr. Buya Hamka menjelaskan, kata “Al-Laghwi” dari kata, “Laghaa”, artinya perbuatan atapun kata-kata yang tidak ada faedahnya, tidak ada gunanya, tidak ada nilainya. Baik senda-gurau atau main-main yang tak ada ujung pangkalnya.
Kalau seseorang dalam hidup dan kehidupan ini selalu menyibukkan diri dengan perbuatan maupun pembicaraan yang percuma ataupun yang tidak ada manfaatnya, baik untuk diri, keluarga, agama, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Itu menunjukkan pribadinya memang bernilai sangat rendah, karena nikmat yang diberikan Allah SWT, berupa waktu yang panjang kepadanya namun hanya dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal yang tidak ada manfaatnya, maka sangat merugilah mereka.
Peringatan Allah SWT, dalam Al-Qur’an berikut ini perlu kita jadikan sebagai pedoman dalam menata hidup ini: “Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan-kebaikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Qs. Al-Asr: 1-3).
Baca Halaman Selanjutnya..
M. Quraish-Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah Volume 15 halaman 497 menjelaskan: “Pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata ‘ashr, bukan selainnya untuk mengatakan bahwa: Demi waktu (masa) di mana manusia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apapun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh.
Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. Itulah agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata ‘ashr untuk menunjuk kepada waktu secara umum.
Allah SWT, sampai bersumpah dengan waktu, agar kita sebagai hamba-Nya mengetahui nilainya, dan agar kita memeliharanya serta agar kita secara bijak menggunakan waktu yang diberikan kepada kita untuk hal-hal kebaikan dan menghindari untuk mempergunakan waktu itu kepada hal-hal yang sia-sia atau tidak ada manfaatnya.
Usia yang kita miliki yang merupakan karunia dari Allah SWT, adalah merupakan ladang yang akan kita petik hasilnya di negeri akhirat. Jika kita menanaminya dengan hal-hal kebaikan berupa amal shalih.
Maka akan kita memetik buahnya berupa kebahagiaan dan keberuntungan, serta kita dengan izin Allah SWT, termasuk orang-orang yang diserukan Allah dengan seruan: “Makan dan minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (Qs. Al-Haqqah: 24).
Sebaliknya, jika kita menyia-nyiakan umur dan waktu yang diberikan Allah SWT dengan perbuatan maupun perkataan yang sia-sia malah cenderung kepada segala bentuk kemaksiatan dan pelanggaran.
Baca Halaman Selanjutnya..
Maka kita akan menyesal pada hari yang dimana penyesalan tidak lagi berguna sama sekali, dan akan berangan-angan sekiranya bisa dikembalikan ke dunia lagi agar bisa beramal.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Dan mereka berteriak di dalam Neraka, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalik berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu…” (Qs. Al-Faathir: 37).
Usia dan waktu yang panjang adalah sebuah hujjah, Allah telah memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk hidup di duniaini hingga 60 atau 70 tahun.
Bagi orang yang merenungkan maka ia akan mengerti bahwa kehidupan di dunia ini terbatas dan usia bisa dihitung dengan tahun, bulan dan hari, bahkan dengan jam, menit serta detik, tanpa kita bisa menambah dan mengurangi satu detikpun.
Usia kita ini pendek bila dibandingkan dengan usia atau umur umat-umat terdahulu yang usianya sampai ratusan bahkan ada ribuan tahun. Sedangkan kita sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW: “Umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan hanya sedikit dari mereka yang melampaui usia itu.”
Seandainya kita diberi kesempatan hidup selama 60 tahun, usia 20 tahun darinya dipakai untuk tidur, dengan asumsi kita tidur 7-8 jam sehari, 15 tahun sebelum baligh, 5 tahun untuk makan, dan waktu yang dipakai untuk santai 20 tahun.
Yang tersisa 20 tahun yang dipakai untuk bekerja. Jadi berapa tahunkah ibadah (baik ibadah ritual maupun soaial) yang kita alokasikan dalam hidup kita?
Baca Halaman Selanjutnya..
Pembaca sekalian yang penulis sangat cintai. Seandainya hidup kita selama 60 tahun dan kemudian setiap hari kita menyia-nyiakan waktu satu jam saja, niscaya kita datang pada hari kiamat menghadap Allah SWT, membawa tiga tahun waktu yang hampa tanpa diisi dengan suatu kebaikanpun.
Demikian pula sekiranya waktu yang disia-siakan itu per harinya adalah dua jam, maka enam tahun yang kosong dari kebaikan, lebih celaka lagi kalau justru waktu-waktu itu justru diisi dengan segala bentuk kejahatan dan kemaksiatan. Naudzubillahi mindzaalik.
Oleh sebab itu sebagai orang yang beriman pergunakanlah waktu yang diberikan oleh Allah SWT, berupa usia atau umur ini dan mengisinya dengan berbgai amal kebaikan yang memberi manfaat bagi diri, keluarga, agama, masyarakat, bangsa dan negara. Jauhilah segala hal yang tidak berguna, apalagi yang mendatangkan kemudharatan.
Salah satu ciri ataupun karakteristik dari orang-orang beriman adalah secara konsisten meninggalkan segala perbuatan maupun perkataan yang sia-sia.
Dan itu pula yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Keislaman seseorang. Waktu yang dimiliki oleh setiap Muslim selalu diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.
Hal ini sebagaimana diingatkan oleh Rasulullah SAW, dalam satu haditsnya: “Min husnil Islamil mar’i tarkuhu ma laa ya’niihi.” Artinya: “Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Jumat, 27 Desember 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/12/jumat-27-desember-2024.html