Oleh: Sahib Munawar, S.Pd,i,. M.Pd
Merebut kekuasaan dalam politik seperti menyaksikan Tuhan menari di atas panggung kekuasaannya, pertanyaan yang jarang kita dengar apakah Tuhan berpolitik? Sebuah pertanyaan yang Mengulutik dalam pikiran kita.
Pertanyaan apakah Tuhan berpolitik. jawabannya tidak!. Karena kita belum menemukan dalam naskah atau teks teks agama, baik itu agama samawi atau agama Ard.
Tapi kalau kita baca dalam naskah Alkitab itu ada bahwa Tuhan bernari nari atau kita bernari untuk Tuhan terus dimana pengkultusan Tuhan yang suci? Silahkan dijawab sesuai keimanan dan bukan keinginan kita sendiri.
Ada sebuah tarian yang dipersembahkan yang saya sebut sebagai tarian profetik dan tarian profetik ini adalah kita menyampaikan firman Tuhan oleh karena itu tarian profetik harus lahir dari hubungan akan pengenalan Tuhan.
Disana ada kuasa yang mengalir saat kita menari tarian profetik karena yang kita lakukan bukan tarian kosong yang tidak ada artinya.
Tarian ini mempersembahkan tentang kehendak dan kekuasaan, saya tidak terlalu mengerucut pada persoalan spiritualitas akan penyaksian Tuhan tapi soal kehendak untuk memperoleh kekuasaan dalam politik,maka di pertanyaannya apakah Tuhan berpolitik?
Tuhan sering dilibatkan di dalam persoalan persoalan politik. Pandangan politik yang berbasis religiositas meyakini Tuhan adalah zat Mutlak yang determinatif dan otoritatif di dalam memberikan mandat kekuasaan. Demokrasi itu sakral Kekuasaan itu titipan Tuhan bagi manusia,ada risiko tanggung jawab secara vertikal maupun horizontal.
Seringkali kita menyaksikan tarian dalam pesta demokrasi diatas panggung sandiwara yang berefek saling sindir atau cemoohan bahkan saling tusuk menusuk demi sebuah kekuasaan yang saya sebut sebagai gila kekuasaan, sehingga mereka lupa akan kendak pada diri mereka sendiri.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pengkultusan terhadap kekuasaan yang sifatnya relatif itu sehingga mereka seakan membunuh Tuhan yang absolut, kehendak akan kekuasaan terlalu melampaui batas kehendak Tuhan adalah sebuah anomali.
Mereka yang menghendaki kekuasaan akan mengalami kehancuran total karena pondasi kebohongan dan kerakusan sebuah tahta di istana negara yang sering disebut Parlemen karna ada korupsi,nista dan dusta atas nama sebuah jabatan, mereka lupa bahwa jabatan adalah sebuah titipan yang akan dikembalikan pada waktunya.
Sebuah absurditas nyanyian keabadian, janji politik busuk kepada masyarakat pada saat kampanye yang telah dikorbankan, masyarakat seolah boneka yang dipermainkan oleh para elite politik,Tuhan pun dibawa bawa dalam kampanye, oh hilangnya identitas dan ekstensi Tuhan sebagai esensi absolutely menjadi ilusi yang nihil.
Bukan rahasia bahwa branding cita rasa religius dapat mengonstruksi citra seorang politisi sebagai sosok yang bersih, jujur, dan penuh pelayanan.
Indikatornya adalah seorang politisi harus dekat dengan pemuka agama, hadir dalam kegiatan kegiatan agama, rajin mengunjungi tempat tempat keagamaan ataupun memberikan sumbangan finansial untuk kegiatan (pelayanan) keagamaan.
Kini, debat program berubah menjadi debat keagamaan dan itu sudah biasa dalam dunia persilatan atau sebut saja dunia politik , sebuah tipu muslihat yang endingnya hanya kebohongan semu atau bahasa Nietzsche adalah Nihilis, awalnya janji manis, iming-iming Surgawi padahal ketika dibuka Topeng nya ternyata hanyalah monster yang mengerikan.
Agama menjadi jualan yang cantik dalam politik, beragam tafsiran telah dibuat atas kalimat itu pada politik (keagamaan) telah memasuki babak baru.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tidak hanya menggunakan Tuhan sebagai komoditas, tetapi politik memasuki zaman baru: Tuhan pun dibuat tidak berdaya, diarahkan untuk berpolitik praktis! Untuk mencapai kekuasaan politis Tuhan seperti dipaksa (diancam) untuk menyetujui preferensi atau pilihan politik tertentu.
Hal seperti ini yang kita saksikan pesta demokrasi 2024 mulai dari pemilihan presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) Februari dan Pilkada Serentak Gubernur dan Bupati Bulan November 2024 , kita berkaca pada Pilkada di Maluku Utara yang berakhir dengan Kericuhan akibat ketidaksenangan oleh satu Paslon/ kandidat yang lain.
Sebuah anomali dan abnormal dalam kontestasi politik di pilkada kemarin yang nampak adalah kegilaan yang dirasuki godaan syaitan/syahwat politik seperti vampir yang kehausan darah demi ingin merebut sebuah kekuasaan.
Dengan menghalalkan segala cara maka disini teori Machiavelli berlaku yang sering dijuluki sebagai Shakespeare menjadi objek kebencian yang tidak ada akhirnya bagi para moralis.
Ada yang membawa simbol Tuhan, agama, identitas, suku dan ras dalam politik dan kekuasaan hal ini mengingatkan saya pada apa yang dikatakan oleh Max Weber tokoh sosiolog modern bahwa kekuasaan sebagai kesanggupan untuk mengeliminasi perlawanan kekuasaan yang lain.
Supaya memaksakan apa yang diinginkan agar disetujui dilaksanakan oleh orang lain Kekuasaan adalah momen mengeliminasi kekuasaan kekuasaan yang lain, agar agenda yang diinginkan dapat tercapai.
Politik identitas dan agama menjadi trending topic pada pesta demokrasi baik Pileg, pilpres dan Pilkada seperti di Maluku utara yang sangat kental dengan fanatik agama dan sukuisme sehingga ada yang tidak senang kalau Maluku Utara dipimpin oleh non mayoritas Pribumi atau dengan kata lain orang asing,demikian juga agama.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pasca perhitungan suara ada yang tidak senang dengan hasil quickcount sehingga mereka menduga bahwa ada indikasi kecurangan atau terlibat dalam politik uang, maka mereka ingin melakukan gugatan ke MK dan ini sudah jauh hari mereka sudah melakukan demontrasi protes ke KPU Daerah Maluku Utara di kota Ternate.
Keinginan untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik sampai saling hujat dan cacian yang endingnya saling menutup diri dari kepalsuan.
Memang sifat manusia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang dimiliki dan Salahkah jika ada orang siapa pun dia apakah aparatur birokrat, pengusaha, menteri presiden dll berkeinginan untuk mengejar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki? Tentu tidak.
Sah sah saja siapa pun berusaha mengejar kekuasaan sepanjang hal itu dilakukan berdasar pada prosedur dan hukum yang berlaku.
Cuma, yang menjadi masalah ketika seseorang berusaha merebut kekuasaan dalam kontestasi yang dinilai mencederai etika demokrasi, maka jangan kaget yang muncul adalah pergunjingan dan bahkan kecaman hingga caci maki.
Dalam politik Tuhan pun diajak atau dipaksa untuk kepentingan manusia memberikan satu konsekuensi teologis yang serius: pertanyaan tentang Kemahakuasaan Tuhan. Kita tahu bahwa teologi agama agama hampir seluruhnya menekankan aspek imanensi dan transendensi Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa yang transenden salah satunya memiliki karakter misteri dan adikodrati bahwa segala kehendak dan langkahnya tidak terselami tidak diprediksi tidak dapat dikuasai dan tidak dapat diarahkan adalah sebuah sinisisme mengarahkan Tuhan untuk mendukung pilihan politik adalah sebentuk gugatan terhadap Kemahakuasaan Tuhan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Manusia itu pada dasarnya tidak peduli terhadap kekuasaan ataukah pada dasarnya suka berkuasa kalau hal ini kita konsepsikan pada Nietzsche filsuf Jerman julukan Rajawali filsafat maka jawabannya mungkin bisa dipakai untuk menjelaskan realitas politik yang kini tengah terjadi di tanah air ini.
Nietzsche mengeksplorasi gagasan tentang kehendak untuk berkuasa (will to power) telah banyak memperlihatkan seorang penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak mereka cenderung akan bersikap otoriter dan menafikan suara rakyatnya.
Kritik dari bawah sering dipersepsi sebagai bentuk resistensi yang harus ditumpas minimal dibungkam melalui berbagai cara seorang pemimpin yang otoriter dan hanya mengejar kekuasaan cepat atau lambat akan kehilangan pesona dan legitimasinya.
Dalam iklim demokrasi yang memberi semua individu kesempatan dan hak untuk memilih, sesungguhnya tidak perlu terlalu risau dengan langkah pihak-pihak tertentu yang dinilai menabrak norma kepantasan dan dituding hendak mempertahankan kekuasaan melalui politik dinasti.
Konstitusi di negara seperti Indonesia dan khususnya di Maluku utara ini menjamin semua orang berhak mengajukan diri ikut dalam kontestasi pemilu dan pilkada asalkan tidak melanggar hukum.
Dan memenuhi syarat yang telah digariskan yang penting jangan membawa Tuhan dalam politik atau rakus jabatan sehingga lupa terhadap ekstensi dirinya sendirisendiri adalah sebuah Aforisme yang tumpul.
Terakhir dari penulis ingin meminjam apa yang dikonsepkan oleh Fredrick Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa yaitu aspek perilaku manusia dalam hal keinginan untuk mendominasi atau menguasai orang lain, diri sendiri, atau lingkungan seperti dalam dunia politik, jabatan, takhta dan uang menjadi Tuhan dalam realitas saling dikuasai satu dengan yang lain.
Politik dalam meraih kekuasaan adalah sebuah kehendak untuk berkuasa berati membunuh Tuhan pada ekstensi dirinya. Sekian tiada gading yang tak retak semoga bermanfaat. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 16 Desember 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/12/senin-16-desember-2024.html