Site icon MalutPost.com

Setubuhi Anak Angkat, Seorang Pria di Tidore Dihukum 10 Tahun Penjara

Suarez Yanto Yunus

Ternate, malutpost.com — Penasehat Hukum (PH) korban kasus dugaan persetubuhan anak di bawah umur meminta masyarakat khususnya keluarga dekat untuk tidak mendiskreditkan korban.

Kasus persetubuhan itu terjadi di salah satu Desa, Kecamatan Tidore Selatan, Kota Tidore Kepulauan, beberapa waktu lalu. Korbannya sebut saja Mawar (18 tahun). Sementara terdakwa atau pelaku bernama HI alias Hasan (60 tahun) yang merupakan ayah angkat korban.

Berdasarkan sidang pada hari Selasa 3 Desember 2024, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tidore telah memberikan putusan nomor 82/Pid.Sus/2024/PN Sos, dengan putusan pemidanaan (vide pasal 193 ayat 1 KUHAP) kepada terdakwa.

Dengan amar putusan menyatakan terdakwa Hasan Imran terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan dengan yang dilakukan oleh orang tua sebagaimana dakwaan alternatif ke satu penuntut umum.

Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda Rp.300 juta subsider 6 bulan kurungan.

Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Atas putusan tersebut PH korban, Suarez Yanto Yunus mengatakan, putusan a quo menunjukan bahwa majelis hakim mengamini tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Sebab subtansi pidana penjara dalam amar putusan a quo sama dengan pidana penjara dalam tuntutan JPU.

Dalam perkara a quo, sambungnya, perbuatan terdakwa telah terbukti bersalah melanggar ketentuan pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 junto Pasal 55 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama penuntut umum.

Rumusan ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang dikenakan kepada terdakwa tersebut selain pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, juga memiliki kualifikasi pemberatan pidana jika pelaku merupakan orang tua korban maka pidana ditambah sepertiga (1/3) dari ancaman pidana.

Baca halaman selanjutnya..

Konstruksi pemidanaan yang berat dalam pasal a quo menunjukkan bahwa racio legis dari pasal a quo oleh bentuk UU semata-mata melindungi kepentingan hukum korban in this case korban persetubuhan anak dibawah umur.

“Sehingga dalam perkara a quo, seharusnya putusan hakim jauh lebih berat dari tuntutan jaksa,” kata Suarez.

Menurutnya, lagi pula dalam hukum acara pidana putusan hakim tidak didasarkan pada tuntutan, tetapi di dasarkan pada dakwaan JPU dan segala hal yang terbukti dalam persidangan (vide Pasal 182 ayat 4 KUHAP).

Pengenaan sanksi pidana yang berat bagi terdakwa tersebut bukan tanpa alasan, sebab perbuatan terdakwa yang telah melakukan persetubuhan kepada korban sejak korban duduk di bangku kelas 2 SMP hingga kelas 3 SMA/MA kurang lebih 5 tahun.

Maka perbuatan terdakwa jika diakumulasi menjadi kurang lebih sebanyak 720 kali persetubuhan. Hal ini terungkap dalam fakta persidangan dengan keterangan saksi korban yang diikuti dengan saksi berantai (kettingbewijs).

Kendati demikian putusan hakim a quo telah mempertimbangkan pernyataan korban atau victim impact statement (VIS) yang diajukan oleh kami selaku Kuasa Hukum Korban sehingga dalam racio decidenti putusan a quo hakim telah mempertimbangkan pernyataan dimaksud.

Oleh karena, putusan hakim yang telah dibacakan, melekat prinsip res judicata pro varitate hebetur atau putusan hakim harus dianggap benar oleh semua pihak, baik terdakwa maupun korban.

“Kami meminta kepada semua pihak, khususnya keluarga terdakwa, kerabat atau pihak-pihak tertentu yang sejak semula memang telah mendiskreditkan korban seolah-olah korban telah merekayasa kasus, melakukan pengakuan yang tidak benar, sehingga dianggap sebagai fitnah atau keterangan yang tidak mendasar, hingga korban dipukul dan mendapat perlakuan yang sadis dari orang terdekat, karena tidak percaya dengan pengakuan korban,” kata Suarez.

Namun, fakta telah membuktikan bahwa pernyataan korban yang sejak semula tidak dianggap benar, sekarang telah terbukti di meja hijau pengadilan dengan memberikan putusan pemidanaan kepada terdakwa. Dengan putusan tersebut, maka peta perjalanan kasus persetubuhan telah selesai.

“Kepada semua pihak baik agar menerima dan melindungi korban ditengah-tengah masyarakat,” sambung Suarez.

“Harapan besar kami, baik korban, maupun keluarga korban dapat diterima kembali di tengah-tengah masyarakat dan korban tidak lagi mengalami kejahatan yang berulang (Re-Victimization). Apalagi jika kita melakukan pendekatan berbasis korban (victim centered approach), maka jelas, korban yang masih anak-anak, rentan dan berpotensi mengalami atau menjadi korban yang berulang (Re-Victimization),” terang Suarez.

Dari kejadian ini, pihaknya meminta keluarga, masyarakat maupun negara untuk bertanggung jawab dalam melakukan legal protection for the victim untuk melindungi korban kejahatan dari segala bentuk potensi kejahatan yang terjadi disekitar. (one)

Exit mobile version