Oleh : Muamar Talib
(Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
Merdeka berarti telah bebas dari segala belenggu penindasan dan penjajahan, miris tak berarti pada konteks Indonesia. Maluku Utara apalagi, seperti yang di sampaikan oleh seorang warga Desa Nuku kecamatan Oba Selatan, kota Tidore Kepulauan bahwa, “torang hanya menunggu mati saja”.
Problemnya masyarakat bangga bahwa Indonesia suda merdeka, namun tidak mempertanyakan merdeka dalam aspek apa ?. Sampai sejauh ini merdeka di lebelkan hanya ke negara sesuai dengan dasar konstitusinya, di Indonesia prakteknya UUD 1945 sebagai falsafah (dasar) negara yang di dalamnya ialah Pancasila.
Secara konsep implementasinya, Indonesia telah melenceng dalam melakukan proses perundang undangan tampa punya kaitannya dengan pancasila.
Seperti, pejabat ambil uang negara yang bukan hak milik disebut korupsi, masyarakat biasa ambil uang milik orang lain di sebut pencuri, dalam menetapkan hukum juga keduanya berbeda.
Dan apa yang membedakan keduanya ?, padahal keduanya mempunyai orientasi yang sama. Lalu bagaimana dengan apa yang di cita-citakan oleh bangsa Indonesia yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah memasuki usia kemerdekaan ke 79 tahun masyarakat Maluku Utara masih saja merasakan penderitaan, penindasan, dan ketidakadilan.
Ini terbukti ketika proyek pembangunan jalan dari desa Payahe ke desa Nuku. Yang di tangani oleh Pemerintah provinsi gagal total di hadapan masyarakat, awalnya pembongkaran dimulai dari tahun 1992.
Baca Halaman Selanjutnya..
Masuk ke 1999 barulah dilakukan pengaspalan, namun tidak selesai sampai sekarang. Proyek ini terhitung hampir 25 tahun lamanya, sampai sekarang belum terselesaikan, dan tidak layak di lalui.
Masyarakat menjerit dengan keadaan jalan sekarang, masalah ini punya kaitannya dengan permasalahan mantan gubernur Maluku Utara, yaitu. Abdul Ghani Kasuba (AGK), tentang kasus korupsi, dengan perkiraan anggaran sebanyak tiga miliar bahkan lebih telah dihabiskan untuk bersenang-senang.
Akhirnya mengakibatkan masyarakat Oba Selatan kesakitan berkepanjangan sampai pada aspek kesehatan, pendidikan, dan aktivitas keseharian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan keseharian mereka.
Oba Selatan merangkul 7 desa di bawa administrasi kota Tidore, bila diperhatikan oleh pemerintah. Yang seharusnya dilakukan ialah mengutamakan pembangunan jalan, sebab jalanlah yang menjadi penghubung antar desa untuk saling menyapa satu sama lainnya.
Juga pada tingkat keselamatan warga juga di ukur manakala jalan itu sudah tuntas di perbaiki. Nyatanya hal itu tidak di indahkan oleh pemerintah kota Tidore dan pemerintah provinsi Maluku Utara.
Seperti yang di sampaikan oleh Kadri La Etje selaku Plh Sekprov Maluku Utara bahwa “kalau memang kebutuhannya urgensi maka itu harus segera diselesaikan” . Dikutip dari laman online haliyora ID (05/08/2024).
Hemat penulis, argumentasi di atas menunjukkan bahwa selama ini pemerintah tidak serius dalam menangani persoalan yang di rasakan oleh masyarakat Oba Selatan. Kalaupun diperhatikan dan di seriusi kenapa selaku pemerintah harus mengeluarkan komentar seperti itu ?.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangatlah nampak, bila kalian hidup bersama sama masyarakat Oba Selatan. Maka penderitaan itu akan betul-betul dirasakan sepenuhnya.
Padahal, ketika kita berpacu pada undang-undang Republik Indonesia yaitu, UU nomor 2 tahun 2022 tentang perubahan kedua atas UU nomor 38 tahun 2004 tentang jalan.
Dilampirkan pada pasal 1 ayat 1,2, dan 3, sudah jelas bahwa pemerintah harus lebih mengutamakan keselamatan, kesejahteraan, kemanfaatan, keamanan, dan kenyamanan. Namun hal sedemikian tidak terlaksana sepenuhnya, bahkan tidak sesuai dengan apa yang di inginkan oleh masyarakat.
Provinsi yang paling bahagia dan angka pertumbuhan ekonomi yang melambung tinggi tak menjamin masyarakat itu sejahterah, semuanya hanya sekedar sepatah kata dengan seenaknya di sampaikan tampa berfikir apakah betul masyarakat Maluku Utara sudah pada fase bahagia ataupun sejahtera ?.
Logikanya tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini di alami oleh masyarakat. Nyatanya masih ada orang-orang yang tergenang di atas air, terhitung hampir seminggu, yang bersumber dari perusahaan-perusahaan besar, dan itu sumbernya dari pemerintah.
Hal sedemikian, menimbulkan suara-suara yang keras berteriak seakan disana tidak ada pemerintahan yang tegas dalam menyikapi persoalan ini, kalaupun ada dimana mereka sekarang ?.
Sudah berbagai macam usaha untuk melahirkan gerakan yang di mediasi oleh forum abdesi se-kota Tidore. Tidak mendapatkan hasil yang baik, saat ini, inisiatif yang dibangun lewat aliansi Mahasiswa dan pemuda se-kecamatan Oba Selatan menyediakan fokus grup diskusi (FGD).
Baca Halaman Selanjutnya..
Harapannya, warga bisa mendapatkan solusi menyangkut dengan permasalahan tersebut. Dalam diskusi, seperti yang di sampaikan oleh perwakilan pemerintah provinsi Maluku Utara menyoroti beberapa kendala teknis yang dihadapi selama proses pembangunan.
Salah satunya, tantangan terbesar adalah kerusakan jalan yang sering terjadi akibat aliran sungai dan aliran air dari arah lain yang membawa material dan merusak badan jalan yang telah dibangun.
Kondisi geografis di sepanjang ruas jalan ini memang cukup menantang, dikutip dari Suaratrotoar.com (24/09/2024). Semoga dengan adanya fakta-fakta di atas dapat menjadi suatu bahan evaluasi bagi pemerintah agar secepatnya ditindaklanjuti.
Sebagai pemerintah, harunya terlebih dulu mengutamakan apa yang di inginkan oleh masyarakat, agar konsep dari “kesejahteraan” mempunyai makna dan bernilai bagi banyak orang.
Tidak semerta-merta dijadikan sebagai kalimat yang mampu menghipnotis ketika sedang berada di atas panggung sambil berpidato, dan pada akhirnya membuat masyarakat hidup dengan pengharapan, serta ketergantungan akibat daripada harapan yang diberikan.
Oba Selatan menjadi contoh, disana terdapat banyaknya masyarakat yang berprofesi sebagai petani kelapa (kopra), namun dengan kondisi jalan yang tak pantas di lewati, apakah mereka bisa dikatakan sejahterah ?.
Sama halnya dengan konsep merdeka yang dimaknai hanya sebatas bahwa telah bebas dari segala hal. Baik dalam segi ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan. Namun ternyata semuanya hanyalah mainan para elit yang berkuasa.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 19 September 2024.
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/09/kamis-19-september-2024.html