Oleh: Yusuf Hasani
(Direktur Maluku Utara Government Watch)
____
Kakanwil Kemenag Maluku Utara, Amar Manaf, ketika memberi arahan kepada aparatur sipil negara (ASN ) di lingkungan kanwil kemenag Maluku Utara di pesantern Ome Tidore, sebagaimana di publish Kemenag Malut News 12 September 2024.
Dalam pemberitaan itu, beberapa poin dinilai positif dan perlu diberi apresiasi, misalnya mengajak ASN menjaga netralitas dalam pilkada, hanya saja pada paragraf ketiga dari terakhir tertulis…”Selain itu warga kemenag harus menggaungkan penolakan terhadap politik identitas…” Sejatinya bahasa seperti tidak perlu keluar dari seorang kakanwil. Oleh karena itu, tidak keliru juga bila publik menilai pernyataan tersebut memposisikan kakanwil kemenag Malut Amar Manaf, seolah -olah agen dari salah satu calon Gubernur Malut, bahkan memungkinkan ASN terjebak dalam politik praktis. Setuasi seperti ini tentu berpotensi merusak tatanan berdemokrasi,.
Boleh jadi ada itikad baik, dari pak Kakanwil, akan tetapi, mungkin saja tidak tuntas dalam penjelasan detailnya, sehingga melahirkan ragam tafsir. Para pihak yang menolak politik identitas berarti menolak keragaman, itu sama halnya dengan melakukan pembelahan khorisontal, menghadirkan apa yang disebut “kami” dan “mereka” (“in group” and “out group”).
Dalam konteksi ini tak perlu ada yang disalahkan, Ambillah hikmah dan jadikan bagian dari pembelajaran berdemokrasi, Bersebab tidak sedikit orang yang belum menyadari bahwa negeri ini terlahir dengan keragaman warna – berbeda -beda jati diri (sunatullah).
Persoalannya bukan pada politik identitas, tetapi bagaimana cara membangun kesadaran warga menggunakan hak pilihnya secara berkeadaban. Syogyanya para jurkam hadir sebagai komunikator yang efektif, Selain itu, pemilih perlu pahami rekam jejak sang calon untuk mengetahui, banyak- sedikitnya kemudaratan dari masing -masing pasangan calon, bila kelak menjadi penguasa.
Sementara Malut membutuhkan pemimpin yang relative bersih dari perilaku koruptif. Ia adalah orang baik dan amanah. Pada titik ini kejernihan berfikir pemilih menentukan pilihan adalah taruhan terhadap masa depan Maluku Utara. Untuk itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu perlu libatkan partisipasi masyarakat secara bermakna dalam proses pilkada
Sesungguhnya asal muasal politik identitas berawal dari Pilkada DKI Jakarta, ketika pesaing politik Anis Baswedan, yakni Ahok atau Basuki Cahaya Purnama yang didukung oligarki, menghalangi dominasi kekuatan politik umat Islam di Jakarta. Para buzzer (pendengung) menggunakan jargon “Politik Identitas” guna mempengaruhi-melemahkan pemilih muslim (pendukung Anis Baswedan).
Baca halaman selanjutnya…
Kenyataan ini disebut sebagai pemaksaan kehendak, karena secara sosiologis tidaklah mungkin mayoritas umat Islam Jakarta memilih Ahok yang dinilai melakukan penodaan terhadap agama Islam (baca penggunaan Q.S Almaidah 51) Anehnya, cara ini coba dipakai untuk menghalangi umat Islam Malut, memilih pemimpin dari kalangan kaum muslimin. Sejatinya para pihak, menyadari bahwa umat Islam di Malut adalah orang beriman dan memiliki pikiran, jangan dianggap domba-domba sesat. Itu sungguh tak elok.
Dalam kamus bersar bahasa Indonesia identitas artinya ciri-ciri atau jati diri. Kata identitas berasal dari identity artinya yang memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu atau kelompok social atau sesuatu yang membedakan dengan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka jelas Islam memiliki ciri dari jati diri yng membedakan dengan yang lain, dalam hal memilih pemimpin, misalnya .
Dalil tentang persyaratan pemimpin termaktub didalam kitab suci Al Quran. Bahkan Undang-undang Dasar 1945 ,pasal 29 menyebutkan ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Perintah konstitusi ini sejalan dengan ketentuan ketab suci. Al Quran. Dengan demikian, umat Islam berkewajiban memilih pemimpin sesuai dengan ajaran Islam. karena Islam memiliki panduan dalam memilih pemimpin. Jadi, bila ada pihak yang melarang politik identitas, berarti menentang ketab suci dan konstitusi.
Penggunaan politik identitas dalam hajat politik pilkada adalah sesuatu yang lumra, misalnya penulis orang Ternate memilih calon orang Ternate, atau saya muslim memilih pemimpin kaum muslimin. Fakta seperti ini biasa-biasa saja dalam alam demokrasi. Akan tetapi, bersiayasah ala Amar Manaf, dapat dikatakan termasuk kategori cawe-cawe. Baik pula, bila pak Kakanwil fokus saja pada tugas dan fungsi kemenag, sehingga berbagai program tertunaikan secara baik dan efektif.
Berbagai problem umat membutuhkan sentuhan dan bimbingan dari kemenag. Utamanya lembaga pendidikan keagamaan, baik, kualitas maupun kuantitas sumber daya manusianya. Peliharalah citra kemenag sebagai pengawal – penjaga moral dan aqidah umat. Pertanyaan yang lahir kemudian adalah bagaimana mungkin seseorang melepaskan jati dirinya atau kepribadiannya, hanya karna memilih calon tertentu, Untuk itu public dan Bawaslu perlu mencermati berbagai upaya politik yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. Menggaungkan politik identitas sama halnya dengan menghidupkan ingatan public muslim tanah air tentang pilkada Jakarta yang menjadi kehebohan nasional.
Perlu di catat bahwa dalam politik pilkada terdapat pula penguatan sentimen premordialisme. Penguatan sentiment premordialisme dalam batas tertntu bermakna positif, misalnya, untuk menguatkan ikatan premordial yang selama ini digerus oleh arus modernisme dan materealisme. Ikatan premordialisme sulit terhindar dari pelaksanaan politik pilkada , apalagi pelaksanaan pilkada dimaknai sebagai suatu ancaman terhadap kepentingan dan eksistensi kelompok premordial tertentu.
Loyalitas primordial seperti ini, menurut Elvy Yuliansyah (2007:17) tidak bisah dipisahkan dari keadaan -keadaan yang membentuk hubungan psykologi social yang tampil dalam pentas politik local. “Warna tampilan akan mempengaruhi hubungan emosional berskala micro antar pemilih (voters) dengan para kontestan yang ditampilkan untuk membentuk image mewakili kelompok suku bangsa, agama dan latar belakang sosialnya” Karakter seperti ini terdapat di Maluku Utara yang masyarakatnya heterogen, yakni terdiri dari berbagai pulau, suku dan agama.
Politik biasa diartikan sebagai art of possible (seni dari semua kemungkinan). Dari sudut pandang keilmuan, politik diartikan sebagai cara merebut atau perjuangan- memperoleh kekuasaan (struggle of power) atau mempertahankan kekuasaan. Bahwa upaya meraih kemenangan dalam suatu pertarungan politik seperti pilkada amat tergantung dari kemampuan mengartikulasi berbagai kemungkinan menjadi kenyataan. (*)